Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kapan Pendidikan Tinggi Indonesia Merdeka?

Melki Deni


Sejak Desember 2019 masyarakat dunia didaruratkan oleh pandemi covid-19. Covid-19 merombak dan merongrong seluruh bidang kehidupan masyarakat dunia, tidak terkecuali pendidikan. Beberapa pekan terakhir persoalan tentang pendidikan di tengah pandemi covdi-19 menjadi sorotan utama media massa, sebab pendidikan merupakan instrumen utama negara untuk membentuk dan melahirkan manusia unggul dan integritas.

Kebijakan darurat mendadak dibuat agar pendidikan tetap berjalan dengan memanfaatkan teknologi canggih di tengah pandemi covid-19 ini. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim menetapkan kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MB-KM). Kebijakan ini dipandang berguna sebab mahasiswa diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belajar yang lebih luas dan kompetensi baru melalui beberapa kegiatan pembelajaran di luar program studinya dengan memanfaatkan teknologi canggih. Selain itu, kebijakan MB-KM juga berguna agar pendidikan tinggi nasional dapat memenuhi kebutuhan negara yakni sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa.

Kebijakan pendidikan berguna terutama dalam menanggapi persoalan lapangan; tantangan dan peluang yang dihadapi mahasiswa dan dosen. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merespons darurat pendidikan akibat covid-19 ini dengan memberikan kemudahan pembelajaran kepada mahasiswa di perguruan tinggi. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tanggal 17 Marat 2020 tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam rangka Pencegahan Covid-19.

Pendidikan tinggi merupakan komunitas ilmah yang mengeksplorasi dan memproduksi ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan kampus, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di tengah pandemi covid-19 ini pendidikan tinggi Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Meskipun demikian, pandemi covid-19 juga memberikan peluang bagi wajah baru pendidikan tinggi Indonesia. Peluang itu tercapai, apabila pendidikan tinggi tetap berpegang teguh pada independensi, otoritas dan hegemoninya tanpa dipengaruhi oleh permainan politik dan ekonomi pasar bebas.

 

Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia

Implementasi kebijakan Kampus Merdeka dengan memanfaatkan teknologi canggih menghadapi sejumlah tantangan di lapangan. Berikut ini penulis akan menunjukkan tantangan pendidikan tinggi Indonesia selama pandemi covid-19:

Pertama, masih begitu banyak mahasiswa berasal dari keluarga miskin yang tidak bisa membeli alat-alat teknologi dan pulsa internet yang dapat menunjang proses pembelajaran dan perkuliahan mereka. Akibatnya tidak sedikit dari mereka terpaksa cuti kuliah, atau putus kuliah.

Kedua, masih begitu banyak dosen dan mahasiswa yang belum mampu mengoperasi dan menggunakan teknologi canggih. Sesungguhnya kondisi ini mau mengungkapkan kesenjangan antara kemajuan teknologi canggih dan gagap teknologi atau literasi digital. Teknologi canggih sudah maju dan dimiliki, namun tidak bisa dioperasi atau digunakan secara efisien.

Ketiga, jaringan internet. Tidak semua wilayah (kampus) di Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet dengan baik. Selama pandemi covid-19 ini, proses perkuliahan berlangsung secara daring menyulitkan bagi mahasiswa yang berasal dan tinggal di daerah yang tidak dapat mengakses jaringan internet. Kemendikbud pun mengakui tantangan akan akses jaringan internet ini yang dihadapi oleh sebagian besar perguruan tinggi nasional.

Keempat, infrastruktur maupun platform pembelajaran tidak merata. Meskipun Kemendikbud sudah berusaha memaksimalkan platform Sistem Pembelajaran Daring (SPADA) dengan basis teknologi informasi, yang kini sudah mencapai 3.000 modul yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa maupun dosen dalam kegiatan pembelajaran daring, namun tetap tidak mencukupi kebutuhan lapangan. Pemerintah juga bekerja sama dengan berbagai platform swasta guna menyediakan aplikasi pembelajaran daring seperti Google, Huawei, Microsoft. Namun karena kendala jaringan internet dan gagap teknologi atau literasi digital rendah, paltform-platform itu menjadi kurang bermanfaat bagi dosen dan mahasiswa.

