Metamorfosis Jarak dan Puisi lainnya
Hilda Semar |
Metamorfosis Jarak
Ketika angin malam mengoyak-koyakkan waktu, seketika kita mengayuh perahu kertas ke seberang sana; di mana dunia tidak terkendali lagi. Di sana kita mengeluarkan kebencian dan keomongkosongan masa lalu, dan membuangkannya lewat matahari sore hari, sehingga segala kepedihan dan kegetiran akan berakhir, dan kita pun memulai dunia-kehidupan baru.
Di sana kita duduk saling berhadapan, saling menukar makna rindu dan membantai ketidakpastian dunia. Udara dingin malam hari bermuatan embun putih membuat nafas yang keluar dari hatimu terasa dingin, dan nafasmu mengalirkan makna dunia-kehidupan baru ke garis nasibku yang tak henti-hentinya menepis sandiwara ruang dan teater waktu masa lalu. Di sana kita menulis puisi, melukis malam dan menghentikan serbuan maut, hingga kita kekal dalam kebahagiaan.
Semoga kegundahan dan kepengecutan masa lalu berjalan sejauh-jauhnya,
agar masa depan kita tidak pernah tahu bahwa suatu hari kita pernah rapuh dan
menangis karena kepengecutan dalam kelabilan usia. Semoga kepedihan dan kegetiran
masa lalu berjalan sejauh-jauhnya, supaya kita bisa melupakan ruang yang
berdasar, rindu yang melengking tinggi sekali, dan memulihkan kembali rindu
yang pernah raib dalam jarak yang tak berujung.
Di sana kita pelan-pelan menjelmakan cinta yang sejak lama suka
menebak-nebak di antara jarak, garis, nasib dan kesibukan kita membereskan negara
yang tidak baik-baik saja ini. Seketika itu pun kita tercatat pada Buku Kehidupan,
dan seperti melodi indah, cinta tidak pandai berkata-kata.
*Puisi Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores-NTT.
Post a Comment for "Metamorfosis Jarak dan Puisi lainnya"