Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Laki-laki Sama Saja

Perjalanan dari Maumere menuju Ruteng tidak membosankan. Pegunungan, biara, gereja tua, dan orang-orang sibuk di pinggir jalan membuat mata enggan mengantuk. Waktu itu saya duduk di samping kanan seorang gadis berbaju kaus hitam. Ia duduk dekat jendela sambil membaca buku. Ia berusia sekitar duapuluhan tahun.

Sesekali ia menoleh ke arah saya, dan melemparkan senyuman, ketika sopir membelokkan bus ke arah kanan. Ketika itu, saya salah tingkah. Tidak seperti penumpang lain, ia tidak mabuk atau pusing. Ia duduk tenang, dan kelihatannya menyerap kalimat demi kalimat dalam buku tersebut. Ketika bus belok kiri, ia menyenggol bahu kiri saya. Saya tersenyum dalam hati. Lalu ia atur kembali posisi duduk.

“Di mana-mana laki-laki itu sama saja,” ujarnya.

“Kenapa bilang begitu? Pernah disakiti atau dilukai oleh lelaki?” saya bertanya.

“Sebenarnya tidak tersakiti atau terluka. Semua laki-laki itu tidak berani, tidak percaya diri, tidak respek terhadap diri, dan tidak hormat diri. Laki-laki alihkan semuanya itu kepada perempuan dengan cara yang paling konyol seperti kekerasan, marah, intimidasi, bentak, pukul, represi, terror dll. Laki-laki menggunakan suara besar, otot kuat, kegesitan lidah, dan kecekatan tangannya untuk mengalihkan ketidakberanian, kelemahan, dan kerapuhannya dalam usaha menguasai, mengatur, dan mengendalikan perempuan. Dalam kesempatan lain, laki-laki menggunakan selera humor, jenaka, lelucon, lawak, dan kata-kata basi untuk memanipulasi kepengecutan, kekonyolan, dan kesepiannya. Ya singkatnya ia manusia penipu, dan pembohong.”

Saya terdiam, dan membayangkan tiap kalimat yang diucapkannya itu dalam dunia kehidupan laki-laki. Tiba-tiba ia mengatakan laki-laki di dunia sama sajasejarah tidak mengubah derajat laki-laki, katanya. Berapa pun usia, jenjang pendidikan,  jabatan, peran, dan status sosial, laki-laki tetap sama saja, ujarnya.

“Nona mau ke mana?”

“Ini salah satu bentuk kebohongan dari laki-laki. Dalam kepala kaka tidak pernah terlintas pernyaan itu. Pertanyaan itu berasal dari mulut. Pikiran dan suara hati tidak berjalan bersama mulut. Seharusnya kaka bertanya mengapa saya berbicara seperti ini dari tadi. Tapi kaka pura-pura mengalihkan, alih-alih membela dan membentengi diri, justru kebolongan.”

“Ah. Apa salahnya nona jawab saja pertanyaan saya!”

“Saya tidak ke mana-mana. Saya ingin duduk di bangku bus ini seumur hidup saya. Di luar sana saya selalu kalah dalam medan pertarungan kebohongan dunia kehidupan laki-laki.”

“Pernah jadi korban kebohongan laki-laki?”

“Bahkan sebelum aku dilahirkan!”

“Bagaimana rasanya setelah jadi korban?”

“Pertanyaan konyol! Alih-alih memberi pujian, mengatakan keindahan, dan kekaguman pada apa yang tampak dalam diri perempuan, yang laki-laki lakukan dalam interaksinya dengan perempuan ialah akumulasi melalui eksploitasi tubuh perempuan. Mata perempuan melihat sampai ke kedalaman hati, pikiran, dan melampui batas-batas horizon laki-laki. Sebaliknya mata laki-laki melihat hanya terbatas pada realitas di balik helai penutup badan perempuan.”

Harapan saya mendekati gadis itu sia-sia belaka. Ia begitu cerdas, dan gesit berpikir. Tapi saya tidak pernah bermaksud seperti yang dikatakannya tadi. Sebetulnya saya siap, dan bersedia menjaga gadis itu selamanya; menjalani hidup dengan suka dukanya, merayakan kebahagian, dan akhirnya menikmati kematian di antara buku-buku yang dibacanya.

 

 

Post a Comment for "Laki-laki Sama Saja"