CINTA SEKUAT MAUT
Pixabay.com |
Cerpen Melki Deni
Pernahkah kau mendengar kisah tentang
biarawati muda dan karyawan tua yang filofobia? Perkenankan aku menceritakan
kisah itu: biarawati muda tertunduk pilu sehabis peluh keletihan dan
merenungkan arah panggilan hidup di kamarnya, ia akan segera dikeroyok
habis-habisan oleh kesepian biara dari kebisingan dunia dan akhirnya tenggelam
dalam dasar yang jauh. Sementara di kamar sebelah karyawan tua bingung mengapa
tidak bisa jatuh cinta!
Orang bilang, aku cantik,
cerdas, dan berbakat menari, tapi introver, dan kurang empati. Hellena namaku. Aku
kalem, tenang, itulah sebabnya aku menarik simpatik siapa saja. Aku lebih suka
mendengarkan dan sedikit berbicara hal-ihwal saja. Suaraku berwibawa dan memuat
banyak makna, bila berbicara. Sikapku yang polos mengundang decak kagum. Aku juga
pandai berjenaka. Bagiku, tidak apa-apa diriku menjadi bahan tertawaan siapa
pun, setidaknya dengan demikian aku dapat menyembuhkan penderitaan mereka, dan
akhirnya persoalan hidupnya selesai.
***
Sejak Juni tahun lalu, aku
ditugaskan di panti asuhan dekat pantai ini. Sebetulnya aku tidak bisa melayani
anak-anak berkebutuhan khusus, tapi pilihan hidup membuat aku harus berani
keluar dari zona kemapanan diri. Aku memberikan segala potensi dan bakat agar
mereka pula dapat mengekspresikan bakat dan potensi mereka. Dari mereka, aku
mendapat banyak nilai kehidupan; Mereka tidak pernah menyerah, meski dengan kekurangan
yang banyak. Mereka tidak mengeluh. Tiada pernah mereka mengutarakan penderitaan
hidup. Tuhan selalu berbicara di balik wajah mereka.
Akut tak jenuh dan letih,
kecuali bila aku diserbu oleh kesepian. Kesepian membuatku selalu mengurung
diri di kamar. Pada saat tertentu aku ingin mengeluarkan dan membuangkannya ke
dasar laut, namun itu tidak dapat menghentikan kesepian. Aku tak pernah tahu
bila mana kesepian datang dan pergi. Namun yang pasti, ketika kesepian
menyerang kesadaranku, aku benar-benar terkoyak-koyak, dan digiringnya ke
fantasi. Kemudian aku berpikir bahwa semua teman kecil sudah menikah, mempunyai
anak, dan hidup bahagia, tapi mengapa aku tidak menikah seperti mereka? Aku pun
sadar bahwa aku sudah memilih hidup selibat dan bertarak demi Kerajaan Tuhan.
Karyawan tua itulah
penyebabnya. Ia bisa menjadi tukang batu, tukang bangunan, sopir dan mengerjakan
segala sesuatu di panti asuhan. Lelaki berambut pirang itu beruang. Titus
namanya. Kedua orangtuanya sudah meninggal, sedangkan saudara-saudaranya sudah
berkeluarga. Ada yang bilang, karyawan tua itu mengidap penyakit takut jatuh
cinta. Ia tidak pernah jatuh cinta kepada wanita mana pun. Barangkali ia
memiliki pengalaman trauma masa lalu. Barangkali ia banci. Jangan-jangan ia
impoten. Atau bisa jadi …. Ya sudahlah. Tapi mengapa ia jatuh cinta padaku. Ia
tahu aku masih berumur delapan belas tahun, sedangkan ia sendiri sudah tiga
puluh sembilan tahun. Tidakkah ia paham bahwa menjadi seorang biarawati tidak
akan menikah seumur hidup, mempunyai anak dan seterusnya?
