Ekspansi Modal dan Covid-19 (Tantangan Ekososialisme Rob Wallace di Indonesia)
![]() |
Pamflet Diskusi |
Tidak
seperti flu musiman, pandemi covid-19 telah memicu ketidakpastian[1].
Ferdi Hasiman, peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia memberikan
komentar tentang akibat pandemi covid-19 ini, “Negara-negara terkunci, manusia
mengurung diri dan menjadi paranoid dengan segala sesuatu, termasuk dengan
sesama…. Operasional perusahaan-perusahaan besar terhenti. Rantai supply dan produksi makanan dan
obat-obatan antar negara mati. Harga minyak, komoditas tambang dan sawit jatuh.
Konsumsi masyarakat di berbagai lini tumpul. Neraca ekspor-impor antar negara
mengalami penurunan sangat dalam”.[2]
Pandemi mematikan ini mungkin tidak berakhir.
Artikel
ini lahir dari pembacaan atas buku Rob Wallace berjudul Matinya Epidemilog: Ekspansi Modal & Asal-Usul Covid-19. Rob
Wallace adalah seorang ahli biologi evolusioner dan filolog kesehatan masyarakat
dari University of Minnesota. Sebagai seorang ahli epidemiologi, ia telah
meneliti beberapa penyakit menular yang mematikan lainnya di zaman kita,
termasuk Ebola, Zika, flu babi (flu H1N1), H5N2 dan H5Nx. Dengan menggunakan
paradigma ekologi politik, Wallace menganalisis secara ekstensif perjanjian
perdagangan bebas, sirkuit pasar modal global, dan deforestasi yang menyebabkan
“Flu Besar” dan pandemi mematikan lainnya muncul.[3]
Akibat deforestasi ini, virus berevolusi menjadi fenotipe yang mematikan, dan
menular pada hewan-hewan yang berhasil didomestifikasi, dan akhirnya menyerang
tubuh manusia.
Sebelum
mengungkapkan kenyataan di balik layar teater pandemi covid-19 ini, penulis
lebih dahulu menunjukkan asal-usul Covid-19. Pada bagian ini penulis menggunakan
metodologi kepustakaan, yakni mengumpulkan data-data yang sesuai dengan tema
pembahasan dari pelbagai sumber, terutama dair Rob Wallace dan Mohamad Zaki
Hussein.
Asal-usul Covid-19
Pada
11 Maret, WHO mengumumkan COVID-19 sebagai pandemi (menyebar di wilayah yang
sedemikian luas, dalam hal ini seluruh dunia).[4] Promkes Kementerian
Kesehatan RI dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menjelaskan bahwa Covid-19
dapat menyebabkan penyakit dan kematian pada manusia, karena ia menyerang
saluran pernapasan, yaitu flu hingga penyakit serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
dan Sindrom Pernafasan Akut Berat/Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS).[5]
Karena
sebagian besar kasus awal di Wuhan adalah pekerja dan pelanggan Pasar Grosir
Makanan Laut Huanan, maka pasar itu dianggap sebagai tempat asal wabah.
Pemerintah Cina akhirnya menutup pasar itu pada 1 Januari 2020. Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Cina juga mengambil sampel
lingkungan dari pasar Huanan untuk dianalisis. Hasilnya, 33 dari 585 sampel
yang dikumpulkan mengandung asam nukleat SARS-CoV-2. Adapun 31 dari 33 sampel
positif itu berasal dari bagian barat pasar Huanan, di mana banyak terdapat
stan penjualan hewan liar.[6]
Namun,
riset yang dilakukan sekumpulan ilmuwan Cina terhadap fitur-fitur klinis dari
41 pasien awal di Wuhan yang dipublikasikan di The Lancet menemukan hal lain.
