Ruang Abstrak, Fetisisme Komoditas dan Ruang Harapan
|
Akhir-akhir
ini kasus pembangunan tembok tinggi dan menutup akses ke rumah warga kembali
mencuat ke publik. Beberapa hari lalu warga Ciledug, Kota Tangerang, Hadiyanti
(60) mengaku sempat diancam oleh pemilik tanah dengan senjata tajam. Hadiyanti
dituduh merobohkan tembok yang sebelumnya dibangun oleh orang yang mengklaim
memiliki tanah tersebut.[1]
Menurut Herry Mulya, seorang ahli waris tanah itu, tembok itu tidak menutup
akses jalan, karena bukan jalan umum.
Serupa
dengan kasus di Ciledug, beberapa bulan lalu Kompas.co melayangkan berita berjudul:
Cerita di Balik Perjuangan Ratusan Murid
SD di Kupang Panjat Tembok 4 Meter agar Sampai ke Sekolah.[2] Setiap
hari anak-anak sekolah harus memanjat tembok setinggi empat meter untuk sampai
ke sekolah maupun kembali ke rumahnya masing-masing. Tembok itu dibangun oleh
seorang pengusaha sukses di Kota Kupang.
Konflik
pembangunan tembok tinggi merupakan konflik struktural, karena konflik ini
berkaitan erat dengan akses publik dan pemanfaatan tanah (ruang), di mana
pemilik tanah dapat melancarkan produksi dan reproduksi barang di dalamnya. Marilah
kita menganalisis konflik pembangunan tembok tinggi (Ruang Abstrak) dari
perspesktif neo-Marxis, Henri Lefebvre sebagai problem fetisisme komoditas dan
memberikan Ruang Harapan dari perspektif David Harvey.
Ruang Abstrak: Problem
Fetisisme Komoditas
Ketika
ruang alamiah menjadi ruang abstrak, maka peluang praktik kekerasan,
kebrutalan, alienasi, eksploitasi dan marginalisasi semakin besar. Hal ini
tampak dalam kasus tersebut di atas dan di tempat-tempat lain. Kalau kita mau
memahami jauh lebih mendalam tentang problem ruang ini, kita dapat menengok
realitas di sekeliling. Di ruang abstrak, segala sesuatu bisa terjadi, dan itu
pasti selalu luput dari kacamata sosial.
Henri
Lefebvre mengalihkan perhatian neo-Marxis dari analisis tentang alat-alat
produksi ke produksi ruang (reproduksi). Aspek kunci argumen Lefebvre terletak
yang kompleks terletak pada pembedaan
triapartite; praktik ruang, representasi ruang dan ruang representasional.[3]
Analisis tentang ruang dari perspekti Lefebvre sangat menarik dan aktual dengan
konfik pembangunan tembok tinggi di atas.
Sebelum
menganalisis tiga ruang tersebut di atas, saya perlu mengutarakan peran ruang
menurut Lefebvre, sebagaimana yang ditulis Ritzer di dalam dunia sosio-ekonomi.[4] Pertama, ruang mengambil peran sebagai
kekuatan produksi (kekuatan-kuatan yang lebih tradisional seperti
pabrik-pabrik, peralatan dan mesin-mesin).
Kedua,
ruang merupakan komoditas yang sangat luas yang dikonsumsi, dan ruang juga
dapat dikonsumsi secara produktif. Ketiga,
ruang berguna secara politis, memfasilitasi pengendalian sistem. Keempat, ruang menopang reproduksi
hubungan-hubungan reproduktif dan hak milik. Contoh, pembangunan tembok tinggi
oleh kaum kapitalis, dan perumahan kumuh bagi kaum miskin.
Kelima,
ruang dapat mengambil bentuk superstruktur. Contohnya, jalan raya. Bagi kaum
kapitalis, jalan raya menguntungkan, karena mereka dapat mendistribuskan
bahan-bahan mentah dengan mudah dan murah. Orang miskin juga menggunakan jalan
raya untuk mengakses dan mendapatkan barang-barang mahal, hasil produksi
kapitalis. Keenam, selalu ada potensi
positif di dalam ruang. Contoh, penciptaan karya-karya yang benar-benar
manusiawi dan kreatif di dalamnya, dan juga kemungkinan mencocokkan ruang demi
kepentingan orang-orang yang sedang dikendalikan dan dieksploitasi.
