Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengapa Filsafat Tidak Mati? Berpikir Rasional: Keniscayan bagi Manusia

Pixabay.com

Yang mengatakan filsafat mati adalah orang yang tidak pernah berpikir, takut berpikir, alergi berpikir, dan/atau berpikir tapi tidak sadar ia sedang berpikir.

Akhir-akhir ini publik pembaca Indonesia diganggu oleh pernyataan seperti “ Filsafat Sudah Mati”, “Pasca-Filsafat”, “Darurat Filsafat”, dll. Pengumbar pernyataan seperti kebanyakan orang yang tidak belajar filsafat, atau belajar filsafat hanya digunakan sebagai alat pembanding dengan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. Saya tidak mau terjebak dalam pragmatisme mereka, dan juga tidak mau merapung di atas idealisme.

Simbiosis Mutualisme

Sungguh idiot, bila ada upaya membanding-bandingkan filsafat dan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi, kemudian mengatakan yang satu sudah mati, sedangkan yang lain merdeka di atas kematian yang lain. Membangun relasi epistemis antara filsafat dan ilmu-ilmu lain bukanlah sesuatu yang tabu dilakukan. Filsafat tidak mungkin berjalan sendirian, namun filsafat bekerja sama dengan partner yuniornya, seperti ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. Demikian pun ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi mustahil berjalan sendirian tanpa bantuan filsafat. Di sini tidak berarti filsafat terjebak dalam relativisme dan positivisme ilmu pengetahuan.

Jika ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi menciptakan relativisme, dan terjebak dalam kerangkeng relativisme yang diciptakannya itu, filsafat membantu membebaskannya. Jika ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi terperangkap dalam pragmatisme, filsafat memanggil pulang untuk masuk ke dalam diri, memproyeksi, menimbang-nimbang, merencanakan, dan menetapkan keputusan yang rasional dan logis bagi proyek pencarian selanjutnya. Filsafat juga tidak terjebak dalam idealisme, dan rasionalisme, dan karena itu ia dibantu oleh ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi untuk menemukan wilayah eksplorasinya yang baru.

Indonesia Darurat Manusia Berpikir Kritis

Ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi canggih kurang berkembang baik, terutama bagi kualitas dan mutu hidup manusia Indonesia disebabkan oleh rendahnya cara berpikir logis, runut, sistematis, progresif, dan kritis. Manusia Indonesia mudah terjebak dalam mentalitas instan yang dipropagandakan oleh google dll. Manusia Indonesia menerima begitu saja pengaruh dari luar, kebudayaan Barat, mode, tren-tren McDonalisasi, life style, dan mentalitas-mentalitas gadget tanpa melalui pertimbangan-pertimbangan rasional, kritis, dan sistematis. Akibatnya seluruh aspek kehidupan manusia Indonesia–politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, keagamaan dan adat istiadat–darurat. Kaum intelektual, akademisi, birokrat, dan teknokrat bisa terjebak dalam misalnya, pragmatisme, radikalisme agama, sentimen primordial pada ideologi/agama/kepentingan tertentu, atau juga terperangkap dalam kerangkeng idealisme dan rasionalitas semu.

Ketika daya berpikir kritis, logis, sistematis, progres, dan nurani tidak digunakan lagi, bencana kemanusiaan, bencana ekologis, dan bencana-bencana lain akan datang silih berganti. Seolah-olah kasus kekerasan seksual di kampus, perdagangan dan/atau pembunuhan terhadap sesama manusia, kemiskinan, penyakit, pembabatan hutan, pengeboman ikan, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), pencaplokan tanah ulayat yang mengorbankan nyawa manusia dll merupakan persoalan yang biasa-biasa saja. Seolah-olah kasus aborsi, eutanasia, bunuh diri, dll merupakan peristiwa lazim terjadi. Itu semua merupakan wilayah eksplorasi sekaligus laboratorium filsafat. Ketika filsafat menyingkapkan dan mengangkat kasus-kasus itu sebagai kajian utama untuk kemudian dipertimbangkan dan diperjuangkan agar tidak terjadi lagi, ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi pun ikut membantu dan memberikan sumbangsih dengan caranya (metode kerja) masing-masing.

