Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Paradoks Banjir dan Puisi lainnya

Melki Deni

Paradoks Banjir


Kami duduk di beranda rumah. Menyaksikan hujan menjelma banjir yang mengikis tepi sungai, mengalirkan sampah-sampah para koruptor, yang setengah mati direbut oleh para pemulung di pinggir laut itu, dan penuh syukur memeluk sampah-sampah berkali-kali.

Banjir kali ini mengangkut banyak popok, alat kontrasepsi, tisu, limbah industri, tulang-tulang bayi yang diaborsi, kayu-kayu yang digundulkan di pegunungan, dan tengkorak manusia yang ginjal, mata, darah, dan jantungnya dijualbelikan invisible peoples.

Banjir kali ini mengalirkan kebenaran, dan keadilan ke arah laut. Itulah sebabnya tiap akhir pekan rakyat jelata berbondong-bondong ke pantai; memungut keadilan, dan kebenaran. Lalu mereka menyimpan keadilan, dan kebenaran itu ke dalam nurani. Setelah itu mereka mewartakan keadilan, dan kebenaran itu ke arah siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Banjir kali ini membawa berkat bagi oknum tertentu; memburu renten lewat potret duka para rakyat jelata, yang diunggah ke media sosial, dan dipasarkan oleh invisible man. Itu sebabanya invisible man memajang nomor rekening di media sosial; memancing uang dari masyarakat dunia, menabungnya ke saku sendiri, menggusur tanah rakyat jelata, dan membuka perusahaan. Banjir adalah rezeki. Itu sebabnya, rakyat jelata hura-hara memungut sampah-sampah para koruptor di tengah kepungan banjir.

3/1/2022


Uang


Hari-hari ini uang mempermaklumkan kemahakuasaannya di antar langit biru, dan bumi yang retak, dan berpetak-petak. Simfoni suara hati, dan protes nurani diabaikan. Uang menyentuh arah, dan mengendalikan siapa saja, dan dari mana saja. Ia adalah vampir yang hidup hanya dengan mengisap darah siapa saja, dan semakin hidup dan menguasai semuanya, bila semakin banyak darah manusia yang diisapnya.

Tiba-tiba saja aku ingin memusnahkan uang yang beredar di seluruh dunia, yang menyebabkan peperangan, kekerasan, kejahatan, pemerasan, pertarungan kebohongan, sehingga dunia bebas dari cengkeramannya!

Tapi aku ingat, karena dia, aku jatuh cinta padamu berkali-kali. Karena dia, tubuh kau tidak jadi diakumulasi melalui perampasan. Karena dia, aku mengenal Tuhan, jalan menuju surga, dan kematian yang tidak perlu dirayakan. Di jalan kita saksikan orang-orang jual beli Tuhan. Di koran-koran kita temukan perempuan, mahasiswi, anak-anak kecil, dan lelaki yang diperkosa tanpa ampun, sebab mereka dipandang sebagai alat untuk menghasilkan uang lebih banyak lagi.

3/1/2022

*Melki Deni, mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores-NTT. 


Post a Comment for "Paradoks Banjir dan Puisi lainnya"