Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tidur dan Puisi lainnya

Melki Deni
TIDUR

Kita yang asyik menguap lebar-lebar sama sekali tidak ingat lagi akan beberapa adegan dalam mimpi yang sempat menjadikan kita asing, dari kita. Adegan mimpi yang sempat menjadikan kita asing, dari kita, berjalan tanpa arah; arah pun lupa jalannya, dan tak lagi ingin bertanya mengapa kita tiba-tiba hilang dari mimpi.

Kita melihat sepasang kupu-kupu berusaha menabrak kaca jendela itu, dan sepertinya, mereka ingin mengantar kita kembali ke dalam mimpi, atau menafsirkannya kepada kita; kalau-kalau kita sama sekali tidak bisa menemukan kembali mimpi itu.

Kita tidak memandang matahari yang tidak peduli dengan mimpi kita, yang menyebabkan kita bangun untuk tidur lagi. Konon, kata mereka, pernah ada orang takut tidur, karena orang itu menemukan dirinya sedang mati di dalam tidurnya. Ia memang tahu ia sedang berada di dalam mimpi, tapi kemudian ia takut menghadapi dunia di luar mimpi.

Ketika ia terbaring, suka membayangkan dirinya sebagai mimpi saja; menyerang siapa saja. Ketika ia terbangun pagi hari, ia bertanya untuk apa? Ketika ia mengantuk sebelum siang, ia bertanya mau ke mana? Ketika ia mau tidur malam, ia bergumam kapan lagi?

Tapi tiba-tiba aku terkejut, risau dan bertanya mengapa ada orang takut tidur? Bukankah tidur adalah fragmen-fragmen kecil di mana kita latih hidup di ruang abstrak, tak ada batasnya itu. Kita pun tidak perlu susah payah mencari nafkah, korupsi, merampok, mengaborsi, memperdagangkan sesama, perang membela Tuhan dan berjalan di atas tanah kering itu? Tidur adalah latihan kecil-kecil membebaskan diri dari persaingan hidup tanpa kendali ini. 

Tidur adalah lambang kematian yang begitu akrab, dan terlalu nikmat. Itulah sebabnya orang-orang sudah mati malas bertamasya ke bumi, dan tiap saat memperjuangkan keabadiannya di sana.


DENGAN SEDERHANA

Peluklah yang masih ada. Peluklah aku dengan sederhana, sebelum malam susut kelabu di Barat, sebelum waktu menggigilkan ruangan adem itu, suara meleleh pelan dari Usia. Tercatat pada pohon-pohon di luar jendela

Peluklah dengan sederhana. Kueja setia, meski segalanya mulai raib dalam Sepi. Kusapa sepimu dengan sederhana, yang dahulu sempat dirahasiakan dari isyarat-isyarat yang menyekat seribu kata dari Duka yang berhasil menyusun Usia.

Peluklah yang masih ada. Sewaktu wajah Duka kita merantau nun jauh di sana. Melewati batas ruang dan waktu. Kupeluk pelukanmu dengan penuh seluruh. Sewaktu kau tak perlu mengatakan apa-apa.


*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-Flores-NTT.


Post a Comment for "Tidur dan Puisi lainnya"