Dari ke-41 pasien itu, 27 orang memang terpapar secara langsung dengan pasar
Huanan. Tetapi, pasien yang pertama kali menunjukkan gejala covid-19―gejalanya
muncul pada 1 Desember 2019―ternyata tidak terpapar oleh pasar Huanan. Dia juga
tidak memiliki hubungan epidemiologis apa pun dengan pasien yang menunjukkan
gejala COVID-19 setelah dia.[7]
Bagi
Zaki Hussein temuan di atas menimbulkan pertanyaan, dari mana pasien pertama
itu tertular penyakit COVID-19? Temuan itu membuat teori yang menyatakan asal
wabah adalah pasar Huanan menjadi diragukan. Berdasarkan temuan ini, ahli
penyakit menular Dr. Daniel Lucey berhipotesis bahwa virus SARS-CoV-2 muncul di
luar pasar Huanan dan sudah menyebar sejak Oktober-November 2019 atau lebih
awal lagi.[8]
Dalam
perkembangannya, jelas Zaki Hussein, muncul teori konspirasi yang menyatakan
SARS-CoV-2 berasal dari laboratorium. Variannya ada banyak, tetapi bisa
dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama, virus ini sengaja dibuat sebagai
“senjata biologis”; kedua, virus ini tidak sengaja tersebar karena kebocoran di
laboratorium.
Penyebaran
teori konspirasi tidak terlepas dari urusan politik. Di antara mereka yang
gemar menyebar teori konspirasi adalah para politikus. Mereka saling menuduh
lawan politiknya sebagai pembuat SARS-CoV-2. Adapun AS dan Cina adalah negara
yang paling sering dituduh sebagai pembuat virus ini.
Ketika
menjabat sebagai Presiden AS, jelas Zaki Hussein, Donald Trump cukup agresif
dalam menyebar teori konspirasi yang menyalahkan Cina. Ia menyebar teori bahwa
virus SARS-CoV-2 berasal dari sebuah laboratorium di Wuhan. Pada 14 April 2020,
ia menghentikan kontribusi dana AS ke WHO karena menganggap WHO gagal merespons
wabah COVID-19. Ia pun menuduh WHO sebagai boneka Cina.[9]
Zaki
Hussein berpendapat teori konspirasi ini kemudian mendapatkan bantahan dari
berbagai ilmuwan. Salah satu bantahan yang cukup sering dirujuk karena
ketajaman argumennya adalah artikel Kristian G. Andersen dkk. di Nature.
Berdasarkan analisis komparatif terhadap genom atau materi genetik virus
SARS-CoV-2 dan virus-virus sejenis, mereka menyatakan bahwa sangat kecil
kemungkinan virus SARS-CoV-2 dibuat di laboratorium.
Zaki
Hussein menjelaskan ada beberapa alasan mereka bahwa sangat kecil kemungkinan virus SARS-CoV-2
dibuat di laboratorium. Pertama,
komponen RBD (receptor binding-domain atau domain pengikat reseptor) virus
SARS-CoV-2 lebih sesuai untuk mengikat reseptor ACE2 (Angiotensin-converting
enzyme 2 atau enzim pengubah Angiotensin 2) di manusia daripada RBD virus
SARS-CoV (penyebab SARS). Ini kenapa COVID-19 lebih menular dibanding SARS.[10]
Namun,
bagi Zaki Hussein, susunan RBD virus SARS-CoV-2 bukanlah yang ideal untuk
mengikat ACE2. Begitu pula, ada susunan RBD yang optimal dan bisa dibuat
berdasarkan RBD virus SARS-CoV, tetapi bukan ini yang terdapat di virus
SARS-CoV-2. Selain itu, RBD virus SARS-CoV-2 punya kesamaan yang kuat dengan
RBD beberapa virus Corona di tenggiling. Ini adalah tanda-tanda bahwa virus ini
bukan buatan manusia, tetapi hasil mutasi alami.
Jika
virus ini dibuat dengan rekayasa genetika, jelas Zaki Hussein, maka salah satu
sistem genetika arah-balik yang tersedia untuk virus Corona beta kemungkinan
akan digunakan. Tetapi, data genetiknya menunjukkan bahwa virus SARS-CoV-2
tidak diturunkan dari backbone virus apa pun yang sebelumnya pernah digunakan.
Bagaimana
dengan kemungkinan virus SARS-CoV-2 terbuat secara tidak sengaja dalam proses
pembiakan di suatu laboratorium? Menurut Andersen dkk, secara teoretis mutasi
RBD virus SARS-CoV-2 bisa terjadi dalam proses pembiakan sel. Tetapi, ada
bagian lain dari virus ini yang sulit terbentuk melalui proses pembiakan sel.
