Sudah Kuduga dan Puisi lainnya
Merny Kurnia |
Sudah Kuduga
Sudah kuduga tiap malam kau berkata begini;
rindu adalah mekar mawar pagi, bintang petang di Utara yang tak takluk karena kemarau, bayang-bayang fatamorgana Siang di jalan yang panjang, dan alunan viola yang berbisik pada malam. Kita pun mempermainkan waktu.
Kau mulai membaca sepotong sajak yang kutulis kala kota dihajar Covid-19, dan mayat-mayat yang tak sempat bertemu keluarganya dan dimandikan;
“kau adalah mata, dan aku adalah hari. Bilakah kita ada lagi setelah 24 jam?”
Kita pun menjelma jadi mata air, di mana segala air mengalir ke mata, dan entah batas hilirnya.
Kau teringat kata orang tua itu, air mata adalah perang antara hidup dan maut. Dan Kesepian adalah duri kaktus yang merambat di Padang gurun; hidup dengan kematiannya yang tak tercatat pada lembar bumi yang fana ini.
Potret Indonesia
: Agustus-September
Di kota ini sirene ambulans nyaris tak letih
Lampu-lampu kota merekam; diam
Kita teringat tiga kalimat pendek yang sempat dipahat pada dinding kota;
Urus saja korupsimu, jangan mural-mural kami,
Mural-mural kami adalah otoritas kami
Tuhan, kami lapar
Beberapa tahun kemudian mural-mural pun dihapuskan dengan sederhana
Binatang malam melengking
Kita pun membisu penuh seluruh
Sementara manusia setengah dewa di langit buta
Tuli seperti mereka
Tapi lapar abadi
*Melki Deni, mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores-NTT.
Post a Comment for "Sudah Kuduga dan Puisi lainnya"