Tantangan-tantangan pendidikan tinggi Indonesia selama pandemi covid-19 tersebut di atas juga disebabkan oleh inkonsistensi regulasi dan kebijakan pendidiakan Indonesia. Cecep Darmawan (2021) mengatakan bahwa kebijakan pendidikan Indonesia kerap menimbulkan kontroversi, bahkan kontraproduktif. Mulai dari kontroversi draf peta jalan pendidikan, persoalan asesmen nasional (AN), perdebatan PP No 57 Tahun 2021, wacana penarikan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan, sampai pada pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang tidak tertib hukum.

Inkonsistensi regulasi dan kebijakan pendidikan itu terindikasi dalam lima kesulitan mengurus pendidikan Indonesia yang demikian kompleks di tengah pandemi covid-19 ini (Amich Alhumami, 2021): Pertama, merujuk asas desentralisasi, kewenangan pengelolaan, dan penyelenggaraan terbagi ke setiap tingkatan administrasi pemerintahan: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kedua, manajemen guru yang pelik (sebaran tidak merata, kompetensi belum memenuhi standar). Ketiga, infrastruktur esensial (gedung, ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, dan peralatan) belum tersedia lengkap dan tidak merata. Keempat, karakteristik wilayah sangat beragam dan sulit akses. Kelima, diskontinuitas dan inkonsistensi pelaksanaan kebijakan. Inkonsistensi regulasi dan kebijakan pendidikan juga berdampak pada semakin meningkatnya tindak kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang tidak hanya terjadi pada birokrasi negara, tetapi juga pada sektor pendidikan secara umum.

Saiful Mahdi (2021) pernah bertanya: “Kenapa KKN masih merajalela? Merasuk hingga ke sekolah dan kampus—dan sektor pendidikan secara umum, yang seharusnya diharapkan membangun karakter mulia?” Saiful Mahdi sendiri menjawab bahwa justru karena korupsi, kolusi, dan nepotisme dipertontonkan nyaris telanjang oleh makin banyak oknum pejabat publik atau aparatur negara, tak terkecuali oleh para pendidik di sekolah dan kampus. Hingga esai ini ditulis, Mahfud MD mengatakan bahwa dari 1.298 orang koruptor di Indonesia, 86 persen lulusan perguruan tinggi (Kompas, 21/10/2021). Integritas pendidikan tinggi makin banyak dipertanyakan saat gelar akademik dan honoris kausa diobral kepada mereka yang paling kaya dan paling berpengaruh secara ekonomi dan politik.

Pada titik inilah pendidikan tinggi sebagai pengembang ilmu pengetahuan, kebudayaan, riset dan teknologi menjadi tidak merdeka. Otonomi keilmuan yang seharusnya menginternalisasi pada para pengembang ilmu itu perlahan-lahan dikendalikan oleh para pemangku kepentingan politik dan ekonomi. Lalu, kapan pendidikan tinggi Indonesia merdeka?

 

 

Peluang Pendidikan Tinggi Indonesia

Pendidikan tinggi merupakan ruang eksplorasi dan produksi pengetahuan melalui pembacaan, penelitiaan, publikasi, diskusi, seminar, simposium, kuliah, praktik-praktik (Kuliah Kerja Nyata) dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya, yang berguna bagi mahasiswa/mahasiswi, dosen, kampus, masyarakat dan negara. Para dosen harus memproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk pengajaran, penelitian/publikasi, dan pengabdian masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan pada komunitas ilmiah dan masyarakat. Sebab itu, pendidikan tinggi sebagai komunitas intelektual (komunitas epistemik) mesti netral terhadap politik praktis dan bisnis ekonomis, agar independensi dan otonominya tidak tercoreng.

