Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gerakan Buruh Perempuan dan Demokrasi Pancasila

Melki Deni

Zaman imperialis memiliki pengaruh besar pada kemajuan gerakan buruh. Kemajuan industri secara besar-besaran melahirkan massa kaum buruh yang lebih besar lagi dan menggampangkan menyusun organisasi buruh di atas dasar kelas yang lebih luas.[1]

Pada mulanya, kaum buruh hanya bersangkutan dengan kaum majikan setempat. Ini pula yang menyebabkan gerakan buruh di Inggris terhambat kemajuannya oleh perasaan kedaerahan dan perasaan golongan (ingat Owenisme dan Chartisme pada pertengahan yang pertama dari abad ke-19).[2] Kaum buruh ini terdiri dari kelompok rentan, kaum miskin, termarginal, dan perempuan. Perempuan tidak hanya dieksploitasi di perusahaan pabrik melalui kerja, tetapi terutama dieksploitasi secara seksual baik dalam kehidupan rumah tangga maupun di industri seks, prostitusi dan lokaslisasi.  

Menurut Aidit, sekarang kaum buruh mesti menghadapi persekutuan-persekutuan perusahaan besar yang meliputi seluruh negara, jadi tidak lagi menghadapi orang perorangan. Organisasi yang bisa dengan tepat melindungi kepentingan kaum buruh, hanya organisasi serikat buruh yang disusun di atas dasar nasional dan bersamaan dengan itu mengulurkan tangannya hingga keluar batas daerah-daerah nasional juga.[3] Hal ini tampak dalam praktik penjualan atau perdagangan kaum buruh perempuan.

Sekelumit Gerakan Buruh di Indonesia

Aidit menjelaskab bahwa sebelum tahun 1870, eksploitasi (penghisapan) yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap Rakyat Indonesia didasarkan atas peraturan “cultuurstelsel”. Peraturan ini dilahirkan dalam tahun 1830 di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal van den Bosch (gubernur jenderal di Indonesia tahun 1830-1833, kemudian tahun 1833-1839 menjadi menteri jajahan).[4]

“Cultuurstelsel” mewajibkan kaum tani : 1) menyerahkan hasil buminya pada pemerintah Hindia Belanda; 2) kerja paksa (rodi) untuk pemerintah; 3) memikul berbagai macam pajak.[5] Kemudian kewajiban “menyerahkan sebagian hasil buminya” dan “kerja-paksa”, diganti dengan “menyerahkan sebagian tanahnya” untuk ditanami bahan-bahan ekspor yang laku pada waktu itu (kopi, teh, torn atau indigo). Rakyat diwajibkan mengerjakan tanah bagian pemerintah mulai dari membuka tanah, menanam, memelihara, menjaga, memetik, memelihara hasilnya, mengangkut ke gudang, menjaga gudangnya, hingga bahan-bahan itu terjual.[6] Kegiatan ini dilakukan oleh rakyat Indonesia di bawah paksaan atau kekerasan.

Aidit menyimpulkan bahwa “Cultuurstelsel” ditambah dengan kekuasaan raja di berbagai daerah, merupakan penghisapan dan penindasan yang sangat kejam atas kaum tani Indonesia oleh kapital dagang asing (Belanda) dan oleh raja-raja yang dilakukan dengan sewenang-wenang, secara memusat maupun secara lokal.[7]

Sejak Indonesia dalam tahun 1895 menginjak zaman imperialis, maka terdapatlah di Indonesia tiga pertentangan (kontradiksi) pokok dalam tubuh imperialisme itu sendiri. Tiga pertentangan pokok itu ialah[8]

Pertama, pertentangan antara buruh dengan kapital, antara massa kaum buruh yang luas dengan grup-grup kecil yang sangat kaya, dan karena kayanya mereka berkuasa.

Kedua, pertentangan antara berbagai grup finansiil (kaum uang) dan berbagai grup negara imperialis dalam perjuangannya untuk mendapatkan sumber bahan mentah, untuk mendapat daerah-daerah asing.