Komponen glikan terkait-O (O-linked glycans) dari virus SARS-CoV-2, misalnya,
mensyaratkan keterlibatan sebuah sistem imun dalam pembentukan.[11]
Jadi,
kemungkinan virus SARS-CoV-2 dibuat secara sengaja atau terbuat tidak sengaja
di laboratorium sangat kecil. Penjelasan yang lebih sesuai dengan bukti-bukti
empiris yang ada ialah virus ini melompat dari hewan. Pada 19 Februari 2020,
saat Cina sedang dihantam keras oleh COVID-19, sekumpulan ilmuwan dari berbagai
negara mengirimkan pernyataan sikap ke jurnal The Lancet. Mereka menyatakan
solidaritas dan dukungan terhadap para ilmuwan dan pekerja kesehatan di Cina
yang sedang berjuang melawan wabah COVID-19.[12]
Mereka
juga mengecam keras teori konspirasi, yang dianggap menciptakan ketakutan,
rumor dan prasangka yang bisa merusak kerja sama global dalam melawan COVID-19.
Dengan merujuk ke delapan tulisan lain yang sebagian besar diterbitkan di
jurnal ilmiah, mereka menyatakan bahwa analisa ilmuwan dari berbagai negara
menyimpulkan virus SARS-CoV-2 berasal dari hewan.
Sependapat
dengan mereka, Zaki Hussein mengatakan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari hewan.
Meskipun penelusuran terhadap asal-usul virus ini sekarang masih berjalan, dan
belum ada kesimpulan yang betul-betul konklusif, tetapi bukti-bukti empiris
yang ada sejauh ini mengarah pada kesimpulan tersebut.
Ini
bukan berarti virus SARS-CoV-2 berasal dari pasar Huanan, mengingat pasien yang
pertama kali menunjukkan gejala COVID-19 di Wuhan tidak terpapar di sana. Virus
ini bisa berasal dari pasar makanan hewan eksotis lain di Wuhan atau di luar
Wuhan. Bahkan virus ini bisa bukan berasal dari pasar makanan hewan eksotis,
tetapi dari jenis usaha lain dalam rantai pasokan bisnis makanan hewan eksotis
seperti peternakannya.[13]
Pada kesempatan inilah Rob Wallace masuk dengan basis analisis-epistemologisnya
dan menyebut ekspansi kapital di tengah pandemi Covid-19 sebagai Teater
Pandemi..
Teater Pandemi
Menurut Wallace penyebab
covid-19 dan patogen lain tidak hanya ditemukan pada satu objek infeksi atau
perjalanan klinisnya, tetapi juga di bidang hubungan ekosistem modal, ekspansi
dalam industri-industri peternakan dan agrobisnis, dan penyebab struktur
lainnya telah disematkan kembali ke asalnya.[14]
Wallace dan rekan-rekannya mengkritik cara produksi kapitalis, terutama kepada
Simon Reid, professor pengendalian penyakit menular di University of Queen.[15]
Simon Reid, kata Wallace, gagal menganalisis keseluruhan pengamatan teksnisnya.
Reid berusaha menyangkal hasil penelitannya yang akurat dengan membenarkan
pendapat bahwa negara di Bumi Selatan menjadi penyebab munculnya wabah dan
karena itu harus bertanggung jawab penuh atas pandemi mematikan ini. Hal itu,
lanjut Wallace, merupakan kewajiban kontradiktif dari universitas neoliberal
dalam menganalisis penyakit menular. Reid tunduk di bawah kendali kelas
penguasa karena keseluruhan pengamatan teknisnya didanai oleh kelas penguasa.
Reid membuat penelitian dan melaporkan hasilnya harus sesuai dengan kepentingan
kelas penguasa.
Tidak hanya Reid, tetapi
sejumlah tokoh di bidang ekokesehatan juga didanai oleh Colgate-Palmolive dan
Johnson & Johnson, perusahaan-perusahaan yang mendorong deforestasi untuk
tujuan agrobisnis, menghasilkan peta global berdasarkan wabah yang muncul sejak
1940.[16]
Dalam gambaran yang membingungkan tentang geografi
absolut itu, tulis Wallace, peta yang mereka buat—menunjukkan warna merah
di wilayah Tiongkok, India, Indonesia, dan sebagian Amerika Latin dan
Afrika—melewatkan titik-titik penting.[17]
Wallace tidak hanya menganalisis penyebab evolusi pandemi laboratorium, tetapi
juga penyebab strukural lainnya.
