Kesangsian Metodis Descartes dan Mahasiswa Filsafat
Melki Deni |
Apa yang membedakan filsafat
Skolastik Abad Pertengahan dengan filsafat modern? Filsafat Patristik dan
filsafat Skolastik Abad Pertengahan sibuk menggeluti dan menjelaskan
perkara-perkara ketuhanan (teologi). Filsafat modern sibuk menjelaskan
persoalan seputar alam, subyektivitas dan kemajuan. Filsafat modern ditandai
dengan penghargaan atas rasionalitas, dengan kemajuan berbagai cabang sains,
dengan industri, dengan demokrasi, dan hak-hak asasi manusia, dan terutama
dengan sekularitas (bdk. F. Budi Hardiman, 2019:1).
Dalam filsafat modern, manusia
dianggap sebagai makhluk rasional yang dapat mengatasi dan mengendalikan alam
dengan hukum eksakta, dan mempunyai pusat kesadaran diri sebagai individu.
Manusia dilihat sebagai subyek yang berkonfrontasi dan menghadapi alam sebagai
objeknya. Subyek (manusia dan interese individualnya) berdiri di sini,
sedangkan alam (dan segala objek di luar diri manusia) berada di seberang sana.
Subyek dan alam dimediasi oleh kepentingan teknis. Subyek (manusia) tidak hanya
mengatasi dan mengendalikan alam, tetapi juga sejarah. Manusia mengatasi
sejarah, dan karena itu ia dapat mengendalikan, merancang dan mengubah
sejarahnya. Jika manusia mengatasi sejarahnya, maka ia juga dapat mengendalikan
dan mengontrol kemajuan.
Pada periode modern ini,
filsafat lebih bersifat antroposentis. Manusia semakin sadar akan kemampuan,
kekuasaan, otoritas, dan akal budinya. Manusia melihat dan menyelidiki segala
sesuatu, termasuk perkara Ketuhanan, dari sudut pandang manusia dengan metode
ilmu pasti (empiris) dan ilmu teknik (eksperimental). Filsafat modern ini
dimulai dengan kehadiran Rene Descartes (1596-1650) dalam dunia filsafat (bdk. Albert
Snijders, 2006:62).
René Descartes lahir pada 31 Maret 1596 di
Prancis, tepatnya di La Haye, sebuah kota kecil yang terletak di antara Tours
dan Poitiers (bdk. F. Budi Hardiman, 2019:35-36 dan baca juga Fitzerald kennedy
Sitorus, Makalah untuk Kelas Filsafat Filsafat Modern di Serambi Salihara, Sabtu,
12 November 2016; 2). Sebagai penghargaan atas Descartes, kota ini sekarang
dinamai La Haye-Descartes. Keluarga Descartes adalah bangsawan. Ayahnya bekerja
sebagai pengacara yang aktif berpolitik di Paris. Hingga usia 18 tahun,
Descartes belajar di Collège Royal de La Flèche, yakni sekolah yang dikelola
oleh para imam Jesuit. Selama hidupnya Descartes memuji sekolah ini sebagai
“sekolah yang paling baik di Eropa.”
Descartes membangun sistem
filsafat yang sama sekali baru, yakni penekanan pada subyektivitas atau
kesadaran-diri manusia. Descartes mendobrak warisan budaya, filsafat, ilmu
pengetahuan tradisional dan prinsip pengetahuan yang berpusat pada Allah yang
dikembangkan oleh para pemikir sebelumnya, seperti Machiavelli, Bruno dan
Bacon. Descartes menekankan prinsip rasio atau kesadaran diri. Dalam
filsafatnya kita mengenal pernyataan yang termasyur, saya berpikir maka saya
ada (cogito ergo sum). Dari prinsip dasar
ini diksursus seputar tema-tema tentang pembuktian ontologis mengenai
eksistensi Tuhan, teori pengetahuan yang berpusat pada subyek, dualisme jiwa
dan badan, ide-ide bawaan (innates ideas),
refleksi diri, distingsi antara dunia mental dan dunia eksternal, filsafat
kesadaran, dan lain-lain mulai digumuli dengan serius.
Sekurang-kurangnya, kata
Descartes, aku yang menyangsikan bukanlah hasil tipuan. Semakin kita dapat
menyangsikan segala sesuatu, entah kita sungguh ditipu atau ternyata tidak,
termasuk menyangsikan bahwa kita tidak menyangsikan, kita semakin mengada (bdk.
F. Budi Hardiman, op. cit; 38). Sangsilah segala sesuatu, maka
kita sungguh-sungguh nyata dan mengada. Cogito
itu, tulis Hardiman, kebenaran dan
kepastian yang tak tergoyahkan karena aku mengertinya secara jelas dan
terpilah-pilah. Cogito ditemukan
dalam pikiran kita sendiri, sesuatu yang dikenali melalui dirinya sendiri. Cogito tidak ditemukan melalui Kitab
Suci, dongeng, pendapat orang, pasangka dan seterusnya (bdk. F. Budi Hardiman, ibid.,; 39).