Ketiga, pertentangan antara segenggam bangsa yang berkuasa, yang “berkebudayaan”, dengan beratus-ratus juta bangsa jajahan dan setengah jajahan.

Pada 1905 berdirilah serikat buruh yang pertama di Indonesia dengan nama SS-Bond. SS-Bond didirikan hanya untuk pegawai SS, dan keanggotaannya tidak mengenal perbedaan bangsa. Ketiadaan pemimpin dari bangsa Indonesia ketika itu, menyebabkan pimpinan dipegang oleh pegawai-pegawai SS bangsa Belanda. SS-Bond bukan organisasi buruh yang militan, dengan demikian tidak mungkin ia memenuhi keinginan kaum buruh.[9]

Pada umumnya yang menjadi anggota-anggota serikat buruh-serikat buruh yang disebutkan di atas ialah buruh-buruh rendahan, karena pada waktu itu boleh dikata sangat jarang orang Indonesia menduduki tempat yang penting dalam jabatan. Dan jika ada yang menduduki tempat yang penting, maka ia pun memisahkan diri dari masyarakat bangsanya sendiri dan dalam pergaulannya menggolongkan diri pada orang-orang Barat.[10]

 

Gerakan Buruh Perempuan: Mencari Pembebasan

Perempuan disubordinasi oleh laki-laki (dan kepentingan-kepentingan tertentu) di segala tempat di dunia sepanjang sejarah manusia. Sekitar pada tahun 1630-an analisis, diskusi dan tulisan-tulisan aktivis perempuan mulai beredar.[11] Tulisan-tulisan mereka dirampas, dicaplok, dipinggirkan, disisihkan dan bahkan dibuang dari laporan publik oleh kaum laki-laki yang menghendaki segala bentuk organisasi sosial, pendidikan, ekonomi, keagamaan dan orginasasi politik sebagai basis kekuasaan kaum laki-laki semata. Sejak itu analisis tentang perempuan sebagai upaya kolektif yang signifikan mulai bertumbuh di kalangan aktivis perempuan—mereka mulai menyadari, merefleksikan dan memprotes situasi sosial (penindasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk).

Di Indonesia sendiri, Kongres Perempuan Pertama berlangsung di Yogyakarta Pada 22 Desember 1928. Kongres ini diilhami oleh Soejatin (yang berusia 21 tahun pada waktu itu), yang bekerja sama dengan Nyi Hadjar Dewantara dan Nyonya RA Soekanto. Kongres Perempuan Pertama ini dihadiri oleh 600 peserta sebagai perwakilan dari berbagai organisasi perempuan di Indonesia.[12] Para aktivis perempuan menghendaki agar semua perempuan bisa bebas untuk mendapatkan hak-hak politis, ekonomi (Undang-undang permbaruan industrial), identitas kewarganegaraan, pendidikan dan pengakuan dari semua orang dari berbagai latar belakang. Akan tetapi perjuangan ini mendapat perlawanan lebih sengit dan kejam dari kelompok laki-laki. Kaum perempuan seringkali mendapat siksaan lebih kejam dan bahkan mematikan, tatkala perempuan berusaha melawan, dan memprotes situasi sosial saat itu.

Penindasan terhadap perempuan merupakan akibat langsung dari relasi kekuasaan politik, budaya patriarki dan kekuatan modal. Pemerintahan dengan tangan besi merupakan konsekuensi dari susunan kekuasaan yang dipicu oleh paradigma yang kuat, dominasi dan berani. Kepentingan-kepentingan dalam ranah politis dipautkan dengan kepentingan-kepentingan bisnis-ekonomi tentu saja membahayakan struktur sosial masyarakat dan paradima superstruktur dalam masyarakat.

