Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Membaca Puisi ini dan Puisi lainnya

Melki Deni

Ketika Membaca Puisi ini


Bila aku membaca puisi seperti ini, 

Suka kubayangkan wajahmu tak utuh lagi, 
Kau keluar ke sepanjang jalan dan masuk ke selimut tetangga.
Tak siapa pun yang menolak
Aku pun mengerti; malam tak pernah diam
Dan angin pun tak bisa tidur
Debu basah beterbangan ketika kaki langit berjalan pelan 

Bila aku membaca puisi seperti ini, 
Suka kubayangkan pintumu tak tertutup lagi, 
Kau tekun membagikan malam kepada siapa saja
Tak siapa pun yang mencari
Dan bumi pun tak pernah buru-buru
Bayang-bayang yang memanjang menciptakan kata diam-diam 

Diam-diam kata menjelma neraka, 
yang selalu menyayangi seluruh usia.
Neraka menciptakan jurang dalam
Suka kaujenguk wajahmu di jurang dalam itu
Tapi jurang dalam meruncing malam di matamu,
Dan membagikan sepi. 

Bila aku membaca puisi seperti ini 
Suka kubayangkan kau kembali,
Dengan sepi yang mengekor 
Kau sembarangan merampas yang indah 
Yang ditancapkan Tuhan pada siapa saja. 
Saint Augustine, October 2020


Teater Topeng

Pagi yang tanpa Kopi 
Adakah kaudengar sonata itu, kekasihku
Seperti ketika kaudengar Tuhan yang jauh di singgasana 
Teredam dalam telinga yang risau
Pagi yang tanpa Kopi
Adakah kaubaca balada kata yang tidak bergema
Antara kertas yang putih dan tanah lumpur 
Yang lengket berdoa kepada kita
Dan akan mendoakan keselamatan kita

Ketika hujan turun merendah dan awan nyaris tak putih
Ketika kusaksikan tenggelam dalam dasar yang jauh
Tetapi bukankah Puisi Cinta ini ditulis ke arah siapa saja?

Mendadak kita menduga-duga
Ketika Puisi Cinta lahir dari Kopi yang turun merendah 
Dan akan menghanguskan diri
Tetapi kita terus mementaskan teater topeng


*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT. 

Post a Comment for "Ketika Membaca Puisi ini dan Puisi lainnya"