Teknologi Boleh Canggih, Manusia Tetap Diutamakan

Meskipun minat terhadap filsafat di Indonesia sangat rendah, dan kemajuan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi canggih makin pesat, namun hal itu sama sekali tidak menyebabkan filsafat mati. Ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi canggih lahir jauh sesudah filsafat berkembang pesat. Bahkan teologi, mitra senior filsafat lahir setelah filsafat. Filsafat secara sederhana dapat dimengerti sebagai instrumen utama manusia untuk membentuk dan melahirkan manusia unggul, integral, utuh, dan integritas. Filsafat pula mengembangkan dan memperjuangkan kebenaran, rasionalitas, progresivitas, dan kesadaran diri manusia. Dengan demikian filsafat adalah senjata peradaban manusia dari zaman ke zaman.

Jika filsafat tidak ada, ilmu pengetahuan, sains, dan juga teknologi mungkin tidak ada. Teknologi boleh berkembang pesat dan makin canggih, tapi jangan lupa nasib manusia yang begitu ringkih dalam penderitaan, kelaparan, dan kematian. Tanpa manusia yang unggul, utuh, dan berpikir (unsur terpenting filsafat), teknologi dengan segala kecanggihannya menjadi sia-sia belaka. Filsafat membantu manusia memautkan idealisme dan pragmatisme, rasionalisme dan irasionalisme, teori dan praksis kehidupan. Dengan demikian filsafat melintasi zaman.

Pada Rabu, 8 Desember 2021, Prof. Dr. F. Budi Hardiman, S.S.,M.A, dalam upacara pengukuhannya sebagai guru besar bidang filsafat, menyatakan ada tiga tugas filsafat di era komunikasi digital:

1.      Menyingkap Ambivalensi Komunikasi Digital

Filsafat memacu manusia berdecak kagum terhadap keteraturan alam semesta dan seluruh realitas, mempertanyakan, mempertimbangkan, merefleksikan, memahami, dan memutuskan suatu pemahaman baru tentang objek yang diteliti itu. Filsafat mengajarkan orang agar tidak merasa baik-baik saja dengan realitas yang terberi, atau realitas yang dimanipulasi. Filsafat berusaha membongkar kejahatan dan kebohongan di ruang-ruang abstrak, dan menyembuhkannya dengan sentilan-sentilan emansipatoris yang membebaskan. Setelah membebaskan manusia dari kegelapan akal budi akibat tidak digunakannya untuk kebebasan manusia itu sendiri, filsafat  mencari jawaban mengapa manusia tidak mampu menggunakan akal budinya. Atau pada era komunikasi digital, manusia bertanya mengapa manusia merasa baik-baik saja di balik realitas yang ambivalen. Setelah menemukan jawaban atas pertanyaan, dan pertimbangan-pertimbangan rasional, pencarian manusia tidak berhenti sampai di situ.

2.      Kritik Ideologi dan Refleksi Rasional

Manusia mencari, mencari, dan terus mencari. Dalam pencarian itu, aspek kesadaran dan keberpikiran bergerak tanpa henti. Ketika manusia mencari, manusia sedang berpikir. Ketika manusia berpikir, manusia sadar. Ketika manusia sadar, manusia bertanya. Ketika manusia bertanya, manusia mencari jawaban. Jawaban tidak membuat membuat manusia berhenti mencari. Pencarian manusia adalah penegasan terhadap keniscayaan keberpikiran dan akal budinya. Manusia akan berhenti mencari, ketika manusia mengembuskan nafas terakhir. Dengan demikian filsafat adalah manusia, tapi tidak semua manusia adalah yang berfilsafat.

Filsafat selalu mengajak manusia untuk berpikir, menyadari keberadaan, menyingkap realitas, dan mempersoalkan kemapanan realitas sosial. Kalau ilmu pengetahuan pada umumnya mengkaji realitas sosial dengan menyalin fakta, mengambil jarak dengan objek, dan melaporkan kuantitas persoalan-persoalan yang kasat mata, filsafat menghapus jarak dengan objek, mendengarkan objek berbicara, dan kemudian membebaskan objek dari bentuk-bentuk kontradiktif dan penindasan. Filsafat tidak hanya mempersoalkan realitas apa adanya di sini, tetapi juga berjuang mengadakan realitas baru. Dengan pendekatan rasional, sistematis, logis, progresif, dan kritis filsafat tidak begitu saja menerima realitas apa adanya. Filsafat selalu berkeyakinan ada yang tak tersingkap dari realitas, dan Filsafat berusaha membongkar penyamaran realitas atau sesuatu yang dibungkamkan itu.