Pendidikan Indonesia memiliki tujuan luhur sesuai amanat Pancasila; memanusiakan manusia; mengasah wawasan kemanusiaan universal dan wawasan kebangsaan; keterbukaan dan dialog terbuka dengan agama lain (spirit pertama Pancasila); berparadigma komunikasi deliberatif; musyawarah; perjuangan keadilan sosial dan ekonomi politik; dan menjaga kelestarian dan keutuhan ekologi. Inkonsistensi kebijakan politik negara disebabkan oleh mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan nasional tinggi dan demokratis, tentu saja kualitas politik pun akan tinggi dan demokratis. Pada titik inilah, dibutuhkan kebijakan kampus yang otonom, independens dan konsekuen, yang tidak hanya menfaatkan teknologi canggih, tetapi juga membangun kesadaran kritis mahasiswa dan dosen. Kebijakan-kebijakan itu menjadi peluang pendidikan tinggi Indonesia di tengah pandemi covid-19 ini. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang mau penulis tawarkan sebagai peluang pendidikan tinggi di tengah pandemi covid-19 ini;

Pertama, pendidikan kritis. Pendidikan kritis berguna untuk mendorong kesadaran para mahasiswa/mahasiswi, dosen dan pegawai di pendidikan tinggi dalam membaca, mengkritisi, dan bertindak progresif-produktif terhadap isu-isu aktual. Mereka meriset, mendiskusikan, dan mempublikasi temuan-temuan tersebut. Misalnya, mengapa kampus begitu mudah terkapar di bawah mekanisme pasar dan cenderung berwatak feodal, sehingga meningkatkan kasus korupsi, nepotisme dan kolusi? Apakah tindakan praktis melawan kapitalisme dan feodalisme di kampus? Atau mengapa dosen dan mahasiswa masih gagap menggunakan teknologi canggih? Mengapa literasi digital tidak berkembang di kampus?

Kedua, literasi digital. Dengan memanfaatkan teknologi canggih dan kecakapan literasi digital, pendidikan tinggi dituntut untuk senantiasa melakukan inovasi, improvisasi, dan terobosan-terobosan cerdas dalam kerangka optimalisasi pelayanan di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat luas. Tata kelola pendidikan tinggi mestinya diarahkan pada taraf pendidikan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi untuk perbaikan dalam tingkat dan kualitas pendidikan. Pandemi covid-19 justru memberikan potensi besar menjadi katalis dalam implementasi kebijakan Kampus Merdeka.

Ketiga, pendidikan tinggi adalah pusat gerakan transformasi sosial menuju masyarakat yang berkomunikatif timbal balik dan emansipatoris. Pendidikan tinggi dapat menggunakan mahasiswa/ mahasiswi sebagai agen transformasi sosial dari pengeksploitasian oleh ekonomi pasar bebas, percaturan politik praktis, radikalisme agama dan isu-isu yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat. Di sini dibutuhkan pendidikan tinggi  yang netral, otonom, independensi dan konsisten. Implikasinya tampak dalam bentuk diskusi, kampanye, dan provokasi terkait dengan kepentingan universal; kemanusiaan, kebebasan, persatuan dan keadilan sosial. Di sinilah tampak peran kampus yang membebaskan, bukan menghancurkan, menundukkan dan menghancurkan masyarakat yang adil, harmoni dan demokratis.

Berdasarkan penjelasan terkait dengan tantangan dan peluang pendidikan tinggi Indonesia di tengah pandemi covid-19 ini, tata kelola Kampus Merdeka mestinya memberikan peluang yang luas pada berbagai disiplin ilmu untuk tumbuh berkembang dan kemajuan teknologi canggih (literasi digital) kepada dosen dan mahasiswa. Para dosen pun mesti diberi kebebasan oleh pemerintah untuk mengeksplorasi dan memproduksi ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang kajiannya yang berguna bagi pendidikan, publikasi/penelitian dan dedikasi kepada masyarakat luas.

Pendidikan tinggi Indonesia harus mendorong rasa ingin tahu, inovasi, kritis, dan kreativitas mahasiswa/ mahasiswi dan para dosen di segala bidang disiplin ilmu pengetahuan dengan memanfaatkan tekonologi informasi dan literasi digital. Pendidikan tinggi mesti menjadi pendidikan yang berkebudayaan, kemanusiaan, inovatif, improvisasi, dan komunikatif. Pemerintah mendorong dan mendukung pendidikan tinggi nasional, para dosen dan mahasiswa/ mahasiswi untuk memperluas keanekaragaman pilihan mereka, kreativitas dan membebaskan masyarakat dari belenggu penindasan dan pemalsuan kesadaran. Dengan demikian pendidikan tinggi Indonesia merdeka.


Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-Flores-NT

Post a Comment for "Kapan Pendidikan Tinggi Indonesia Merdeka?"