Perempuan dipandang sebagai vampir penganggu dalam setiap pengambilan kebijakan ekonomi politis, sehingga perempuan layak tidak dihargai, disubordinasi dan ditolak dari percaturan politik dan peralihan kekuasaan. Di tempat industri periklanan atau perfilman, perempuan diseleksi dengan kriteria-kriteria tertentu oleh produser untuk menjadi bintang iklan, dan menolak yang tidak sesuai kriteria-kriteria, sebab mereka dipandang sebagai produk gagal. Di sana para perempuan bekerja demi subsistensi dan bertahan hidup, sementara pemodal yang mempekerjakan perempuan beroperasi demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.

Dalam kehidupan rumah tangga tidak sedikit perempuan pun disubordinasi, diperalat, ditindas dan dikalkulasi secara bisnis-ekonomi. Perempuan tidak lebih bernilai daripada benda-benda dan komoditas-komoditas![13] Perempuan disulap menjadi modal untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi. Hilangnya ekonomi sistem subsistensi (penyambung hidup) yang ada di masyarakat Eropa sebelum masa kapitalisme, kesatuan antara produksi dan reproduksi pun berakhir seiring dengan aktivitas-aktivitas yang terbagi ke dalam perbedaan hubungan sosial dan dibedakan secara seksual.[14]

Pengendalian tubuh ini menciderai martabat perempuan sebagai manusia dan menyumbat semangat revolusioner perempuan akan pembebasan dan pengakuan. Pengendalian tubuh juga menghancurkan secara perlahan karakter, potensi manusiawi dan moral kaum perempuan. Perempuan bekerja bukan untuk mengekspresikan potensi manusiawinya dan memenuhi kebutuhannya, malah meningkatkan keuntungan bagi kaum kapitalis. Perempuan dapat disebut sebagai produk untuk menghasilkan modal atau uang lebih banyak lagi.[15]

Pemilik modal memangkas dan menyumbat keputusan-keputusan dan kehendak-kehendak manusiawi perempuan dalam proses kerja. Perempuan tidak dibiarkan oleh pemilik modal untuk mengembangkan potensi manusiawi, cara-cara pengenalan baru, ide-ide baru, keahlian, kreativitas, Bahasa baru dan pengetahuan perempuan. Di dalam organisasi-organisasi industri modern, pengendalian sederhana cenderung digantikan dengan pengendalian teknis yang impersonal dan lebih canggih dan birokratis.[16] Perempuan dikendalikan, diperintah dan diatur oleh teknologi-teknologi modern.

 

Demokrasi Pancasila: Jalan Keluar Tunggal

Perempuan Indonesia masih terbelenggu di bawah kendali laki-laki dan dominasi imperatif pasar bebas. Perempuan Indonesia belum benar-benar merasakan kebebasan berpendapat, berpolitik, berpendidikan dan berkedudukan tinggi pada bidang sosial tertentu. Meskipun beberapa perempuan yang bekerja dan mendapat kedudukan politis, namun perempuan Indonesia masih belum cukup terwakili. Suara-suara minor perempuan masih tersumbat oleh kepentingan-kepentingan dominasi hegemoni kaum lelaki dan logika fundamentalisme pasar bebas.[17]

Perempuan menderita, maka negara sakit, menuju kepunahanya. Di sinilah negara berperan untuk mengendalikan kerakusan kaum kapitalis dan merombak sistem ekonomi negara yang berbau neoliberal. Pembangunan ekonomi politik nasional tentu sangat perlu untuk mentransormasi negara, tetapi harus dilakukan sedemikian rupa dengan terutama memperhatikan dan melindungi kaum perempuan sebagai ibu ekonomi negara.[18]

Dengan kesadaran akan kemanusiaan universal (sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), semakin jelaslah bahwa Pancasila yang terus diagung-agungkan, digaungkan dan diperjuangkan oleh manusia Indonesia menjadi aktual dan tepat sasar. Sebagai manusia Indonesia, kita harus berani memberantas dan menghentikan gerakan-gerakan kejahatan perdagangan perempuan dan jaringan-jaringannya sampai ke akar-akarnya dengan mengakui perempuan sebagai manusia, bukan sebagai alat produksi ekonomi atau komoditas. Prinsip kemanusiaan universal senantiasa dialektis dan komunikatif berdaya transformatif.[19]