3. Etika Komunikasi Digital

Meskipun kita sering chatting, kata Prof. Dr. Hardiman, orang tetap merasa sendirian, dan terisolasi dari yang lain. Sebab dua hal itu menyentuh kondisi kemanusiaan, yang merupakan wilayah eksplorasi filsafat. Ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi secara teknis menjelaskan bila manusia dirundung kesepian, kehampaan, dan kegalauan. Akan tetapi filsafat berusaha membebaskan manusia dari belenggu kesepian, kegalauan, kesedihan yang disebabkan oleh meninggalnya orang yang paling dicintai dengan model pendekatan kemanusiaan. Filsafat menerobos masuk wilayah kesadaran, mempersoalkan kesadaran, dan membebaskan kesadaran itu dari kemapanan realitas. Etika komunikasi digital penting untuk dipelajari oleh manusia Indonesia, agar kesadaran manusia Indonesia tidak digilas oleh kesadaran teknologis, kebohongan, hoaks, dan fenomena robotisasi. Etika komunikasi digital juga mengajak manusia untuk mengembalikan dunia bersama, etika sopan santun, kode etik, asas-asas moral, dan tuntutan-tuntutan hak asasi manusia menggunakan komunikasi digital. Etika komunikasi digital harus mempromosikan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan.

Filsafat Tidak Akan Mati: Keniscayaan Manusia

Berdasarkan penjelasan singkat di atas, saya mengungkapkan alasan mendasar mengapa filsafat tidak akan mati.

Pertama, Filsafat tidak pernah mati, karena filsafat berkaitan erat dengan aktivitas berpikir logis, sistematis, runut, progres, dan kritis. Manusia adalah hewan berpikir, meskipun tidak semua manusia sanggup berpikir secara filosofis. Yang mengatakan filsafat mati adalah orang yang tidak pernah berpikir, atau berpikir tapi tidak sadar ia sedang berpikir.

Kedua, Filsafat tidak pernah terjebak dalam relativisme, apalagi menyumbang dan/atau menyokong relativisme. Kalau ada yang belajar filsafat terjebak dalam relativisme, ia tergolong kaum sofis—bukan filosof.

Ketiga, Filsafat mengajak manusia menemukan pola hidup yang bermutu, memperjuangkan kedamaian, kebenaran, keadilan, dan kesetaraan demi kemanusiaan.

Keempat, Filsafat menolak kebenaran tunggal, dan mengutuk upaya pembungkaman aktivitas berpikir, diskursus, dialog, dan monolog intersubjektivitas.

Kelima, Filsafat tetap menjadi acuan utama bagi tiap perkembangan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. Kalau jaringan internet mati, dan pulsa habis, manusia wajib kembali ke dalam diri, namun saat manusia akhirnya bisa masuk ke dalam diri, manusia kehilangan tenaga untuk memproyeksi dan merefleksikan diri. Manusia pun diterpa kesepian dan kehampaan. Akhirnya manusia menyalahkan diri sendiri, dan mencari penghiburan di luar sana, yang biayanya tidak sedikit.

Pencarian manusia adalah penegasan terhadap keniscayaan keberpikiran dan akal budinya. Manusia akan berhenti mencari, ketika manusia mengembuskan nafas terakhir. Meskipun tidak semua manusia mampu berpikir secara filosofis, manusia adalah hewan berpikir. Dengan demikian filsafat adalah manusia, tapi tidak semua manusia adalah yang berfilsafat. 

 

Melki Deni, mahasiswa semester VII STFK Ledalero, Maumere-Flores-NTT.

 

Post a Comment for "Mengapa Filsafat Tidak Mati? Berpikir Rasional: Keniscayan bagi Manusia"