Lefebvre
memulai penjelasannya tentang ruang dengan menganalisis tentang praktik ruang yang meliputi produksi dan repoduski ruang. Pemilik modal dan elite mengakumulasi ruang
guna mencapai dan melanggengkan dominasi. Hal ini tampak dalam program-program
penataan kota. Kota ditata secara baru seturut akumulasi kepentingan pemilik
modal dan elite. Setelah kota ditata ulang, hanya elite dan pemilik modal yang
dapat menduduki kota, sedangkan kaum miskin terpaksa pindah ke tempat baru.
Di
tempat baru, kaum miskin menciptakan ruang baru bagi perumahan baru, dan segala
sesuatu harus dimulai secara baru. Lefebvre berpendapat bahwa “praktik ruang”
kaum miskin ini diubah secara radikal oleh “representasi ruang” oleh
orang-orang yang mendukung, menciptakan dan melaksakan pembaruan perkotaan,[5]
yakni pemilik modal, elite dan penguasa.
Representasi
ruang dipandang “ruang yang benar” oleh orang-orang yang berkuasa, representasi
ruang memberikan “kebenaran ruang”.[6] Di
sini orang-orang hanya menyaksikan dan mengalamai yang tampak dari praktik
ruang, bukan yang tersembunyi di balik ruang yang direpresentasi itu.
Kita
dapat memikirkan, menjelaskan, memahami dan mempertimbangkan hal-hal yang
tampak dari tembok tinggi, akan tetapi kita tidak pernah tahu realitas
penindasan, dominasi, pencaplokan dan kekerasan di balik tembok yang
direpresentasi itu. Kita tidak memiliki kepentingan untuk mengakses praktik
ruang dan ruang representasional itu, sebab itu merupakan ruang privat yang
abstrak.
Lefebvre
menjelaskan bahwa ruang mutlak atau ruang alamiah ialah wilayah atau ruang yang
tidak dihuni dan masih alamiah. Ruang privat yang abstrak merupakan ruang
dominasi. Di dalam privat yang absrak itu, segala sesuatu dibuat menjadi tidak
otentik, atau dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik.[7] Selanjutnya,
ruang privat yang abstrak ini menjelma menjadi ruang mutlak, sebab ruang itu
milik privat. Dalam pengertian dan kepentingan tertentu, ruang privat adalah
ruang abstrak.
Menariknya,
Lefebvre mengkritik kapitalisme modern dengan menganalisis secara kritis “ruang
abstrak” ini. Ritzer menulis, “ruang abstrak bukanlah ideasional yang adil; ia
benar-benar menggantikan ruang historis. Ruang abstrak dicirikan oleh absensi
hal-hal yang dihubungkan dengan ruang mutlak.” Ruang abstrak ini menyembunyikan
praktik-praktik manipulasi dan kejahatan-kejahatan, menciptakan
paradoks-paradoks, dan menyelesaikan paradoks-paradoks itu dengan
kebijakan-kebijakan kontraproduktif.
Pemilik
modal membangun tembok tinggi bermaksud melanggengkan kekuasaan dan penguasaan
atas tanah, komoditas, tenaga kerja, alat-alat produksi, relasi produksi dan
segala kepemilikannya. Ruang memberikan tempat bagi pengusaha (pemilik modal)
dan elite untuk mengendalikan, mendominasi dan mengakumulasi ruang dalam
keseluruhannya demi penimbunan harta.
Di
dalam ruang itu segala sesuatu dilihat dan direduksi menjadi komoditas, tak
terkecuali tenaga kerja (potensi dan kodratnya). Pereduksian ini berdampak pada
praktik alienasi. Dalam sistem kapitalisme pemilik modal berkeyakinan bahwa
komoditas dan pasar merupakan segala-galanya, sementara manusia semakin
kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Para pekerja terpisah dari keputusan
manusiawi dan kebutuhan-kebutuhannya. Inilah yang disebut Marx sebagai problem
fetisisme komoditas.
Ruang Harapan: Macam
Mana?
Ruang
macam mana yang kita harapkan agar praktik kejahatan, eksploitasi, penindasan,
kekerasan dan kebrutalan di ruang abstrak dapat dikurangi, malah dihentikan?