Penyebab
struktural yang Wallace maksudkan ialah agenda kapitalisme neoliberal. Struktur
politik neoliberalisme menciptakan kedaruratan, dan kemudian menghibur
masyarakat dunia dengan retorika kontradiktoris. Wallace menolak pandapat
seperti yang dikatakan Hasiman bahwa “mimpi besar globalis dan kapitalis
tentang sebuah dunia tanpa batas (borderless) yang terhubung melalui teknologi
mendadak runtuh”.
Zaki
Hussein juga berpendapat bawha motor pendorong aktivitas di sektor ekonomi
makanan hewan eksotis bukanlah budaya Cina, tetapi kapitalisme. Di sisi
konsumsi, maraknya praktik ini didorong oleh pertumbuhan kelas menengah ke atas
di Cina yang dipicu oleh berbagai pembaharuan ekonomi, yang sebenarnya adalah
perjalanan kembali ke kapitalisme. Di sisi persediaan, terdapat jaringan bisnis
hewan eksotis yang berwatak global dan beroperasi dengan logika pencarian laba
tanpa memperhitungkan kelestarian lingkungan hidup.[18]
Di
bawah neoliberalisme, kata Wallace, rezim pangan global terkini, sarana di mana
modal bergulat dengan biogeografi tampaknya bergeser. Himpunan komoditas ditata
ulang di seluruh wilayah menjadi jaringan dengan skala berkali-kali lipat dan
terputus secara spasial dari keterikatan territorial yang berubah-ubah.
Multidimensi baru ini, jelas Wallace, tampak pada perubahan dalam manajemen
perusahaan, kapitalisasi, subkontrak, substitusi rantai pasokan, sewa guna
usaha, dan penyatuan lahan transnasional.[19]
Pada bagian lain Wallace mengatakan bahwa ekonomi politik yang secara aktif
berupaya untuk memblokir pengendalian penyakit jika upaya semacam itu mngancam
keuntungan besar bagi para kapitalis.[20]
Atau
pernyataan Simon Reid, “Tiongkok telah menjadi sumber dari wabah yang terus
berulang, dan WHO yang sekarang dimiliki oleh filantrokapitalisme memimpin
mekanisme biokontrol yang patut dicontoh” sangat ditentang oleh Wallace.
Pernyataan Reid ini bernada propaganda dan seolah mengajak masyarakat dunia
agar semakin takut terhadap orang atau hal-hal yang berkaitan Tiongkok
(sinofobia), dan kemudian membiarkan kedigdayaan sistem neoliberalisme
membiayai segala kejahatan komodifikasi pangan dan ternak di negara-negara
lain. Menurut Wallace, hampir semua proyek neoliberal diatur untuk mendukung
upaya perusahaan yang berbasis di negara industri yang lebih maju untuk mencuri
lahan dan sumber daya dari negara-negara lemah.[21]
Justru karena kekuasaan neoliberalisme, globalis dan kapitalis neoliberal
semakin mudah memperluas ekspansi kapital (produksi agrobisnis) dan melancarkan
agendanya.
Zaki
Hussein mengatakan bahwa bisnis hewan eksotis (tidak terbatas hanya pada yang
digunakan untuk makanan) tampaknya merupakan bisnis yang cukup menguntungkan.
Pada 2005, Traffic Eropa memperkirakan perdagangan satwa liar legal (tidak
termasuk ikan) bernilai 22,8 miliar dolar AS. Estimasi lain memperkirakan
perdagangan satwa liar yang legal bernilai 25 miliar dolar AS, sementara yang
ilegal sekitar 7,6-8,3 miliar dolar AS. Adapun menurut Koalisi Melawan
Perdagangan Satwa Liar (Coalition Against Wildlife Trafficking, disingkat CAWT)
perdagangan satwa liar ilegal bernilai 10 miliar dolar AS.[22]
Mengutip
Sam Gindin (2021), Coen Husain Pontoh (2021) menulis, “kegagalan ini bukan
karena kapitalisme tidak bisa mengakumulasi profit sebesar-besarnya bagi para
kapitalis dan para stakeholder-nya,
atau karena kapitalisme tidak mampu berpenetrasi hingga ke sudut-sudut
terpencil di seluruh belahan bumi, tapi kegagalan
dalam menghadapi pandemi ini justru akibat dari kesuksesan kapitalisme itu sendiri.”[23]
Dalam nada lain, Wallace ketika diwawancarai oleh Ashley Smith (2020), seorang
penulis dan aktivis sosialis di Burlington, Vermont berkomentar, “that such
outbreaks are not an accident but the result of a capitalist system that puts
profit before the environment, human beings, and public health. What a radical
notion: that our social systems impact our epidemiologies!”[24]
Selain
itu, kata Wallace, apa yang terjadi di Tiongkok tidak lantas tidak terjadi di
negara lain. Wallace memberi contoh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
lainnya yang telah menjadi tempat bagi bermunculannya jenis flu baru. Selain
itu, lanjut Wallace, agen multinasional dan neokolonial Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa lainnya yang mendorong kemunculan Ebola di Afrika Barat dan
Zika di Brasil.
