KE MANAKAH KITA? (Seni Memaknai Penderitaan)
Picture: Pixabay.com |
"Ke mana" adalah pertanyaan pengharapan
akan pembebasan, jawaban terakhir yang sungguh-sungguh letih dan kerinduan yang
tak pernah sampai. Ke mana, entah ke mana dan di mana nantinya, tapi jangan
lagi aku berada di sini. Aku tak lagi bisa bertahan di sini. Aku ingin bebas di
dunia yang mahaluas, di mana aku tak lekas luluh lantak dalam kobaran pandemi
covid-19 yang tak terkendali lagi.
Pandemi covid-19 bergerak begitu
cepat di luar kendali manusia, dan mengembangbiakkan dirinya sendiri dalam
arena tubuh manusia hingga tak kenal lagi garis keturunannya sendiri. Pandemi
covid-19 dapat mencengkeram, dan membinasakan siapa
saja.
Memahami Penderitaan
Dunia sedang dilanda kemalangan,
keburukan dan kegelisahan tiada taranya akibat pelbagai bencana yang bergerak
cepat di luar kendali kita. Kita mengklaim diri sebagai subjek yang otonom,
otokritik, dan progresif, malah begitu mudah dikendalikan oleh bencana pandemi
covid-19.
Pandemi covid-19 tidak hanya
mengentak tubuh biologis kita, tetapi juga seluruh proyek kemanusiaan kita,
termasuk refleksi kita tentang Tuhan. Kita harus mengambil jarak kritis,
berkontemplasi dan memulai suatu perjalanan baru.
Perjalanan baru itu diharapkan dapat
membebaskan dan memerdekakan, di mana kita dapat menemukan kembali diri, proyek
kemanusiaan dan kerinduan kita akan “ada bersama” dengan yang lain dalam
keberlainan. “Ada bersama yang lain” mengandaikan adanya dialog interaktif,
rekognitif, dan intersubjektif transformasional, terutama ketika kemalangan,
keburukan dan kegelisahan datang silih berganti.
Ketika kita ditimpa kemalangan,
keburukan dan kegelisahan, kita serentak bertanya, ke manakah kita? Mengapa
kita dapat penderitaan? Mengapa harus kita, dan bukan mereka? Mengapa
penderitaan harus terjadi sekarang, bukan di saat kita benar-benar sudah siap
segala sesuatu?
Penderitaan datang, justru ketika
kita sama sekali tidak siap apa-apa. Sebab jika penderitaan datang setelah kita
sudah siapkan segala sesuatu, itu bukan lagi penderitaan. Penderitaan tidak
dapat menyangkal dirinya, dan tidak pula peduli dengan siapa pun yang menjadi
targetnya.
Penderitaan bisa saja memakan korban,
agar ia dapat hidup untuk dirinya sendiri. Makin banyak korban yang dimakan
oleh penderitaan, makin penderitaan hidup dan berkembang biak dalam dirinya
sendiri. Bila penderitaan datang pada saat kita sama sekali tidak siap apa-apa,
maka bagaimana kita dapat menyikapi dan menyumbat penderitaan itu?
Sapardi Djoko Damono (2017:11)
menulis, “lalu ke mana lagi percakapan kita (desah jam menggilkan ruangan,
kata-kata yang sudah dikosongkan. Semakin hijau pohonan di luar sehabis hujan
semalaman; semakin merah bunga-bunga ros di bawah jendela; dan kabut dan kabut
yang selalu membuat kita lupa) sehabis hujan, sewaktu masing-masing mencoba
mengingat-ingat nama, jam semakin putih tik-toknya.” Pandemi covid-19 begitu
ngeri, hingga kita tidak lagi dapat bercakap-cakap dan bersenda gurau seperti
sediakala dalam dunia korporeal.
Pandemi covid-19 menciptakan situasi
paradoksal baru bagi kehidupan. Akan tetapi, tragisnya di tengah pandemi ini,
kita bisa saja lupa siapakah kita, dan apa saja yang telah kita lakukan? Kita
pun mencoba mengingat-ingat nama-nama mereka yang menjadi korban target pandemi
covid-19 yang tangkas ini.
Akan tetapi, perjalanan kita tidak
berhenti, tatkala pandemi covid-19 membajak kehidupan kita. Makin kita menua,
dan berani mengalir dengan refleksi kritis, makin kita bijaksana, dialogal,
komunikatif, dan abadi. Karena kita makhluk dialogal, kita bertanya terus
menerus, dan bahkan jawaban adalah pertanyaan baru.