Prinsip-prinsip kemanusiaan dialektis dan komunikatif, justru ketika kita melihat manusia lain (perempuan) dengan latar belakang yang berbeda sebagai sesama. Di dalam diri setiap perempuan Indonesia, ada nilai-nilai luhur dan keutamaan yang mesti dimuliakan dan diluhurkan yakni kemanusiaan. Dalam kesadaran akan kemanusiaan universal, tak kurang sedikit pun ciri kemanusiaan dan hakikat manusia kita menemukan nila-nilai terluhurnya.[20]

Perikemanusiaan begitu luhur dan mulia. Kegagalan mencapai dan tinggal di dalam nilai-nilai kemanusiaan universal serta tidak mampu memperjuangkannya begitu merisaukan, dan akhirnya mematikan.[21] Kesadaran akan perikemanusiaan dalam diri perempuan Indonesia merupakan pijar filosofis yang dapat menerangi peradaban dan menghalau tindak kejahatan perdagangan kemanusiaan. Perempuan akan dilihat sebagai manusia, yang punya hak asasi dan martabat manusia, yang mesti dilindungi dan diperjuangkan terus menerus. Dan kasihan sekali manusia Indonesia yang tidak memiliki kesadaran akan kemanusiaan dalam diri perempuan.

Dengan Demokrasi Pancasila sebagai jalan keluar tunggal, kita dapat merebut kembali dan menyelamatkan perempuan Indonesia dari cengkeraman kaum kapitalis. Perempuan adalah manusia, bukan komoditas pasar bebas. Perempuan adalah manusia, sehingga ia tidak layak dieksploitasi demi kepentingan apa pun.



[1] D.N. Aidit Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia (Djakarta: Jajasan “Pembaruan", 1952), hlm. 11.

[2] Ibid., hlm. 11-12.

[3] Ibid., hlm. 12.

[4] Ibid., hlm. 13.

[5] Ibid., hlm. 13-14.

[6] Ibid., hlm. 14.

[7] Ibid.,

[8] Penjelasan ini saya mengacu pada Aidit Ibid. hlm. 23.

[9] Ibid., hlm. 37.

[10] Ibid., hlm. 39.

[11] Georg Ritzer, Teori Sosiologi. Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, terj. Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014), hlm. 10.

[12] Saparinah Sadli, “Rembuk Perempuan”, dalam KOMPAS edisi 22 Desember 2018, hlm. 6.

[13] Ruth Indiah Rahayu, “Membawa  Tubuh Perempuan  ke Pasar ‘Tuhan’”, dalam Ruth Indiah Rahayu et al., Tuhan, Perempuan,  dan Pasar (tanpa tempat: IndoPROGRESS, 2019), hm. 46.

[14] Fathimah Fildzah Izzati, “Akumulasi Kapital dan Perampasan Otonomi atas Tubuh Perempuan” dalam  Indoprogress.Com https://indoprogress.com/2020/05/akumulasi-kapital-dan-perampasan-otonomi-atas-tubuh-perempuan/, diakses pada 28 Juli 2020.

[16] George Ritzer, Teori Sosiologi. Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, diterj. Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014), hlm. 510.

[17] Melkisedek Deni, “Perempuan Bukan Komoditas Pasar Bebas”, dalam NTT Progresifhttps://nttprogresif.com/2021/03/10/perempuan-bukan-komoditas-mutakhir-pasar-bebas/ diakses pada selasa 13 April 2021.

[18] Ibid.,

[19] Melkisedek Deni, “Pandemi, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita” dalam NTT Progresifhttps://nttprogresif.com/2021/04/13/pandemi-terorisme-dan-kemanusiaan-kita/diakses pada Rabu 14 April 2021.

[20] Ibid.,

[21] Ibid., 

Post a Comment for "Gerakan Buruh Perempuan dan Demokrasi Pancasila "