Di
bawah neoliberal, jelas Wallace, ahli epidemologi dan kesehatan masyarakat (dan
seluruh masyarakat dunia) dikendalikan oleh kelas penguasa untuk menghapuskan
dosa dari kebijakan sistem kapitalisme global—termasuk dari Tiongkok—yang telah
menciptakan kedaruratan dan ketidakpastian. Para ahli epidemologi, virologi dan
bidang kesehatan masyarakat lainnya didanai dan diperalat oleh kelas penguasa
untuk merasionalisasi praktik kejahatan komodifikasi pangan dan ternak yang
menjadi penyebab munculnnya tidak sedikit pandemi mematikan. Wallace menyebut
hal ini sebagai “teater pandemi”.
Julukan
Wallace ini benar. Kelas penguasa sebagai sutradara tunggal sedang
menyutradarai kematiaan masyarakat dunia dengan menciptakan ketidakpastian,
kedaruratan, risiko besar, yang mana masyarakat kelas menengah ke bawah tidak
mampu mengendalikan dan/atau mengatasinya. Masyarakat kelas menengah ke bawah
harus bertekuk lutut dan memohon pertolongan kelas penguasa modal agar
mengendalikan dan menghentikan era ketidakpastian (teater pandemi) ini. Akan
tetapi, keluh Wallace, sampai kapan pun tidak ada perusahaan yang dapat
menanggung biaya kerusakan yang ditumbulkan proyek kapitalisme neoliberal
melalui ekspansi agrobisnis ini.[25]
Zaki
Hussein berpendapat bahwa,
“dengan adanya wabah COVID-19, sudah saatnya
kita berpikir ulang tentang sistem ekonomi tempat kita hidup, yaitu kapitalisme…
Kapitalisme―yang motornya adalah akumulasi laba dan kompetisi pasar―tidak cocok
dengan kemaslahatan manusia. Kita membutuhkan sebuah sistem ekonomi baru yang
benar-benar berorientasi pada kemaslahatan manusia, yang tentu saja memerlukan
dukungan lingkungan hidup yang sehat.”[26]
Senada
dengan Zaki Hussein, Wallace memproposalkan sistem ekososialisme bagi sistem
politik-ekonomi dunia. Wallace mengajak masyarakat dunia agar memilih
ekososialisme, sebagai sistem yang mampu memperbaiki keretakan metabolis antara
ekonologi dan ekonomi, dan antara kota dan desa dengan alam liar. Menyitir JB
Foster, Wallace menegaskan ekososialisme merupakan sistem yang dapat menjaga
agar patogen terburuk tidak muncul lagi. Untuk mewujudkannya, tandas Wallace,
dibutuhkan Solidaritas Internasional dengan manusia biasa (baca: Masyarakat
kelas menengah ke bawah) di seluruh dunia.
