Akan Ambrukkah Neoliberalisme? (Komentar atas Opini Rilus A Kinseng)
Pixabay.com |
Pada 13 Desember 2021 Kompas menerbitkan tulisan Rilus
A Kinseng berjudul “Covid-19 dan Ambruknya Neoliberalisme”. Kinseng menulis “Pandemi
Covid-19 menunjukkan bahwa aliran neoliberalisme yang menghendaki peranan
pemerintah seminimal mungkin tidak dapat dipertahankan. Terbukti, negara
memegang peranan sangat penting dalam mengatasi pandemi.” Kinseng mengutip
tidak sedikit pendapat orang untuk mendukung argumentasinya tanpa jeli membaca
realitas. Begitu cepat Kinseng menyimpulkan neoliberalisme telah ambruk, dan
karena itu, “aliran neoliberalisme, yang menghendaki peranan pemerintah
seminimal mungkin, jelas tidak dapat dipertahankan”, tulisnya.
Akan tetapi, akan ambrukkah neoliberalisme, seperti
dibayangkan Kinseng? Neoliberalisme tidak hanya soal antagonismenya dengan
negara dengan menjunjung tinggi mekanisme pasar, dan eskpansi kapital saja. Lagi
pula, sistem ekonomi neoliberal ini dirancang oleh segelintir orang superkaya yang
anonim, transnasional, dan homogen (I. Wibowo, 2006:138). Dengan kredonya—liberalisasi,
deregulasi, kempetisi bebas, globalisasi ekonomi, individualisme, pertumbuhan
ekonomi yang stabil, negara minimalis—kaum neolib selalu merekonstruksi, dan
mereproduksi sistem ekonomi neoliberalisme ini, meskipun mengangkangi kebijakan
politik, hukum, dan geopolitik negara yang didatangi.
Saya tidak sedang memuji keniscayaan neoliberalisme
sebagai teori ekonomi global yang tampaknya telah mencapai keberhasilan dalam
beberapa dekade terakhir ini. Saya hanya mengkritik kesimpulan Kinseng
tersebut. Kinseng gagal paham, kaum neolib selalu mendirikan perlindungan dan
proteksi bagi mereka sendiri dengan mengorbankan orang lain, sitem dan
kebijakan politik negara (I. Wibowo, 2006:155). Kaum neolib akan membuat hukum
yang menguntungkan kepentingan mereka tanpa mengindahkan kepentingan buruh,
pemeliharaan lingkungan hidup, kesetaraan rasial, hak kaum perempuan,
keselamatan masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya (I. Wibowo,
2006:155-156).
Menurut Wallace dalam bukunya Matinya Epidemilog: Ekspansi Modal & Asal-Usul Covid-19, terj.
A. Faricha Mantika (Yogyakarta: Penerbit Independen, 2020), penyebab covid-19,
dan patogen lain tidak hanya ditemukan pada satu objek infeksi atau perjalanan
klinisnya, tetapi juga di bidang hubungan ekosistem modal, ekspansi dalam
industri-industri peternakan dan agrobisnis, dan penyebab struktur lainnya
telah disematkan kembali ke asalnya. Penyebab struktural yang Wallace maksudkan
ialah neoliberalisme. Struktur politik neoliberalisme menciptakan kedaruratan,
dan kemudian menghibur masyarakat dunia dengan retorika kontradiktoris.
Negara VS
Neoliberalisme
Kinseng membandingkan peranan negara, dan neoliberalisme
dalam mengurus keselamatan, kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sosial
masyarakat. Peranan negara dan neoliberalisme tentu saja jauh berbeda. Untuk
konteks Indonesia, tujuan bernegara tertera dalam Pembukaan UUD 1945:
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaan abadi dan
keadilan sosial. Negara berperan mengatur, memperjuangkan, mengendalikan,
melindungi, dan mengembangkan potensi manusiawi seluruh warga negaranya
(universalitas), sedangkan neoliberalisme lebih mengutamakan kepentingan
kelompok kecil (parsialitas) demi peningkatan profit dengan akumulasi melalui
perampasan [accumulation by dispossession]
(David Harvey, 2007: 116;159-165;200).