Malam itu panti asuhan
kesepian, kecuali bising mesin kapal para nelayan di sana dan bunyi knalpot
kendaraan di depan panti asuhan. Suster-suster mengikuti pertemuan penting di
suatu tempat jauh. Di panti asuhan aku, dua orang karyawati, anak-anak panti
asuhan, dan karyawan tua itu duduk makan bersama. Karyawan tua itu selalu
melemparkan pandangan yang aneh ke arahku, dan aku mulai berpikir aneh. Karena
aku belum diizinkan pegang HP oleh pimpinan biara, maka aku memimjam Hp
karyawan itu untuk menghubungi orangtua di kampung dan teman-teman lama. Tidak
lama aku berbicara dengan orangtua, karena aku tidak tahu harus omong apa
kecuali rasa hambar yang memelukku.
Udara dingin musim kemarau membuat
malam yang sepi mencengkeram hati, dan sepi merambat ke seluruh tubuhku. Kalau
saja aku dapat terbang ke rumah dan menceritakan kesepian ini, maka kegalauan
dan kegundahanku pasti akan berakhir. Di atas tempat tidur aku duduk, dan
berdiam diri. Memandang kosong ke arah meja kerja. Tiba-tiba karyawan tua itu
menerobos masuk kamarku. Aku tidak berpakaian biarawati, kecuali helai baju
tidur yang tipis dan sedikit transparan. Kukira ia mau mengambil Hpnya. Ia
mengunci pintu, menyimpan kunci di saku celananya, memadamkan lampu dan
melancarkan aksi brutal. Dua jam kemudian aku tersadar. Tidak berpakaian.
Rambut berantakan. Perut perih, kaku dan kepala pening. Ada rasa nyeri yang tak
terperikan di antara kedua pahaku. Dia keluar dari kamar sambil memperbaiki
ritsleting celananya, melangkah limbung tapi sempoyongan, lalu aku terkapar
lemas. Aku tidak bisa menangis. Mau mati rasanya. Aku menyesal dengan
kepengecutan saat itu.
Aku memakai pakaian baru.
Pakaian tadi kubungkus dan kubuang di dasar keranjang sampah. Lalu aku menulis
kalimat ini pada diaryku, “Wanita adalah
kertas kosong yang dengan bebas dituliskan tentang apa saja oleh laki-laki.
Sementara itu laki-laki adalah pena yang tintanya begitu raib dalam kerangkeng
libido. Ketika kertas kosong dipenuhi dengan paragraf tentang apa saja, dan
coretan-coretan kotor oleh laki-laki, sesungguhnya bukan kertas kosonglah yang
kalah, tapi pena yang huru-hara, pengecut dan tidak beres diri. Dengan demikian
wanita kuat, laki-laki sangat lemah.”
Aku masih gemetar menelan kegetiran. Selalu membayangkan ia membuka pintu, memasukkan kunci pintu ke
dalam saku celananya, memadamkan lampu, dan membunuhku secara tragis. Ingatan
akan kegetiran akan bangkit justru ketika ia diciptakan secara brutal, dan
ketika tidak ada sesuatu yang baru datang menghancurkan kegetiran itu.
Sungguh malang bagiku, ketika dua
hari kemudian aku berbelanja sayur-mayur dan ikan di pasar Kota Baru. Aku harus
pergi berdua dengan sopir tua itu. Hari masih pagi buta, udara dingin pun
menghantam pipiku dari luar jendela. Titus menaikkan kaca jendela mobil. Aku
coba menekan tombol, namun kaca jendela tidak juga naik. Sehabis belanja
semuanya sesuai nota belanja, kami pulang melalui jalur lain. Jalan itu sepi,
jarang kendaraan melintasi jalur itu pagi hari. Tapi mengapa Titus mengendarai
mobil ke arah itu? Di tempat sepi ia mulai meminta yang aneh-aneh.
Matahari mulai menyembul di
balik awan lembayung. Aku mulai gerah kepanasan. Titus serentak mengerem mobil.
Aku hampir menabrak kaca mobil depan. Sekali lagi ia melancarkan aksi brutalnya
sampai aku tak berdaya sama sekali. Aku tidak bisa memberontak. Perlawanan
wanita seperti diriku sama sekali tidak berguna, kecuali memancing aksi yang
lebih keji. Titus mengancam membunuh aku, bila menceritakan kejadian tragis ini
ke siapa saja. Aku tak berani menceritakannya ke siapa saja, bukan karena aku
takut dengan ancaman lelaki tua itu, melainkan malu diri saja bila orang-orang
tahu tentang diriku yang tidak suci lagi. Lagi pula, meskipun aku mengisahkan
segala kegetiran ini kepada pimpinan, mereka tidak akan percaya karena tidak
punya bukti. Bukan tidak mungkin juga akan didiamkan begitu saja, kemudian
menghibur aku dengan kisah-kisah inspiratif, dan nasihat rohaniah seperti yang
dialami oleh beberapa suster itu.