Selain
itu Wallace menghendaki masyarakat dunia menjalin sistem dunia baru, pembebasan
adat; otonomi petani dan sektor publik yang kuat harus bisa mengekang gangguan
lingkungan dan infeksi yang tidak terkendali; menghubungkan produksi yang adil
dengan sirkulasi yang adil; memberi subsidi dengan program sokongan harga dan
pembelian konsumen yang mendukung produksi agroekologis; membangun kembali
metabolisme ketahanan hayati; memperkenalkan firebeaker imun dari varietas yang sangat beragam pada hewan
ternak, unggas dan tanaman; dan terutama lindungi eksperiman produksi
agroekologis baik dari tekanan ekonomi neoliberal yang dibebankan pada individu
dan komunitas maupun dari ancaman represi negara yang dikendalikan oleh kelas
penguasa modal.[27]
Wallace
mengajak kita untuk, “immediate fights over everything from polluted waterways
to the sources of deadly outbreaks, housing, farm bankruptcy, police brutality,
workplace fights, racism, and war.”[28]
Tantangan Ekososialisme di
Indonesia
Akan
tetapi pandangan sturuktural Wallace agaknya kurang mendapat ruang di
Indonesia. Sila kelima Pancasila dan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 jelas mengandung
makna terdalam ekososialisme. Indonesia menganut sistem demokrasi bukan hanya
dalam sistem politik, melainkan juga sistem ekonomi; Demokrasi Ekonomi/Ekonomi
Pancasila. Indonesia selalu berjalan di luar kendali ekososialismenya sendiri.
Indonesia begitu cair menghadapi kapitalisme neoliberal.[29]
Hardiman
menulis, “ketika birokrasi negara hukum
dan pasar kapitalis dibiarkan bererkspansi tanpa kontrol publik ke
wilayah-wilayah sosial-kulutural, lambat laun solidaritas komuniter,
(agroekologi, dan ekososialisme ala Indonesia) mengalami erosi”.[30]
Ketika akumulasi kapital dan kepentingan modal menjadi preferensi baru dalam
sistem politik, kematian jutaan tidak lagi dipandai bencana kemanusiaan.
Kematian
berarti ketidakmampuan manusia menghadapi pandemi mematikan. Ketidakmampuan
manusia menghadapi pandemi berarti juga ketidakanggotaan poilitis.
Ketidakanggotan politis—kecuali sebagai komoditas yang bisa dikomodifikasi,
ditawarkan kematiannya dan diperdagangkan demi kepentingan—berarti juga manusia
itu kehilangan arti transubtansial-metafisisnya. Manusia menjelma menjadi apa
yang disebut Ulrich Beck sebagai “masyarakat risiko”. Seolah-olah kehadiran dan
dengan keberadaannya sebagai yang terberi, manusia menjadi risiko bagi
sesamanya.
Ketika
negara sebagai sabuk pengaman kemanusiaan universal makin kendur menghadapi
pandemi ekspansi kapitalisme neoliberal, ke manakah lagi warga negaranya?
Daftar Pustaka
Buku
Hasiman,
Ferdy. “Solidaritas Sosial di Tengah
Bencana”, dalam Vox Ledalero, Seri 67/02/2021
Hardiman,
F. Budi Dalam Moncong Oligarki. Skandal
Demokrasi di Indonesia (Jakarta: PT Kanisius, 2013).
Jebadu,
Alexander. Drakula Abad 21. Membongkar
Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir
Berhukum Rimba & Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere:
Penerbit Ledalero, Cet.2. 2020)
Rizky,
Awalil dan Nasyith Majidi. Neoliberalisme
Mencengkeram Indonesia (Jakarta: E Publishing, 2008)
Suyanto,
Bagong. Sosiologi Ekonomi. Kapitalisme
dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme (Jakarta: Kencana, Cet. 3,
2017)
Wallace,
Rob Matinya Epidemilog: Ekspansi Modal
& Asal-Usul Covid-19 terj. A. Faricha Mantika (Yogyakarta: Penerbit
Independen, 2020).
Yustika, Ahmad Erani. Ekonomi Politik. Pijakan Teoritis dan Kajian Empiris (Malang:
Instrans Publishing, 2020)
Internet
Anugrah,
Iqra. “Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19, dalam
Indoprogress,https://indoprogress.com/2021/07/sekali-lagi-tentang-kapitalisme-dan-pandemi-covid-19/
diakses pada Jumat 24 September 2021
Hussein,
Mohamad Zaki. “Asal Usul Covid-19: Ekonomi Makanan Hewan Eksotis dan
Kapitalisme”, dalam Indoprogress,https://indoprogress.com/2021/09/asal-usul-covid-19-ekonomi-makanan-hewan-eksotis-dan-kapitalisme/
diakses pada Jumat 24 September 2021.John,
Jipson
dan Jitheesh PM. “Rob Wallace on the Political Economy of Pandemics”, dalam Frontline. India's National Magazine. https://frontline.thehindu.com/cover-story/interview-rob-wallace-on-the-political-economy-of-pandemics/article34801273.ece diakses Sabtu, 21 Agustus 2021
Malikh,
Asmiati Abdul. Politik Ekonomi Indonesia.