Akumulasi melalui perampasan ini, kata Harvey, terdiri
dari empat fitur utama: (1) Privatisasi dan komodifikasi;(2) Finansialisasi;
(3) Manajemen dan manipulasi krisis; dan (4) Redistribusi Negara. Dengan
demikian demokrasi sewaktu-waktu dapat dibatalkan demi menyelamatkan modal
[kapitalisme neoliberal], yang berorientasi kompetisi pasar dan perluasan
wilayah produksi dari perusahaan (Alexander Jebadu, 2021:242; I. Wibowo,
2006:156).
Tak terkecuali di tengah pandemi covid-19 ini,
masyarakat Indonesia didaruratkan oleh
karena disahkannya UU Ciptaker tanpa intervensi dan partisipasi publik
demokratis (bdk. analisis yang dilakukan oleh Astried Permata, 2021; Deda R.
Rainditya dan Sandry Saraswati, 2021; dan Gede Ngurah Rsi Suwardana, 2021). UU
Ciptaker ini disusun, dan disahkan secara mendadak di tengah masyarakat hiruk
pikuk menghadapi pandemi, karena disokong oleh kepentingan pasar bebas
(neoliberalisme).
Indonesia Menolak
Neoliberalisme?
Indonesia, yang menganut sistem demokrasi (politik dan
ekonomi), tentu saja bertolak belakang dengan proyek neoliberalisme yang
bersifat individualisme, perdagangan bebas, pasar bebas, intervensi negara
(pemerintah, parlemen, birokrasi, militer, polisi) yang terbatas, kesejahteraan
universal harus diminimalisasi, dan pengurangan pajak untuk dunia bisnis, dan industri
(Georg Ritzer, 2014:1018-1020). Lebih tepatnya, neoliberalisme adalah musuh
abadi dari demokrasi. Neoliberalisme terang-terangan sangat anti-demokrasi
(Alexander Jebadu, 2021:238-242; I. Wibowo, 2006:152-155 ).
Indonesia menolak sistem free fight liberalism yang memungkinkan eksploitasi terhadap hak-hak
asasi manusia, melumpuhkan sistem demokrasi, dan bangsa lain; Menolak sistem
etatisme, yang lebih mementingkan negara daripada rakyatnya; dan model pemusatan
kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat
(T. Gilarso, 1986:173).
Sesungguhnya Indonesia tidak bebas dari pengaruh neoliberalisme.
Perkembangan neoliberalisme di Indonesia dapat dibaca pada I. Wibowo dan
Francis Wahono (Ed.), Neoliberalisme (Jakarta:
Francis Wahono Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas Yogyakarta, 2003); Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap
Kejahatan Industri Pangan (Yogyakarta: Resist Book, 2004); Goen Husain
Pontoh, Malapetaka Demokrasi Pasar
(Yogyakarta: Resist Book, 2005); Awalil
Rizky dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme
Mencengkeram Indonesia (Jakarta: EPublishing, 2008); Ferdi Hasiman, Monster Tambang Gerus Ruang Hidup Warga Nusa
Tenggara Timur (Jakarta: JPIX-OFM Indonesia, 2014); Dr. Alexander Jebadu,
SVD, Drakula Abad 21 (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2021); Dr.
Alexander Jebadu, Dalam Moncong
Neoliberalisme (Maumere: Penerbit Ledalero, 2021), dan masih begitu ada
banyak publikasi lainnya baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel maupun
berita-berita pada media massa. Kesemuanya itu menggambarkan sistem ekonomi
neoliberalisme telah beroperasi, dan terus berkembang di Indonesia.
