Merawat dan Puisi lainnya
Merawat
di atap kampus dekat kapela tua itu,
gerombolan burung gereja mengibas-ngibaskan sayapnya setelah melintasi lembar bumi yang fana ini
Mencicit kecil-kecil,
Melompat kecil-kecil
Menari kecil-kecil,
di sini pun air mata berkecipak-kecipak kecil-kecil sehabis hujan kemarin, seketika aku lupa untuk apa aku menangis?
Air mata adalah mawar yang menyembunyikan duri-duri; getir menjadi rindu kecil-kecil! Seperti gerimis jatuh ritmis memecahkan batu-batu di taman kampus itu, yang raib dalam embun pagi, dan kabut sore.
seharusnya kau tak perlu mengingat kembali jalan-jalan, jarak, pagi tanpa kopi, malam tanpa angin, penderitaan, pegunungan, rumah sakit, rindu-rindu yang tak pernah menjadi kenyataan. Kau mengubah lagi rindu menjadi getir. Kau berhasil menyeberangi sungai air mata, sehabis mengundang gerimis di batas-batas waktu itu. Kau tak perlu lagi melupakan nama, kisah, isyarat yang membentuk peristiwa, dan lakon-lakon yang membentuk pigura.
di atas atap kampus dekat kapela tua itu, cerita berhenti sejenak, gerimis pun raib seketika burung-burung gereja mengibas-ngibaskan sayapnya. Tapi masih ada sisa pertanyaan, "apa yang masih tersisa dari pertanyaan dan seruhmu?"
Tak butuh jawab, kecuali merawat sepi menjadi rindu, getir jadi kenangan.
Bunga di Tepi Jalan
Bunga di tepi jalan, ditiup angin basah dan
lepas dari tangkainya waktu itu
mengarungi samudra luas tanpa akar
Yang terbaring lemas tanpa tenaga di emperan toko
Yang tak bosan-bosannya mengetuk pintu kita
Bunga di tepi jalan, ditiup angin basah dan melayang-layang tanpa arah
Yang suka mengusut kelabu di bawah terik matahari
Yang berdiri meminta-minta di tepi jalan itu
*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero- Maumere-Flores-NTT.
Post a Comment for "Merawat dan Puisi lainnya"