Dapatkah Kampus Merdeka?
Melki Deni |
Pandemi covid-19 memorakporandakan semua sektor kehidupan masyarakat dunia,
tidak terkecuali sektor pendidikan. Selama pandemi covid-19 ini, pendidikan
Indonesia mengalami kemunduran baik pada tingkatan praksis di kampus maupun
kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada tingkatan praktis di kampus selain rendahnya
literasi digital, plagiarisme, distribusi sarana dan prasarana kampus dari
pemerintah tidak merata, dan berurat akarnya watak feodalisme, tetapi juga kasus kekerasan
seksual yang sengaja dibungkam—demi nama baik dosen dan
kampus. Selain itu, kebijakan-kebijakan pendidikan
nasional pun sering kali dipandang inkosistensi dan kontraproduktif—ada jarak yang lebar antara kebijakan pendidikan dan tantangan krusial yang
dihadapi kampus.
Feodalisme di Kampus
Kasus
kekerasan seksual di kampus sesungguhnya bukanlah baru terjadi selama masa pandemi covid-19,
melainkan jauh sebelum itu. Pola relasi yang bersifat patronase-klien (rektor-dosen, dosen-mahasiswa/mahasiswi, dan
mahasiswa-mahasiswi) merupakan warisan watak feodal yang terus berurat akar
dalam perguruan tinggi nasional.
Watak feodalisme tampak dalam praktik penghormatan, penghambaan, loyalitas,
dan pengabdian dengan pelbagai simbol/lambang, praktik komunikasi, dan
perumusan kebijakan-kebijakan diskriminatif dalam sistem pendidikan. Misalnya,
kalau seorang profesor/ dosen berbicara, semua mengangguk-anggukkan tanpa
melihat secara kritis materi yang disampaikannya (Riswandha Imawan, 1991).
Ada juga dosen
yang masih menggunakan atribut-atribut feodal dan mendisposisikan diri sebagai
raja yang harus disegani, disembah, dimuliakan, dan dilayani. Para dosen
menjadi pihak-pihak yang gila hormat. Tumbalnya
ialah mahasiswi, dan kelompok rentan lainnya. Budaya feodalisme ini juga membunuh rasa ingin tahu
sekaligus sikap kreatif yang menjadi jantung hati pendidikan (Reza A. A. Wattimena, 2017). Kampus pun masih dibayangi sebagai sebuah kerajaan
yang bercorak modern, tapi sangat feodalistik.
Sulistyowati Irianto (Kompas,
26/3/2021) mengungkapkan fakta kasus kekerasan seksual di kampus sejak 2019
sampai 2020. Pada 2019 kasus kekerasan seksual di kampus berjumlah 174 kasus
dari 79 kampus di 29 provinsi. Kasus kekerasan seksual ini juga bersembunyi
dalam kekerasan berbasis gender siber (KBGS), sebab terjadi pada ruang siber.
KBGS melaporkan kasus kekerasan seksual kepada Komnas Perempuan mengalami
kenaikan dari 241 kasus pada 2019 ke 940 kasus pada 2020. Laporan KBGS dari
lembaga layanan naik dari 126 kasus pada 2019 menjadi 510 pada 2020. Komnas
Perempuan juga melaporkan kasus kekerasan seksual di kampus terkonfirmasi yaitu
21 persen atau 1.731 kasus.
Laporan kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh Komnas Perempuan
pada 2020 sebanyak 299.911 kasus, menurun 31,5 persen dari 2019 sebesar 431.471
kasus. Tentu saja laporan ini hanya merupakan hasil catatan yang dilaporkan oleh
korban atau keluarga korban kepada Komnas Perempuan. Artinya masih begitu
banyak kasus kekerasan seksual di kampus dibungkam atau sengaja ditutup demi
nama baik pelaku dan lembaga. Pelaku kekerasan seksual di kampus ialah dosen,
mahasiswa, staf dan tokoh agama di kampus. Menurut Sulistyowati Irianto, penurunan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan
tidak dapat dilihat sebagai imbas dari pandemi covdi-19, yaitu (1) perubahan
jam kerja dan ketidaksiapan teknologi lembaga layanan, (2) selama pembatasan
sosial berskala besar korban takut lapor karena serumah (sekampus; dosen, tokoh
agama, sesame mahasiswa) dengan pelaku, dan (3) rendahnya literasi teknologi
korban.
Tantangan
Pendidikan
Pendidikan merupakan instrumen
utama negara untuk membentuk dan melahirkan manusia unggul dan integritas.
Kebijakan darurat mendadak dibuat agar pendidikan tetap berjalan dengan
memanfaatkan teknologi canggih di tengah pandemi covid-19 ini. Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim
menetapkan kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MB-KM). Kebijakan ini
dipandang berguna sebab mahasiswa diberikan kesempatan untuk mendapatkan
pengalaman belajar yang lebih luas dan kompetensi baru melalui beberapa
kegiatan pembelajaran di luar program studinya dengan memanfaatkan teknologi
canggih. Selain itu, kebijakan MB-KM juga berguna agar kampus nasional dapat
memenuhi kebutuhan negara yakni sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan
pengembangan bangsa.
Kebijakan pendidikan berguna
terutama dalam menanggapi persoalan lapangan; tantangan dan peluang yang
dihadapi mahasiswa dan dosen. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen
Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merespons darurat pendidikan
akibat covid-19 ini dengan memberikan kemudahan pembelajaran kepada mahasiswa
di perguruan tinggi. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tanggal 17 Marat 2020
tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam rangka
Pencegahan Covid-19.
