Sesungguhnya Pendidikan Indonesia Belum Merdeka
Melki Deni
Sejak akhir
Desember 2019 hingga akhir 2021 ini disebut era pandemi covid-19. Di sebagian
besar negara di dunia dan Indonesia khususnya, jutaan orang terkapar dalam
kelaparan, miskin dan menganggur. Tidak sedikit orang mati karena terserang covid-19. Pandemi covid-19 merongrong
semua sektor kehidupan masyarakat dunia, tidak terkecuali sektor pendidikan
Indonesia. Pendidikan Indonesia mengalami kemunduran baik pada tingkatan
praksis di lapangan maupun kebijakan-kebijakan darurat dari pemerintah.
Kebijakan-kebijakan darurat negara berfokus mengendalikan tersebarnya
pandemi covid-19, ketahanan hidup, dan upaya pembangkitan kehidupan secara nasional dari keterpurukan itu. Bantuan
sosial disalurkan. Proses vaksinasi dipercepat.
Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MB-KM) diterapkan. Kemendikbud
pun bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan swasta terutama dalam penyediaan
platform-platform sistem Pembelajaran Daring (SPADA) dengan basis tekonologi dan pulsa data/internet. Semuanya itu diputuskan guna memperlancar proses pendidikan
dan pembelajaran di tengah pandemi covid-19. Sebab pendidikan merupakan alat utama
negara untuk membangun dan meningkatkan sumber daya manusia yang unggul dan
integral.
Apakah kelaparan, kemiskinan dan pengangguran merupakan kondisi kemanusiaan
atau justru diciptakan oleh kekuatan dan pemegang tampuk kekuasaan negara (pemerintah) secara sistemik dan struktural? Apakah buta huruf merupakan
realitas alamiah dalam kehidupan warga negara? Kelaparan, kemiskinan dan
pengangguran merupakan akibat langsung dari kebijakan negara dan kecolongan
para pemodal dengan sistem ekonomi pasar bebas yang cenderung diskriminatif,
manipulasi dan represi.
Pada Jumat,19 November 2021 lalu, saya dan beberapa teman belanja sayur-mayur di pasar Alok, Maumere, Kabupaten
Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kami turun dari mobil pick up, dan menyebar untuk membeli sayur-mayur, dan
bumbu-bumbu sesuai nota belanja. Teman saya, Alex, tiba-tiba menghilang di tengah keramaian para
penjual dan pembeli itu. Akibatnya saya sibuk
mencari dia dari sudut ke sudut di pasar itu. Karena saya tidak temukan dia,
saya balik ke mobil pick up.
Seperti lazimnya, para penjual bertanya-tanya dan menawarkan barang-barang
jualannya kepada pembeli dengan ekspresi wajah yang memikat. Namun saya tidak
cukup tergoda atas tawaran seperti itu, bukan karena tidak mau beli, melainkan
tidak pegang uang dan nota belanja. Sebelum sampai ke mobil pick up, saya
sungguh terharu dengan seorang anak lelaki berumur sekitar 10 tahun. Ia duduk
jongkok di dekat tempat sampah. Anak kecil dengan alas kaki itu sedang
membersihkan bawang putih yang dibuang oleh para penjual. Kalau ada orang yang lewat di sekelilingnya,
anak kecil berbaju biru itu pura-pura merapikan sampah-sampah itu.
Wajahnya menampakkan kelaparan. Sepertinya ia tidak sekolah. Kalau dia
sekolah, dia pasti ke sekolah hari itu. Apalagi beberapa minggu
terakhir sekolah-sekolah mulai menerapkan pembelajaran tatap muka. Wajahnya tidak menunjukkan ia
sekolah. Sehari-hari hidupnya sibuk mencari nasi dan mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Ia jujur
dengan diri dan keadaannya.
Tidak lama kemudian ia duduk di atas tempat jualan yang masih kosong,
sepertinya pemilik tempat itu belum masuk kerja. Sambil menggoyang-goyangkan
kakinya, ia celingukan ke sana ke mari tanpa tenaga. Bila tidak ada orang yang
lewat di depannya, sesekali ia tampi bawang putih yang telah dipilihnya dari
tempat sampah itu dengan bajunya yang sudah kusut dan kusam. Saya benar-benar
terdiam menyaksikan anak kecil itu.
Wajahnya mengetuk nurani. Ada gejolak dari hati saya untuk
memberikan sesuatu kepada anak kecil itu, tapi saya tidak punya apa-apa. Saya
mau berikan dia beberapa buah pisang, tapi itu bukan milik saya. Saya
mencari-cari apa yang pantas saya berikan kepada anak kecil itu. Akhirnya, saya temukan sekantong plastik
kue. Kue itu milik teman-teman saya. Kebetulan saat itu teman-teman sedang
sibuk belanja, saya langsung ambil kue-kue tersebut, dan berikan ke anak kecil
itu.
"Ade, lagi buat apa di sini? Ade tidak ke sekolah hari ini ya?”
" Saya tidak sekolah kaka,” kata anak kecil itu.
“Mana bapak mama?” tanya saya.
“Bapa mama tidak ada, kaka. Itu sebabnya saya datang ke sini?” jelasnya
singkat.
