Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Belajar Menangis dan Puisi lainnya

Pixabay.com

Kopi Mantan


Tidak usah bikin gaduh, menghebohkan jagat raya dan surga.

Kopi yang kamu minum dari cangkir cantik itu, buah karya tangan mantan saya yang pernah mengalirkan kemanisan dalam kepala ini. Sejarah membuktikan kemanisan tidak pernah mengkhianati kepahitan. Itulah sebabnya buru-buru saya melepaskannya, dan menyambut kejomloan.

Dia yang kaujadikan istimewa itu, ternyata juga mantan dari beberapa sahabat saya, setelah dia bertengkar dengan saya tentang siapa di antara kami yang lebih dulu menghapus kenangan di kafe rindu, kopi, kado, gereja, taman kota, halte, dan jalan-jalan yang pernah kami lalui bersama.

Dia yang akan jadi pendamping hidupmu adalah kopian di atas kopi; orangnya sama, tapi forma-nya sungguh-sungguh jauh berbeda, bukan? Matanya selalu ke ranjang, sebabnya hidungnya belang.


Belajar Menangis

Di bawah ini saya ungkapkan beberapa pengalaman menangis yang meyakinkan saya bahwa hidup adalah belajar menangis, setelah bahagia lima belas detik itu:

pertama, ketika Tuhan tidak membukakan mata saya untuk menyaksikan orang-orang buta. Orang-orang buta seperti saya digiring ke sana kemari tanpa tenaga, dan bertanya mengapa Tuhan tidak memberikan warna.

kedua, ketika Tuhan tidak mengaruniakan saya pendengaran yang peka untuk mendengarkan rintihan dan ratapan orang-orang tuli. Orang-orang tuli seperti saya tidak pernah bertanya mengapa telinga tidak memaafkan suara.

ketiga kali saya menangis ketika Tuhan tidak menganugerahkan Bahasa kepada mulut saya untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan di tengah kebohongan dunia. Orang-orang bisu seperti saya tidak bertanya mengapa mulut tidak membenci Bahasa, hingga tak bosan-bosannya dibisukan sampai ke liang lahat.

keempat, ketika Tuhan tidak memberikan saya otot yang kuat untuk membawa keluar orang-orang dari penderitaan, kemalangan, dan kefanaan. Orang-orang lemah seperti saya tidak bertanya mengapa otot tidak mengkhianati usia, hingga saya makin hari makin merangkak di tengah kecekatan orang-orang super.

Dari keempat pengalaman itu, saya bertanya kepada rumput yang bergoyang, mengapa Tuhan tidak menganugerahkan semuanya itu, dan mereka menjawab; Tuhan takut sama manusia egois, perfeksionis, posesif, otoriter, dan supersibuk.

kelima, ketika Tuhan menghadiahkan segalanya kepada saya, tapi saya lupa jalan menuju rumah Tuhan. Orang-orang supersibuk seperti saya tidak pernah masuk ke dalam diri, dan bertanya mengapa nurani saya tidak bersuara lagi. Saya pun menangis setelah bertempur melawan diri sendiri, yang selalu saja kalah.


*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-Flores-NTT.

Post a Comment for "Belajar Menangis dan Puisi lainnya"