Analisis tentang ruang dalam teori neo-Marxian mendapat perhatian banyak
pemikir, termasuk Edward Soja dan David Harvey. Harvey, dalam bukunya yang mutakhir,
Ruang Harapan (2000) mengkritik argumen-argumen geografis yang ditulis Karl
Marx dan Engels dalam buku Communist
Manifesto. Dalam Communist Manifesto,
Marx dan Engels lebih menekankan argumen-argumen geografis, sementara Harvey
menggarisbawahi waktu dan sejarah dibanding ruang dan geografi.[8]
Harvey
yakin bahwa kaum kapitalis menciptakan keuntungan dengan terus menerus
mengeksplorasi wilayah-wilayah geografis dan pasar lokal-global untuk
dieksploitasi dan kemudian menguasai secara hegemoni di wilayah-wilayah itu. Kaum
kapitalis menghendaki agar mereka dapat menguasai “ruang-ruang abstral” tanpa
batas dan tanpa kendali. Karena itu kita mesti menyesuaikan diri terus menerus
dengan perubahan dan perkembangan yang diciptakan dan dikuasai oleh
kapitalisme.
Lalu,
apa yang dimaksudkan Harvey dengan Ruang Harapan, bila ruang dikapitalisasi
oleh kaum kapitalis? Pertama, Harvey
mau melawan pesimisme yang meresap di kalangan sarjana masa kini.[9]
Pesimisme ini tampak dalam sikap pembiaran terhadap dominasi kapitalisme yang
melanggengkan kontradiksi-kontradiksi. Kedua,
Harvey mengakui keberadaan ruang perjuangan politis, sehingga ada harapan di
dalam masyarakat.[10]
Dan ketiga, Harvey menggambarkan suatu
ruang utopia masa depan yang memberi harapan kepada orang-orang yang prihatin
dengan penindasan ruang masa kini.[11]
Dalam
konteks Indonesia, peraturan penataan ruang sudah diatur dalam hukum negara,
sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 671 KUHPerdata berbunyi: “Jalan
setapak, lorong atau jalan besar milik bersama dan beberapa tetangga, yang
digunakan untuk jalan keluar bersama, tidak boleh dipindahkan, dirusak atau
dipakai untuk keperluan lain dari tujuan yang telah ditetapkan, kecuali dengan
izin semua yang berkepentingan.”[12]
Pemilik
tanah atau ahli waris tanah mesti memahami hal ini. Artinya bukan karena
didesak oleh kepentingan pribadi dan imperatif pasar, pemilik tanah dan pemodal
bebas membangun tembok tinggi tanpa mempertimbangkan akses publik, etika
bisnis, dan aturan hukum negara. Di sini peran negara untuk mengatur,
mendefenisikan kembali, mengorganisasikan kembali, mengendalikan dan menata
ruang sangatlah mendesak. Dengan demikian Ruang Harapan akan kebebasan,
kemerdekaan, komunikatif dan emansipatoris benar-benar terwujud dan diakses
oleh semua orang.
[1] Andi Saputra, “Geger Akses Jalan
di Ciledug Dipagar 2 Meter, Bagaimana di Mata Hukum?”, dalam Detik.com., https://news.detik.com/berita/d-5497094/geger-akses-jalan-di-ciledug-dipagar-2-meter-bagaimana-di-mata-hukum?_ga=2.31156735.1967003957.1615984154-185696958.1611452810,
diakses pada 17 Maret 2021.
[2] Candra Setia Budi, “Cerita di
Balik Perjuangan Ratusan Murid SD di Kupang Panjat Tembok 4 Meter agar Sampai
ke Sekolah", dalam Kompas.co, https://regional.kompas.com/read/2020/03/07/07300061/cerita-di-balik-perjuangan-ratusan-murid-sd-di-kupang-panjat-tembok-4-meter?page=all.
diakses pada 17 Maret 2021.
[3] George
Ritzer, Teori Sosiologi. Dari Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, diterj. Saut Pasaribu, Rh.
Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014), hlm.
525-532.
[4] Ibid., hlm. 528-529.
[5] Ibid., hlm. 526.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 527.
[8] Ibid., hlm. 533.
[9] Ibid., hlm. 535.
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Andi Saputra, “Geger Akses Jalan
di Ciledug Dipagar 2 Meter, Bagaimana di Mata Hukum?”, dalam Detik.com., https://news.detik.com/berita/d-5497094/geger-akses-jalan-di-ciledug-dipagar-2-meter-bagaimana-di-mata-hukum?_ga=2.31156735.1967003957.1615984154-185696958.1611452810,
diakses pada 17 Maret 2021.
Post a Comment for "Ruang Abstrak, Fetisisme Komoditas dan Ruang Harapan"