Tantangan-tantangan kampus
Indonesia selama pandemi covid-19 disebabkan oleh inkonsistensi regulasi dan
kebijakan pendidiakan Indonesia. Cecep Darmawan (2021) mengatakan bahwa kebijakan
pendidikan Indonesia kerap menimbulkan kontroversi, bahkan kontraproduktif. Menurut
Darmawan, mulai dari kontroversi draf peta jalan pendidikan, persoalan asesmen
nasional (AN), perdebatan PP No 57 Tahun 2021, wacana penarikan pajak
pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan, sampai pada pembubaran Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang tidak tertib hukum.
Menurut Amich Alhumami (2021) inkonsistensi
regulasi dan kebijakan pendidikan itu terindikasi dalam lima kesulitan mengurus
pendidikan Indonesia yang demikian kompleks di tengah pandemi covid-19 ini: Pertama, merujuk asas desentralisasi,
kewenangan pengelolaan, dan penyelenggaraan terbagi ke setiap tingkatan
administrasi pemerintahan: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kedua, manajemen guru yang pelik
(sebaran tidak merata, kompetensi belum memenuhi standar). Ketiga, infrastruktur esensial (gedung, ruang kelas, laboratorium,
perpustakaan, dan peralatan) belum tersedia lengkap dan tidak merata. Keempat, karakteristik wilayah sangat
beragam dan sulit akses. Kelima,
diskontinuitas dan inkonsistensi pelaksanaan kebijakan. Inkonsistensi regulasi
dan kebijakan pendidikan juga berdampak pada semakin meningkatnya tindak
kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang tidak hanya terjadi pada
birokrasi negara, tetapi juga pada sektor pendidikan.
Saiful Mahdi (2021) pernah
bertanya: “Kenapa KKN masih merajalela? Merasuk hingga ke sekolah dan
kampus—dan sektor pendidikan secara umum, yang seharusnya diharapkan membangun
karakter mulia?” Mahdi sendiri menjawab, justru karena
korupsi, kolusi, dan nepotisme dipertontonkan nyaris telanjang oleh makin
banyak oknum pejabat publik atau aparatur negara, tak terkecuali oleh para
pendidik di sekolah dan kampus. Pada
awal Oktober lalu, Mahfud MD mengatakan bahwa dari
1.298 orang koruptor di Indonesia, 86 persen lulusan perguruan tinggi (Kompas,
21/10/2021). Mahdi berpendapat, integritas
kampus makin banyak dipertanyakan saat gelar akademik dan honoris kausa diobral
kepada mereka yang paling kaya dan paling berpengaruh secara ekonomi dan
politik.
Pada titik inilah kampus sebagai produk/pengembang
ilmu pengetahuan, kebudayaan, riset dan teknologi menjadi tidak merdeka. Mestinya
kampus menginternalisasi otonomi keilmuannya pada para pengembang ilmu itu. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya,
perlahan-lahan mereka dikendalikan oleh para
pemangku kepentingan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang
kontraproduktif.
Jalan
Pembebasan
Inkonsistensi regulasi dan kebijakan pendidikan disebabkan oleh mutu pendidikan. Apabila mutu
pendidikan nasional tinggi dan demokratis, tentu saja kualitas pendidikan
pun akan tinggi. Akan tetapi, apabila mutu pendidikan rendah, tentu saja
kualitas pendidikan rendah dan cenderung berwatak feodal, karena pendidikan dipandang oleh
manusia-manusia feodal sebagai sebuah kerajaan yang berwatak otoritarian dan
patrimonialistik. Selanjutnya, pendidikan akan dijerat kapitalisme dengan pola
hubungan feodal.
Skandal-skandal pendidikan nasional
dapat diatasi dengan menghentikan relasi berwatak patronase-klien
(patrimonialistik),
lambang/simbol dan atribut-atribut feodalisme di kampus. Kampus mestinya
memproduksi manusia-manusia yang unggul dan berintegritas, pendidikan yang
berpegang teguh pada tugas mulianya, yakni memanusiakan manusia yang berbudi
luhur, dan akhirnya juga dapat menimbang kembali nilai-nilai kemanusiaan dan
keutamaan hidup di tengah krisis kemanusiaan,
terutama yang dialami oleh mahasiswi, korban kekerasan seksual, dan kelompok
rentan lainnya. Mestinya tata
kelola kampus diarahkan pada taraf pendidikan kemanusiaan universal demi
perbaikan mutu pendidikan dan kualitas ekonomi-politik nasional. Kampus harus
memiliki dampak bagi pembangunan kapabilitas manusia, perluasan pertumbuhan
ekonomi, keadilan sosial, pencegahan penyakit, dan pengentasan kemiskinan.
Kampus dapat menghentikan relasi berwatak patronase-klien (patrimonialistik), lambang/simbol dan atribut-atribut feodalisme, dan intervensi negara yang berlebihan di dalamnya, apabila ada konsolidasi intelektual dan konsolidasi gerakan revolusioner kampus berdasarkan pendidikan kritis dan progresif-produktif untuk mengkritisi dan menimbang kembali kebijakan-kebijakan pendidikan yang kontraproduktif demi kebebasan akademik, penelitian, publikasi/penelitian dan pengabdian kepada masyarakat luas. Dengan terbitnya Peraturan Mendikbud Riset atau Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, kampus dapat menyusun tatanan baru dunia pendidikan yang berperikemanusiaan, berkebudayaan, bermelek teknologi, dan memerdekakan.
Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-Flores-NTT
Post a Comment for "Dapatkah Kampus Merdeka?"