Kita mengungkapkan keberanian untuk
melampaui pertanyaan-pertanyaan, dan jawaban-jawaban. Dengan bertanya, kita
membebaskan diri dari belenggu bencana, penderitaan dan penderitaan kita.
Bahkan hanya dengan bertanya, kita merasa bebas dan merdeka, sebab pertanyaan in
se adalah kebebasan.
Namun kegiatan ini berlaku hanya pada
kita sendiri sebagai subjek, dan karena itu kita wajib melibatkan orang lain.
Keterlibatan orang lain mengandaikan terbukanya ruang pengakuan, dialog,
komunikasi, dan refleksi kritis di dalamnya, sehingga orang lain pun akan
merasa “ada bersama kita”. Hanya dengan perasaan dan kegiatan “ada bersama
kita”, subjek-subjek lain yang juga menjadi korban target pandemi covid-19
merasa bebas, dihargai dan diakui.
Pertanyaan “ke manakah” bisa saja
berarti kita ingin menghindari persoalan-persoalan yang tak lagi terselesaikan
di sini-kini, dan mencari tempat aman di luar sana. Pertanyaan “Ke manakah”
bisa jadi menggambarkan pengharapan kita akan kemerdekaan di luar sana,
sehingga kita terpaksa dan terburu-buru melarikan diri dari dunia yang sedang
berjalan dengan hukum-hukumnya sendiri ini.
Alih-alih berlari dan/atau
menghindarkan diri dari serangan pandemi covid-19 ini, kita pun jatuh diimpit
tangga. Kita pun dihadapkan pada pengalaman kelaparan, kemiskinan, penindasan,
pengisapan, pembisuan, eksploitasi, perkosaan, dan bahkan kematian tanpa
tenaga, tanpa tangisan panjang. Kita seolah-olah tidak saja dapat menderita,
tetapi harus menderita di sini-kini, bukan nanti.
Penderitaan, bila dihadapi dengan
tegar dan penuh makna, akan menjadi kunci menuju pembebasan diri. Barangsiapa
berhadapan dan/ atau mengalami penderitan, tidak akan yakin bahwa kita adalah
tuan atas diri kita sendiri. Kita seolah-olah ditempatkan di dalam conditio
humana yang sama sekali kita tidak kehendaki.
Proyek hidup kita berjalan pelan,
macet dan cacat (Mängelwesen ala Arnold Geflen). Kita harus mengambil jarak
(pen-jarak-an) dengan diri kita sendiri, dan bergiat di antara apa yang sedang
terjadi, dan apa yang harus terjadi atas hidup kita. Di sana kita tidak mampu
menjadi pribadi kita sendiri, namun terperangkap dalam penderitaan, yang bukan
kita sendiri ciptakan, melainkan dari luar sana, entah dari mana, yang
menyebabkan kita akan dikemanakan entah oleh siapa atau apa.
Lalu, jika bukan kita yang ciptakan
penderitaan ini, apakah kita harus menolaknya? Bila kita menolak penderitaan,
bukankah jejak-jejak penderitaan itu tetap aktif bergiat dan berbicara atas
sejarah hidup kita?
Penderitaan cepat berubah dan ia
tidak pernah salah, sebab ia bekerja untuk dirinya sendiri. Penderitaan tidak
dapat memahami dan memaknai dirinya, meskipun ia telah memakan banyak korban.
Kita pun berubah, dialogal, progresif, transformatif dan dinamis. Kita lebih
tua dan berkuasa atas penderitaan itu.
Meskipun semua jalan yang kita tempuh
senantiasa mengarahkan kita kembali ke dalam perangkap penderitaan, toh kita
dapat sembuh, dan bebas dari penderitaan itu. Siapa yang tidak pernah
menderita, terderita dan membuat orang lain menderita? Kita bukan saja sebagai
subjek dan objek atas penderitaan, tetapi juga predikat.
Penderitaan barangkali bisa
diumpamakan sebagai rahmat, seketika ia muncul dan menyentuh seluruh kehidupan
kita, kita hanya menangkap gejala-gejalanya. Rahmat ada di mana penderitaan
ada, dan kalah. Rahmat dan penderitaan itu selalu bersaing, dan bertempur
merebut kita, tapi kitalah yang dapat menjelaskan perbedaan dan batas wilayah kekuasaannya
masing-masing. Seperti api yang memurnikan emas dan meningkatkan nilainya, kita
meruncing dan mempertajam rahmat itu dengan memaknai penderitaan.
