Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kalimat Terakhir dan Puisi lainnya

Melki Deni

Kalimat Terakhir

Ketika aku duduk membungkuk seperti ini, 
Suka kubayangkan ada kuntum bunga yang semerbak mewangi dari arahnya dengan segala keindahannya
Kemarin berakar, hari ini bertunas dan berpangkal, besok berbunga tak berujung entah ke mana arahnya, 
Rindu yang mendidih dalam kepala menjadi kenyataan, 
kecuali asap dan abu tidak ingat dari mana? 

Ketika aku duduk membungkuk seperti ini, 
Suka kubayangkan kau yang diam-diam menghampiriku dengan segala kemiskinanmu
Tepercik masa depanku dan terlepas dari rumahmu,
Melayang ke sana kemari ke arahku tanpa masa lalu,
sampai kalimat terakhir puisi ini, kaulah yang bertanggung jawab atas kebebasanku dari rindu ini!



Sudah Kuduga 


tiap malam kau berkata begini;
rindu adalah mekar mawar pagi, bintang petang di Utara yang tak takluk karena kemarau, bayang-bayang fatamorgana Siang di jalan yang panjang, dan alunan viola yang berbisik pada malam. Kita pun mempermainkan waktu.

Kau mulai membaca sepotong sajak yang kutulis kala kota dihajar Covid-19, dan mayat-mayat yang tak sempat bertemu keluarganya dan dimandikan;
"kau adalah mata, dan aku adalah hari. Bilakah kita ada lagi setelah 24 jam?"
Kita pun menjelma jadi mata air, di mana segala air mengalir ke mata, dan entah batas hilirnya. 

Kau teringat kata orang tua itu, air mata adalah perang antara hidup dan maut. Dan Kesepian adalah duri kaktus yang merambat di Padang gurun; hidup dengan kematiannya yang tak tercatat pada lembar bumi yang fana ini.

Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-NTT. 

Post a Comment for "Kalimat Terakhir dan Puisi lainnya"