Aku duduk di kamar dan membaca
kembali kalimat ini, “Laki-laki menyerang
Kesadaran Bahasa (melalui apresiasi dan pujian: kecantikan, keindahan,
kebahagiaan, dan kesuksesan) wanita. Itulah sebabnya wanita begitu rentan
terjebak tanpa tenaga di bawah Permainan Bahasa laki-laki.” Tapi Titus
tidak pandai berkata-kata, kecuali kekuatan otot yang tidak terkalahkan itu.
Ketika otak tidak berfungsi dengan baik, ototlah yang bantu menyalurkan
agresivitas nafsu liar.
Esok siangnya aku duduk di
samping kolam, dekat pantai itu. Titus mendekatiku. Matanya menatap teduh, lalu
tertunduk malu. Lalu ia mulai bercerita tentang trauma masa lalunya. Sesungguhnya
apa yang dikisahkannya tidak menarik sama sekali, tapi aku coba menelan ludah
dan menekan semua ingatan. Bukankah pura-pura mendengarkan jauh lebih baik daripada
membuang muka kepada lawan bicara yang telah menoreh luka tak tersembuhkan?
Suster tua memanggil namaku, dan aku pun segera pergi.
Malam mulai hening, bising
kendaraan tak terdengar lagi, kecuali suara binatang malam. Aku ingin
menenangkan pikiranku di kolam. Kuulurkan kaki ke dalam air, dan ingatan mulai
memecahkan keheningan. Jantung berdetak kencang. Ingin rasanya bunuh diri saja;
sebab bukankah mati karena bunuh diri lebih mulia daripada menjadi budak seks
bagi lelaki tua yang pernah mengidap penyakit filofobia itu?
Aku mendengar entakan kaki
dari belakangku. Ia langsung memelukku dari belakang, dan menutup mulutku. Aku
terkapar tak berdaya. Anjing-anjing menggonggong dari dapur, kami pun lari
pontang-panting dalam diam. Barangkali malaikat Tuhan mengutus anjing-anjing
itu, meski sudah terlambat. Aku sudah benar-benar hancur. Ibadat, Misa dan
kegiatan-kegiatan rohani dipandang sebagai rutinitas belaka. Tuhan tidak
menyilih keburukan dan penderitaan dari hidupku. Sejak itu aku pun mengidap
penyakit ermifobia, sebab tiap kali aku berada dalam kesepian, predator
merampas diriku habis-habisan. Aku ingat sebuah kalimat, “Wanita mencengkeram
ruang kesepian laki-laki. Itulah sebabnya laki-laki begitu mudah menyerah dan
menghambakan diri tanpa perlawanan berarti di hadapan wanita.” Aku ingin
secepatnya pergi dari sini.
Aku teringat kata Paulo Coelho,
“Mungkin cinta membuat kita semua tua sebelum waktunya—atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat.” Itulah
sebabnya aku menulis kisahku ini kepadamu; barangkali kau akan paham dan bantu
menceritakan kisah ini ke dunia yang lebih luas. Apalah daya manusia seperti
diriku, “karena cinta kuat seperti maut,” kata
Kidung Agung, 8:6-7, “Air yang banyak tidak dapat memadamkan
cinta, sungai-sungai tidak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi
segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia akan pasti dihina.” Namun,
apakah cinta sama dengan agresivitas nafsu liar? Agresivitas nafsu liar
membuatku getir seluruh usia. Bagaimana mungkin aku ingin menjadi biarawati
yang harus selibat dan bertarak demi Kerajaan Allah, tapi dilecehkan secara
membabi buta oleh lelaki yang katanya mengidap penyakit filofobia itu?
Semua kisah perempuan nyaris
sama.
Post a Comment for "CINTA SEKUAT MAUT"