Lanskap dan Dinamika Kontemporer (Malang: Instrans Publishing, 2020)
Permata,
Astried. “Pandemi COVID-19: Hidup-Mati Masyarakat di Tangan Pasar”, dalam Indoprogress, https://indoprogress.com/2021/08/pandemi-covid-19-hidup-mati-masyarakat-di-tangan-pasar/
diakses pada Selasa 24 Agustus 2021
Pontoh,
Coen Husain. “Covid-19, Fatalisme Intelektual, dan Krisis Ilmu Sosial di
Indonesia”, dalam Indoprogress,
https://indoprogress.com/2021/08/covid-19-fatalisme-intelektual-dan-krisis-ilmu-sosial-di-indonesia/,
diakses pada Minggu 22, Agustus 2021.
Rainditya,
Deda R. dan Sandry Saraswati. “Penanganan Pandemi Indonesia di Bawah Rezim
Predatoris”, dalam Indoprogress,
https://indoprogress.com/2021/09/penanganan-pandemi-indonesia-di-bawah-rezim-predatoris/
diakses Pada Jumat 24 September 2021.
Sheppard,
Barry. “Pandemi dan Krisis Kapitalisme AS”, dalam Berdikarionlaine.com,
https://www.berdikarionline.com/pandemi-dan-krisis-kapitalisme-as/ diakses pada
23 September 2021.
Smith,
Ashley “Competing with Nature: COVID-19 as a Capitalist Virus. Interview with
Rob Wallace”, dalam Spectrejournal.Com,
https://spectrejournal.com/competing-with-nature/
diakses pada Sabtu, 21 Agustus 2021.
*Artikel
ini pernah terbit di NTT Progresif 1 September 2021. Diedit kembali untuk
kepentingan diskusi ilmiah.
[1] Rob Wallace, Matinya Epidemilog: Ekspansi Modal &
Asal-Usul Covid-19 terj. A. Faricha Mantika (Yogyakarta: Penerbit
Independen, 2020), hlm. 5.
[2] Ferdy Hasiman, “Solidaritas
Sosial di Tengah Bencana”, dalam Vox Ledalero,
Seri 67/02/2021, hlm. 99.
[3] Jipson John dan Jitheesh PM,
“Rob Wallace on the Political Economy of Pandemics”, dalam
Frontline. India's National Magazine. https://frontline.thehindu.com/cover-story/interview-rob-wallace-on-the-political-economy-of-pandemics/article34801273.ece diakses Sabtu, 21 Agustus 2021
[4] Gloria Setyvani Putri "WHO
Resmi Sebut Virus Corona Covid-19 sebagai Pandemi Global", KOMPAS. COM,
https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all,
diakses pada Senin, 5 Oktober 2020.
Dalam waktu kurang dari tiga bulan, Covid-19 telah
menginfeksi lebih dari 126.000 orang di 123 negara, dari Asia, Eropa, AS,
hingga Afrika Selatan. Jumlah kasus dan kematian berubah setiap jam, melampaui
sedikitnya 126.141 dengan 4.627 kematian di seluruh dunia pada Kamis pagi,
menurut data yang dikumpulkan World Meter untuk virus corona. Italia memiliki
kasus terbanyak di luar China dengan sekitar 12.462 infeksi, diikuti Iran
dengan 9.000 infeksi, dan Korea Selatan 7.775 infeksi. WHO sangat terlambat
menanggapi kasus pendemi global ini.
[5]Direktorat Promosi Kesehatan
& Pemberdayaan Masyarakat “Informasi Tentang Virus Corona (COVID-19)”,
dalam Promkes.Kemkes.go.id, https://promkes.kemkes.go.id/informasi-tentang-virus-corona-novel-coronavirus,
diakses pada 5 Oktober 2020.
[6] Mohamad Zaki Hussein, “Asal Usul Covid-19: Ekonomi Makanan Hewan Eksotis dan Kapitalisme”, dalam Indoprogress,https://indoprogress.com/2021/09/asal-usul-covid-19-ekonomi-makanan-hewan-eksotis-dan-kapitalisme/ diakses pada Jumat 24 September 2021.
