Bencanakah Kemanusiaan Kita?
![]() |
Melki Deni |
Jarang
orang menyaksikan secara langsung bencana alam dan bencana kemanusian. Biasanya
orang hanya menulis, membaca dan mengisahkan kembali peristiwa-peristiwa dengan
racikan bumbu sesuai selera, dan ditambah opini lewat tulisan, buku dan
publikasi-publikasi. |
Generasi
kita menyaksikan langsung bencana alam dan bencana kemanusiaan, terutama dua
tahun terakhir; pandemi covid-19 di seluruh dunia, tindakan pidana rasialisme
di Amerika Serikat, letusan gunung Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT, jatuhnya
pesawat Sriwijaya Air, tanah longsor di Sumedang, gempa di Sulawesi Barat,
banjir di Kalimantan Selatan, korban kudeta junta militer di Myanmar, ledakan
bom bunuh diri di gereja Katedral Makassar, penyerangan Mabes Polri- Jakarta,
banjir di NTT, dan bencana-bencana alam (kemanusiaan) lainnya. Semua bencana
tersebut telah memakan jutaan orang.
Di
tengah bencana, kita tidak bisa bicara banyak. Kita bisa saja menyalahkan
Tuhan, diri sendiri, alam semesta dan keadaan. Kita bisa saja menyalahkan siapa
pun dan apa pun. Di hadapan bencana, siapakah kita? Ingat bahwa manusia dapat
menderita dan dapat pula sembuh dan/atau pulih penderitaannya itu.
Segala
bentuk pencarian kita (kekayaan, popularitas, dan kekuasaan) menjadi mendadak
berhenti, dan sebetulnya tidak berguna lagi. Ternyata kita lahir ke dunia bukan
untuk mengejar kekuasaan, menggaet dan menimbun kekayaan dan menyandang
popularitas. Kekayaan, kekuasaan dan popularitas begitu mudah secepat kilat
menjadi kesia-siaan di hadapan bencana. Kekayaan, kekuasaan dan popularitas
tidak membeli, mengatur dan mengendalikan hukum alam.
Bencana
alam tidak bisa ditawar-tawar, dikalkulasi, atau dikendalikan oleh
ideologi-ideologi ekonomi politik, ajaran/doktrin/dogma agama, atau sistem
teknologi canggih. Alam bekerja dengan kekuatannya sendiri yang mahadasyat,
yang bahkan Tuhan sendiri taat padanya. Alam bekerja dengan hukumnya sendiri,
dari, oleh dan untuk dirinya sendiri.
Pertanyaan di manakah Tuhan selama bencana mendapat jawabannya di sini.
Kalau
Tuhan sendiri pencipta alam semesta taat pada hukum alam, siapakah/apakah
gerangan manusia, ciptaanNya, yang suka menggerus, merusak, dan mengendalikan
alam ini? Alih-alih mengendalikan alam, manusia justru terjebak dalam lingkaran
hukum alam yang pasti dan tidak dapat ditawar-tawar.
Selama
sepanjang sejarah manusia, manusia hendaknya belajar mengikuti dan beradaptasi
dengan hukum alam, tidak berarti taat buta dan tidak melakukan apa-apa terhadapnya.
Sepanjang sejarah, manusia mencari keselamatan dan kebebasan dirinya dengan
mengendalikan dan menaklukkan alam semesta, sesuatu yang tidak tepat bagi alam
sendiri.
Alam
semesta lebih tua daripada manusia. Bagaimana dan sejauh mana alam telah
memakan korban manusia, kita tidak perlu mencari dan menganalisis lebih jauh
sejarah peradaban manusia, dan bagaimana manusia ditaklukkan alam—bahkan
mati sia-sia.
Misi Manusia: Menyelamatkan
Manusia
Apa
yang mesti kita cari dan menjadi keutamaan dalam hidup kita—terutama
ketika bencana menimpa kita? Di hadapan bencana kemanusiaan, kita tidak mencari
kekuasaan, menghitung-hitung harta kekayaan, dan seberapa besar pengaruh/popularitasnya.
Kita
tidak menginginkan, mengharapkan, merindukan dan membutuhkan yang lebih selain
keselamatannya. Di tengah bencana kemanusiaan kita tidak lagi menanyakan latar
belakang suku, agama, ras, golongan, kelamin, pengaruh kekuasaan, kekayaan, dan
popularitasnya. Kita hanya mengharapkan dan memperjuangkan agar manusia
selamat, bukan kekuasaan, harta dan popularitasnya.
Di
tengah bencana kemanusiaan, kita tidak lagi mempersoalkan identitas. Kita tidak
mempersoalkan "orang kami", "orang asing", "agama
kami", "agama mereka", " Tuhan kami", " Tuhan
Mereka"! Kita tidak boleh tanya latar belakang suku, agama dan ras! Agama
kita ialah kemanusiaan universal. Ketuhanan kita ialah perikemanusiaan!
