Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sajak Kecil untuk Filsuf

Melki Deni

Sajak Kecil untuk Filsuf

1/

Bukankah cahaya philosophia tetap tersembunyi bagi filsuf

yang selalu mendengarkan dan memperjuangkan ephitumia,

temperamen, emosional dan uang?

 

2/

Tapi di pelataran perpustakaan tua—di mana dari Thales, Xenophans, Heraclitus, Parmenides, Anaxagoras, Empedocles, Protagoras, Philolaus, Democritus, Plato, Aristoteles, Epicurus, sampai Slavoj Žižek masih ada dan menunggu orang-orang berguru pada mereka—seorang filsuf duduk membungkuk, memangku dagu dan berdecak heran terhadap gadis yang dilukiskan begitu indah oleh Tuhan melintasi lorong itu. Filsuf mulai menafsirkan “keindahan” sampai lupa ajaran Thales, leluhurnya; Kenali Diri Sendiri. Filsuf itu pun ingat nasihat mulia Marx dan Engels; hidup tidak ditentukan oleh kesadaran, tapi kesadaranlah yang dientukan oleh hidup. Gadis tak bertuan itu adalah dunia-kehidupan seperti kata Edmund Husserl, bapak fenomenolog, yang belum ditafsikan secara filosofis dan ilmiah. Mengamini Plato, Filsuf bergumam; semua pencari kebijaksanaan mengetahui baha sebelum filsafat mengambil-alih jiwanya, dia adalah seorang narapidana yang tidak berdaya, tangan dan kakinya dirantai di tubuhnya, dipaksa melihat kenyaataan secara tidak langsung, tetapi dari balik jeruji penjara, berkubang dalam kebodohan. Dengan sedikit ragu Filsuf itu sependapat dengan Aristoteles; dari rasa ingin tahulah manusia saat ini dan pada mulanya mulai berfilsafat. Di mata filsfuf, gadis itu adalah objek penelitan filosofis yang tepat. Meskipun dengan rumusan yang lain, Filsuf itu pun suka perkataan Valentin Weigel ini; jika aku tidak ada, gadis juga tidak ada. Sebab aku sedang berfilsafat dan memberikan percikan-percikan filosifis bagi gadis itu.

 

3/

Bukankah seperti misteri, kebenaran tetap rahasia kepada orang

yang takut mendengar suara kebenaran. Di mana-mana kebenaran dibungkamkan,

sebab ia berbahaya bagi mereka yang alergi kebenaran.

Tak perlu mengemis ke batok kepala para filsuf di seberang,

aku suka puisi Joko Pinurbo; Ia membungkus pisau dengan namaMu. Ia ingin melukai Kau dengan melukaiku. Menurut Joko Pinurbo itulah kebenaran bagi para pemeluk agama, yang mudah diombang-ambingkan oleh uang itu.

4/

Bukankah kebebasan dipenjarakan dari perjalanan philosophia,

yang meluluhlantakkan tidak sedikit orang dari zaman ke zaman.

Lagi Joko Pinurbo sedikit keluh; Kepalaku rumah sakit jiwa yang kesepian/ ditinggal penghuhinya mudik liburan. Pemeluk agama dan filsuf memudik dari nuos-akal budi, filsafat dan puisi.

Kepalaku adalah medan pertarungan ide-ide filosofis, kata-kata puitis, dan nasihat-nasihat moral agama, tapi tidak punya arah.

Aku teringat Pramoedya Ananta Toer; hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.


*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere-Flors-NTT.

2 comments for "Sajak Kecil untuk Filsuf"