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Barry Sheppard, “Pandemi dan Krisis Kapitalisme AS”, dalam Berdikarionlaine.com, https://www.berdikarionline.com/pandemi-dan-krisis-kapitalisme-as/ diakses pada 23 September 2021.
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
[14] Rob Wallace, op. cit., hlm. 11-17.
[15] Ibid., hlm. 18-21, 33.
[16] Ibid., hlm. 49
[17] Ibid., hlm. 50.
[18] Mohamad Zaki Hussein, op.cit.,
[19] Ibid., hlm.144-145.
[20] Ibid., hlb. 246.
[21] hlm. 28
[22] Mohamad Zaki Hussein, op.cit.,
[23] Coen Husain Pontoh, “Covid-19,
Fatalisme Intelektual, dan Krisis Ilmu Sosial di Indonesia”, dalam Indoprogress, https://indoprogress.com/2021/08/covid-19-fatalisme-intelektual-dan-krisis-ilmu-sosial-di-indonesia/,
diakses pada Minggu 22, Agustus 2021.
[24] “Dan orang-orang radikal berpendapat bahwa wabah semacam itu bukan kebetulan, tetapi hasil dari sistem kapitalis yang mengutamakan keuntungan di atas lingkungan, manusia, dan kesehatan masyarakat. Sungguh gagasan yang radikal: bahwa sistem sosial kita memengaruhi epidemiologi kita!”bdk. Ashley Smith, “Competing with Nature: COVID-19 as a Capitalist Virus. Interview with Rob Wallace”, dalam Spectrejournal.Com, https://spectrejournal.com/competing-with-nature/ diakses pada Sabtu, 21 Agustus 2021.
[25] Rob Wallace, op. cit., hlm. 29
[26] Mohamad Zaki Hussein, op.cit.,
[27] Ibid., hlm. 21, 32-33.
[28] “Kita perlu
bergerak lebih ke arah membangun aliansi dengan orang-orang yang dengannya kita
tidak selalu setuju dalam segala hal, tetapi dengan siapa kita setuju untuk
segera memperebutkan segala sesuatu mulai dari saluran air yang tercemar hingga
sumber wabah mematikan, perumahan, kebangkrutan pertanian, kebrutalan polisi,
perkelahian di tempat kerja, rasisme, dan perang.” Bdk. Ashley
Smith, “Competing with Nature: COVID-19 as a Capitalist Virus. Interview with
Rob Wallace”, op. cit.,
[29] Bdk penjelasan Asmiati Abdul Malikh, Ph. D., Poltik Ekonomi Indonesia. Lanskap dan Dinamika Kontemporer (Malang: Instrans Publishing, 2020); Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik. Pijakan Teoritis dan Kajian Empiris (Malang: Instrans Publishing, 2020); Dr. Alexander Jebadu, SVD, Drakula Abad 21. Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba & Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit Ledalero, Cet.2. 2020); Dr. Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi. Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme (Jakarta: Kencana, Cet. 3, 2017); Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia (Jakarta: E Publishing, 2008); Astried Permata, “Pandemi COVID-19: Hidup-Mati Masyarakat di Tangan Pasar”, dalam Indoprogress, https://indoprogress.com/2021/08/pandemi-covid-19-hidup-mati-masyarakat-di-tangan-pasar/ diakses pada Selasa 24 Agustus 2021; Iqra Anugrah, “Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19, dalam Indoprogress,https://indoprogress.com/2021/07/sekali-lagi-tentang-kapitalisme-dan-pandemi-covid-19/ diakses pada Jumat 24 September 2021; Deda R. Rainditya, Sandry Saraswati, “Penanganan Pandemi Indonesia di Bawah Rezim Predatoris”, dalam Indoprogress, https://indoprogress.com/2021/09/penanganan-pandemi-indonesia-di-bawah-rezim-predatoris/ diakses Pada Jumat 24 September 2021
[30] F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki. Skandal Demokrasi di
Indonesia (Jakarta: PT Kanisius, 2013), hlm. 103.
Post a Comment for "Ekspansi Modal dan Covid-19 (Tantangan Ekososialisme Rob Wallace di Indonesia) "