Identitas dasariah kita ialah kemanusiaan kita! Semua kita menjadi kita semua.
Bila
kita sanggup selamatkan manusia, kita pun telah selamatkan suku, agama dan
rasnya, termasuk kekuasaan, kekayaan dan popularitasnya. Akan tetapi bukan
karena kita melihat kekayaan, kekuasaan dan popularitasnya, kita selamatkan korban
bencana.
Kita
selamatkan korban bencana, karena kita seperti korban bencana dapat menderita
dan mengalami bencana. Kita selamatkan korban bencana, karena korban bencana
seperti kita dapat sembuh dan pulih dari bencana kemanusiaan korban bencana.
Kita
saksikan penderitaan para korban bencana dengan mata yang mendengarkan, mulut
yang diam, hati yang merasakan, dan aksi nyata. Di hadapan korban bencana,
bukan hanya hati yang merasakan, mata yang mendengarkan, mulut yang diam, aku
yang memotret penderitaan kamu, atau aksi yang bekerja, melainkan perkataan
kasih "Aku selalu bersamamu di sini".
Tidak
semua penderitaan yang dialami para korban bencana dapat dinyatakan lewat raut
wajah korban bencana. Wajah, apa dan bagaimana pun ekspresi dukanya yang dalam,
hanya menampilkan kulit luar dari penderitaan yang terdalam, yang tak
terjangkau oleh bahasa, isyarat, dan bahasa tubuh. Tidak semua penderitaan yang
terdalam para korban bencana dapat dipotret dengan kamera, kemudian dibagikan
ke media sosial dengan caption-nya yang sangat tawar.
Memotret
mereka yang menderita dan mereprodruksi gambar mereka, kata Hardiman (2010:
xxxi-xxxii), adalah memperlakukan sebagai objek di antara objek-objek lain
dalam dunia teknis. Ada suatu dilema setelah media massa menampilkan
foto-foto mereka; di satu pihak foto memungkinkan ekstensi dan multiplikasi
penglihatan, sehingga kita tahu bencana kemanusiaan tanpa turun langsung ke
lapangan.
Akan
tetapi di lain pihak, kata Hardiman, tatapan fotografis merupakan hasil
inspeksi mata yang mengobjektifikasi wajah korban sebagai objek, seolah-olah
penderitaan dapat dipresentasikan. Sebagai objek, lanjut Hardiman, berarti juga
di dalam modernitas kapitalis-konsumeristis ini dapat dinikmati dan dikonsumsi.
Di sinilah misteri penderitaan tiba-tiba menjelma menjadi informasi yang dapat
dipotret, dipresentasikan, dinikmati, dijual, dan dikonsumsi.
Ketika
foto-foto penderitaan korban bencana dijual beli dan dikonsumsi tanpa
pertimbangan nilai luhur kemanusiaan di dunia pasar, penderitaan korban itu
seolah-olah menjadi peristiwa biasa-biasa saja.
Memotret
korban bencana, menurut Hardiman, mengungkapkan kenyataan ambivalen antara
"menolong korban" lewat meneruskan penglihatan dan
"mengintip" penderitaan orang lain. Padahal penderitaan para korban
tidak untuk diintip, dipotret, dipresentasikan atau dijual, melainkan melampaui
semua itu, yakni ada bersama korban bencana, mencari jalan keluar, menyembuhkan
dan memulihkan korban bencana.
Kita
hadir bukan untuk memotret penderitaannya sebab yang kita potret hanyalah kulit
luar dari penderitaan yang terdalam dan tak terjangkau itu. Kita ada bersama
dengan korban bencana, sambil melihat dengan mata yang mendengarkan dan
kehadiran yang penuh.
Kita
mendengarkan korban bencana, bukan sebaliknya. Sebab dalam kegiatan
mendengarkan itu, kita sedang mendengarkan penderitaannya sendiri yang
berbicara dan berkisah. Ketika kita sanggup mendengarkan penderitaan korban
bencana, meski hanya sebagian kulit luarnya, kita sedang mendengarkan,
menyembuhkan dan membebaskan kemanusiaannya.
Bencana
dapat menimpa manusia, tapi manusia pun tetap dapat bebas dari bencana itu.
Bencana akan berlalu, tapi kemanusiaan kita tidak boleh berlalu, dan justru
semakin dipertegas dan diperjuangkan! Manusia dapat menderita karena bencana,
tapi kemanusiaan kita jangan!
Marilah
kita mendengarkan para korban bencana berbicara, sebab bukan korban bencana
sendiri yang berbicara, melainkan penderitaanya yang ada tersembunyilah yang berbicara!
Artikel ini pernah terbit di Pos Kupang edisi Jumat 09 April 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Bencanakah Kemanusiaan Kita?"