Menuju Pembebasan Manusia
Kita tahu bahwa ada banyak hal dalam
hidup tidak bisa diselesaikan dengan motivasi, nasihat, khotbah dan
permenungan, namun kita harus turut merasakan dan mengalaminya. Orang yang menderita
mau dipahami, bukan malah dikhotbakan, dinasihati, dan apalagi dimarahi.
Orang yang menderita membutuhkan mata
yang mendengarkan, mulut yang bisu, dan telinga yang peka. Orang yang menderita
sangat mengharapkan compassion dari sesama di sekitarnya. Itulah kita: kita,
makhluk rasional, yang dapat menyutradarai dan mengendalikan sejarah hidup
kita, tetapi juga kita harus dapat mengalami penderitaan.
Mengalami penderitaan berarti
memaknai penderitaan. Sementara memaknai penderitaan berarti membiarkan
penderitaan berbicara apa adanya atas diri kita, dan tugas kita ialah
menyembuhkan dan membebaskan diri dari penderitaan itu, sambil mengantisipasi
penderitaan-penderitaan
dari masa depan.
Penderitaan menyentuh misteri
kehidupan kita, yang tidak terjangkau oleh akal budi dan perasaan kita. Misteri
penderitaan tidak dapat diindrai oleh pancaindra kita. Misteri penderitaan
bersentuhan dengan batin, unsur dasariah kita.
Ketika kita, atau siapa pun
menderita, kita tidak hanya membutuhkan indra orang lain yang terlibat,
melainkan kesadaran akan “aku ada di sini untukmu”. “Aku ada di sini untukmu”
mengandaikan ketiadaan jarak dan batas antara mereka yang menderita dan kita
yang menyembuhkan. Sebab bila hanya pancaindra yang terlibat, maka di sana yang
ada hanyalah pengindraan yang kosong.
Ketika kita berjumpa dengan wajah
orang yang menderita, kita tidak boleh memotret dan mencetak gambar-gambar
wajah mereka. Actus memotret, mengedit, mencetak dan mempublikasikan
wajah-wajah yang menderita ke ruang publik adalah kejahatan terbesar, sebab
kita melihat mereka hanya sebagai objek, yang layak dikalkulasi dan diakumulasi
secara ekonomis (F. Budi Hardiman 2010: xxxi-xxxii).
Bila kamera canggih kita menangkap
wajah penderitaan mereka, sesungguhnya kita sedang mereduksi kemisterian, dan
memproduksi penderitaan-penderitaan baru atas hidup mereka. Memotret orang yang
menderita adalah sumber kekejian dan kejahatan, di mana kata-kata, makna
penderitaan dan keluhuran manusia kehilangan dayanya sama sekali.
Adakalanya orang yang menderita
berkata-kata, tapi sebenarnya hampa. Adakalanya mereka tidak berkata-kata,
namun sesungguhnya sedang memeram misteri kehidupan. Orang yang menderita
pandai menyembunyikan misteri kehidupan, dan kita mesti menangkap misteri kehidupan
dengan “ada bersama”, mendengarkan, mengakui, dan membebaskan mereka.
Penyembuhan adalah tempat lahirnya
kebebasan eksistensial manusia. Akan tetapi di sana rawan terjadi preversi,
justru ketika orang yang menderita menghindar dari penyembuhan itu, dan
menjebloskan diri ke dalam perangkap penderitaan.
Artinya, ketika manusia benar-benar
sedang menderita, ia tidak boleh menipu diri dan menegaskan baik-baik saja.
Manusia tidak boleh memanipulasi pengalaman penderitaannya yang riil. Jika
manusia mau menemukan makna dari pengalaman penderitaannya itu, ia harus
membuka diri, dan mengakui orang lain, yang sedang membebaskan dan
memerdekakannya.
Manusia membutuhkan tantangan,
penderitaan, dan tegangan-tegangan, agar ia hidup dan regeneratif. Penderitaan
adalah duri kehidupan, dan di dalamnya kita menemukan, dan merekonstruksi makna
kehidupan kita. Sehingga pertanyaan “Ke manakah kita” mendapat tempat
jawabannya, dan jawaban memberikan kehidupan baru bagi kita pada tahun baru ini!
Melki Deni, mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
Pernah terbit di jurnal Vox Ledalero seri 67/02/2021.
Post a Comment for "KE MANAKAH KITA? (Seni Memaknai Penderitaan)"