“Oh. Ade, ayo sambil makan kue ini!”
“Terima kasih kaka!”
“Baik ade. Saya pamit dulu ya!”
Saya terdiam, ketika mendengarkan perkataan anak itu. Suaranya tenggelam
dan begitu lirih. Lalu saya pamit pulang
kembali ke mobil pick up. Dari mobil itu, saya lihat dia makan kue-kue itu. Sepertinya ia sungguh
kelaparan. Setelah kue-kue habis dimakannya, ia gunakan kantong plastik itu
untuk simpan bawang putih yang sudah dibersihkannya itu. Pelan-pelan ia berdiri
dan berjalan ke tempat lain. Saya tetap terdiam, dan nurani begitu tersayat.
Itu bukan pengalaman pertama saya menyaksikan orang-orang seperti itu. Tapi
saya tidak curahkan di sini. Tapi yang buat saya sedikit berontak kepada dunia-kehidupan ini, mengapa orang-orang seperti itu
sering kali ada di depan mata saya. Mengapa mereka justru hadir di depan saya
yang juga miskin
ini? Apakah ada orang-orang kaya yang seperti nurani saya begitu tersayat menyaksikan
orang-orang seperti itu? Kemudian orang-orang kaya itu memberikan sedikit dari
kepunyaan mereka kepada orang-orang seperti itu.
“Di mana kue-kue ini?” tanya seorang teman yang baru pulang belanja
sayur-mayur dan bumbu-bumbu. Beberapa teman sibuk memasukkan barang ke dalam
mobi pick up. Sedangkan yang lain
lagi duduk sambil cerita pengalamannya ketika menawar harga sayur-mayur. Saya
hanya berkomentar bahwa barangkali kue-kue itu diambil oleh orang-orang yang
lewat di situ. Teman-teman mencaci maki orang yang ambil kue-kue itu. Mereka
tidak pernah tahu saya yang ambil kue-kue itu, yang kemudian saya berikan ke
anak kecil itu.
Setelah pulang dari pasar Alok, saya terus memikirkan dan bertanya-tanya nasib anak kecil itu:
Anak kecil itu anak
siapa? Dia berasal mana? Mengapa ia telantar? Siang ini dia makan di
mana? Malam ini dia tidur di mana? Bagaimana anak kecil itu selanjutnya? Apakah
ada orang yang bisa mengangkat dia jadi anak?
Wajah anak kecil menunjukkan bahwa ketimpangan dunia terus dilanggengkan
oleh penguasa dan pemilik modal. Orang miskin tetap meringkih dalam
kemiskinannya. Orang buta huruf semakin dibutakan oleh proyek pemalsuan
kesadaran dari pemilik modal dan negara (pemerintah). Lagi-lagi orang miskin,
dan buta huruf selalu menjadi tumbal dari setiap kebijakan-kebijakan negara
yang menjadikan ekonomi pasar bebas sebagai preferensi hukum dan
keputusan-keputusan anggaran belanja negara.
Padahal di luar
sana ada begitu banyak orang kaya, namun tetap korupsi, nepotisme dan
berkolusi. Di luar sana, ada begitu banyak orang kaya memperdagangkan sesama
manusia guna meningkatkan profit. Di luar sana, ada begitu banyak orang tua
yang bisa ongkos sekolah anaknya, tapi anak malah menghamburkan uang orang tua,
dan mencoreng nama baik keluarga. Di luar sana ada begitu banyak orang kaya
menyewakan gedung-gedung, hotel dll kepada orang-orang kaya, tapi tidak bisa
bangun gubuk untuk orang-orang terlantar, miskin dan yatim piatu.
Kemiskinan, buta huruf, dan pengangguran diciptakan dan direproduksi oleh kekuatan modal dan kebijakan politik negara. Pemegang tampuk kekuasaan politik dan pemilik modal datang
menciptakan situasi darurat (risiko) di tengah masyarakat. Alih-alih datang
menyelamatkan dan membangkitkan warga negara dari risiko (kemiskinan, buta huruf dan pengangguran) dengan membuka
lapangan pekerjaan, pemegang tampuk kekuasaan politik dan pemilik modal justru
memperburuk keadaan. Mereka justru mendefinisikan kembali warga sesuai dengan
imperatif pasar bebas dan produk-produk mereka.
Warga yang berhasil didefinisikan kembali oleh pemilik modal dan negara mau
tidak mau tunduk dan hidup di bawah akumulasi profit dan kekuasaan politik. Jika warga nekat berjalan
keluar atau menghindar dari redefinisi itu, konsekuensinya jelas, hidup dengan
keterpurukan atau mati dengan kuk kemiskinan dan kelaparan.
Kebijakan-kebijakan diskriminatif, manipulasi dan represi seperti itu juga
diterapkan di lembaga pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia tidak bisa
tidak harus tunduk di bawah kebijakan negara (pemerintah) melalui aturan
adminitrasi, akreditasi, dll, dan imperatif-imperatif ekonomi pasar bebas,
tidak terkucali di tengah pandemi covid-19 ini. Di tengah paradoks realitas seperti
itu, apakah pendidikan Indonesia sudah merdeka?
Post a Comment for "Sesungguhnya Pendidikan Indonesia Belum Merdeka"