Neoliberalisme merupakan
bentuk mutakhir dari kapitalisme (Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, 2008:
230-258). Menurut Wendy Brown (2015:17), “neoliberalisme, suatu bentuk nalar
aneh yang mengonfigurasi semua aspek eksistensi dalam istilah ekonomi, secara
diam-diam menghancurkan elemen-elemen dasar demokrasi”. Brown berpendapat,“pasar
dan uang merusak atau merendahkan demokrasi, bahwa institusi dan hasil politik
semakin didominasi oleh keuangan dan modal perusahaan, atau bahwa demokrasi
digantikan oleh plutokrasi—diperintah oleh dan untuk orang kaya”.
Akan Ambrukkah Neoliberalisme?
Mengutip Sam Gindin (2021), Coen Husain Pontoh (2021) menulis,
“kegagalan ini bukan karena kapitalisme tidak bisa mengakumulasi profit
sebesar-besarnya bagi para kapitalis dan para stakeholder-nya, atau karena kapitalisme tidak mampu berpenetrasi
hingga ke sudut-sudut terpencil di seluruh belahan bumi, tapi kegagalan dalam menghadapi pandemi ini
justru akibat dari kesuksesan
kapitalisme itu sendiri”.
Wallace ketika diwawancarai oleh Ashley Smith (2020)
berkomentar, “that such outbreaks are not an accident but the result of a
capitalist system that puts profit before the environment, human beings, and
public health. What a radical notion: that our social systems impact our
epidemiologies!” Justru karena kekuasaan neoliberalisme, kaum kapitalis
neoliberal semakin mudah memperluas ekspansi kapital, dan melancarkan
agendanya.
Ada drakula yang sedang
menghantui, dan merusak dunia abad ke-21 ini. Menurut Alexander Jebadu
(2021:126-299) drakula itu tampak dalam sistem ekonomi neoliberal. Jauh sebelum
Alexander Jebadu, Karl Marx dalam Capital:
A Critique of Political Economy Volume I (1867, 1887, 1992:233) memberi julukan metaforis,
yakni vampir kepada sistem ekonomi yang menjunjung tinggi kapital dengan
merusak bumi, dan mayoritas masyarakat miskin melalui eksploitasi tanpa
kendali, meski dengan mengangkangi klaim-klaim hak-hak asasi manusia,
penjajahan kultural, hegemonisasi, dan manipulasi kesadaran.
Neoliberalisme menegakkan
liberalisasi dan/atau globalisasi ekonomi segelintir orang superkaya (ingat
beberapa kredo dasar sistem ekonomi neoliberal di atas), namun ia juga
menelikung kebebasan masyarakat pada umumnya, dan menyumbat demokratisasi. Seperti
vampir, drakula (neoliberalisme) hidup hanya dengan mengisap darah manusia dan
planet bumi ini, dan drakula (neoliberalisme) semakin hidup bila ia semakin banyak
manusia dan planet bumi ini yang dilumpuhkan, diisap, dan dirusakkannya.
Orang-orang, seperti juga
Kinseng, yang menyimpulkan neoliberalisme sudah ambruk di tengah pandemi
covid-19 terobsesi dengan realitas yang dimanipulasi ini. Ramalan akan
ambruknya neoliberalisme ini pernah dibuat oleh Marx. Marx meramalkan akan
adanya suatu konflik yang semakin sengit antara kaum proletar dan kapitalis,
yang berakhir dengan kemenangan tak terelakkan oleh kaum proletar, dan sistem
kapitalis pasti runtuh. Apa yang terjadi? Kaum kapitalis dengan semangat
fundamentalisme pasar bangkit kembali dengan kemenangan yang gemilang sampai
saat ini. Demikian neoliberalisme tidak akan ambruk, justru muncul dalam bentuk
baru ke permukaan.
Bagaimana pun, saya
mengapresiasi Kinseng atas usaha intelektualnya mengangkat kembali ke ruang
publik terkait dengan neoliberalisme. Indonesia sedang tidak baik-baik saja,
justru ketika pasar menjadi preferensi kebijakan publik, ekonomi, dan politik
negara.
Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-NTT
Post a Comment for "Akan Ambrukkah Neoliberalisme? (Komentar atas Opini Rilus A Kinseng)"