Tak ada realitas yang bebas
dari kesangsian, dan di luar kesangsian tidak ada realitas apapun. Dalam
Meditasi-meditasi Metafisis, Descartes menulis: “aku menyangka semua hal yang
kulihat palsu;…aku yakin bahwa benda, bilangan, ekstensi, gerak dantempat
hanyalah khayalan akalku. Karena itu, apa yang dipikarkan benar? Mungkin tidak
ada hal lain kecuali bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti? Tidak dimaksudkan
keraguan kaum skeptik. Keraguan ini membawa kebenaran. Karena itu, keraguan ini
disebut metodis (dubbium methodium),
sebagai peralihan wajib, juga sementara untuk
mencapai kebenaran”(bdk. Frans Ceunfin, 2003: 76).
Kesangsian metodis Descartes
sedemikian radikal, Descartes lupa bahwa ia sendiri sedang menggeluti
metafikia, yang ia sendiri kritik dengan kesangsian metodisnya. Kesangsian
metodis Descartes tidak sepenuhnya dapat ditemukan dalam realitas kehidupan,
karena setiap subyek mengklaim kebenaran individualnya dan menolak kebenaran
universal di luar dirinya. Selain itu, kelompok radikal agama, teroris, rezim
politik, dan ekstremis lainnya bisa saja menyangsikan segala bentuk penghayatan
keagamaan, sistem politik dan kebudayaan dalam masyarakat pluralistis dengan meneror,
merepresi, mencaplok dan membunuh manusia lain demi kepentingan kelompoknya,
kesangsian itu tidak dapat dibenarkan baik secara adat, norma agama, hukum
sipil, hukum normatif, dan hukum internasional. Jadi kesangsian metodis
Descartes alih-alih demi kebenaran, kebaikan dan penegasan otoritas subyek dan
kemajuannya, ternyata mengeliminasi dan memusnahkan manusia lain demi
kepentingan tertentu. Namun demikian, kita perlu menelusuri dan menangkap
kontribusi kesangsian metodis Descartes bagi masyarakat luas, terutama bagi
mahasiswa yang studi filsafat. Kalau begitu, apa relevansi kesangsian metodis
René Descartes bagi mahasiswa filsafat?
Beberapa
dekade terakhir ini, tak bisa disangkal bahwa akal budi mahasiswa seakan-akan
dikendalikan rasionalias teknologi. Alih-alih membantu dan menyelamatkan
manusia, teknologi justru mengendalikan dan menindas manusia. Mula-mula
mahasiswa sebagai pengontrol, tapi pada akhirnya ia yang dikontrol oleh
imperatif-imperatif tekonologis dengan logika algoritmanya.
Logika
algoritma teknologi seakan-seakan menciptakan ketidakpuasan dalam diri mahasiswa.
Bagaimana mungkin mahasiswa dikalahkan oleh teknologi ini? Dengan demikian mahasiswa
membiarkan diri dikendalikan dan ditindas oleh teknologi. Kemudian lahirlah
mental instan, temperamen, individualisme, egoism, sentimen primordial agama
dan kebudayaan, dan sikap-sikap anti-sosial. Anti-sosial berarti
anti-pembebasan. Anti-pembebasan berarti anti-sejarah dan serentak anti-kehidupan!
Mahasiswa
tidak lagi menciptakan kultur membaca dan menulis, malah memupuk mental
“salin-tempel”. Skandal intelektual, jiplak dan kasus plagiarisme merajalela di
mana-mana. Dalam membangun relasi sosial, mahasiswa lebih didominasi oleh
prasangka-prasangka dan ideologi-ideologi diskriminatif. Komunitas epistemik kemudian
menjadi sasaran empuk untuk informasi provokasi, hoaks. fake news dan fitnah.
Mahasiswa
bisa saja melanggengkan kejahatan, penindasan, alienasi, peminggiran, anomi,
pengisapan, represi dan perdagangan jual-beli tubuh manusia, apabila mahasiswa
tidak membuka diri dan melakukan gerakan-gerakan progresif-produktif dengan
menyangsikan realitas kehidupan. Menyangsikan realitas kehidupan:
kebijakan-kebijakan politis, agama, adat istiadat dan agama, tidak membuat
mahasiswa menjadi kaku, tetapi bergerak dan bertindak demi keadilan, kebaikan
bersama dan kesejahteraan universal. Roh kebernalaran senantiasa menuntut kita
membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu alienasi, pencaplokan, pembisuan
kesadaran dan penindasan dari kaum kleptokrat, sistem politik ekonomi
korporatokrasi, dan cengkeraman oligarki.
*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere-Flores-NTT.
Post a Comment for "Kesangsian Metodis Descartes dan Mahasiswa Filsafat"