Ke Manakah Kita?
|
Ke mana adalah pertanyaan
pengharapan akan pembebasan, jawaban terakhir yang sungguh-sungguh letih dan
kerinduan yang tak pernah sampai. Ke mana, entah ke mana dan di mana nantinya,
tapi jangan lagi aku berada di sini. Aku tak lagi bisa bertahan di sini. Aku
ingin bebas di dunia yang mahaluas, di mana aku tak lekas luluh lantak dalam
kobaran pandemi covid-19 yang tak terkendali lagi. Pandemi covid-19 bergerak
begitu cepat di luar kendali manusia, dan mengembangbiakkan dirinya sendiri
dalam arena tubuh manusia hingga tak kenal lagi garis keturunannya sendiri.
Pandemi covid-19 seumpama parasit obligat, tapi bukan berarti ia adalah parasit
obligat. Pandemi covid-19 menyentuh dan membinasakan siapa saja.
Penderitaan Kita
Dunia sedang dilanda
kemalangan, keburukan dan kegelisahan tiada taranya akibat pelbagai bencana
yang bergerak cepat di luar kendali kita. Kita mengklaim diri sebagai subjek
yang otonom, kritis autokritik, dan progresif, malah begitu mudah dikendalikan
oleh bencana pandemi covid-19. Pandemi covid-19 tidak hanya mengentak tubuh
biologis kita, tetapi juga seluruh proyek kemanusiaan kita, termasuk refleksi
kita tentang Tuhan. Kita harus mengambil jarak kritis, berkontemplasi dan
memulai suatu perjalanan baru. Perjalanan baru itu diharapkan dapat membebaskan
dan memerdekakan, di mana kita dapat menemukan kembali diri, proyek kemanusiaan
dan kerinduan kita akan “ada bersama” dengan yang lain dalam keberlainan. “Ada
bersama yang lain” mengandaikan adanya dialog interaktif, rekognitif, dan
intersubjektif transformasional, terutama ketika kemalangan, keburukan dan
kegelisahan datang silih berganti.
Ketika kita ditimpa kemalangan, keburukan dan
kegelisahan, kita serentak bertanya, ke manakah kita? Mengapa kita dapat menderita?
Mengapa harus kita, dan bukan mereka? Mengapa penderitaan harus terjadi
sekarang, bukan di saat kita benar-benar sudah siap segala sesuatu? Penderitaan
datang, justru ketika kita sama sekali tidak siap apa-apa. Sebab jika
penderitaan datang setelah kita sudah siapkan segala sesuatu, itu bukan lagi
penderitaan. Penderitaan tidak dapat menyangkal dirinya, dan tidak pula peduli
dengan siapapun yang menjadi targetnya. Penderitaan bisa saja memakan korban,
agar ia dapat hidup untuk dirinya sendiri. Makin banyak korban yang dimakan
oleh penderitaan, makin penderitaan hidup dan berkembang biak dalam dirinya
sendiri. Bila penderitaan datang pada saat kita sama sekali tidak siap apa-apa,
maka bagaimana kita dapat menyikapi dan menyumbat penderitaan itu?
Sapardi Djoko Damono
(2017:11) menulis, “lalu ke mana lagi
percakapan kita (desah jam menggigilkan ruangan, kata-kata yang sudah
dikosongkan. Semakin hijau pohonan di luar sehabis hujan semalaman; semakin
merah bunga-bunga ros di bawah jendela; dan kabut dan kabut yang selalu membuat
kita lupa) sehabis hujan, sewaktu masing-masing mencoba mengingat-ingat nama,
jam semakin putih tik-toknya.” Pandemi covid-19 begitu ngeri, hingga kita
tidak lagi dapat bercakap-cakap dan bersenda gurau seperti sediakala. Pandemi
covid-19 begitu ganas, sampai kita menggigilkan diri, dan orang lain di ruang
yang sama tiap hari. Pandemi covid-19 begitu buas, tapi ia pun telah
menghijaukan kembali pepohonan dan dedaunan bunga di luar; membirukan kembali
langit; dan menyegarkan kembali udara yang sekian lama menyesakkan dada—dan
memusnahkan makhluk hidup. Pandemi covid-19 menciptakan situasi paradoksal baru
bagi kehidupan. Akan tetapi, tragisnya di tengah pandemi ini, kita bisa saja
lupa siapakah kita, dan apa saja yang telah kita lakukan? Kita pun mencoba
mengingat-ingat nama-nama mereka yang menjadi korban target pandemi covid-19
yang tangkas ini.
Akan tetapi, perjalanan kita
tidak berhenti, tatkala pandemi covid-19 membajak kehidupan kita. Makin kita
menua dan berani mengalir kritis, makin kita bijaksana, dialogal, komunikatif,
dan abadi. Karena kita makhluk dialogal, kita bertanya terus menerus, dan
bahkan jawaban adalah pertanyaan baru. Kita mengungkapkan keberanian untuk
melampaui pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban. Dengan bertanya, kita
membebaskan diri dari belenggu bencana, penderitaan dan penderitaan kita.
Bahkan hanya dengan bertanya, kita merasa bebas dan merdeka, sebab pertanyaan in se adalah kebebasan. Namun kegiatan
ini berlaku hanya pada kita sendiri sebagai subjek, dan karena itu kita wajib
melibatkan orang lain. Keterlibatan orang lain mengandaikan terbukanya ruang
pengakuan, dialog, komunikasi dan refleksi kritis di dalamya, sehingga orang
lain pun akan merasa “ada bersama kita”. Hanya dengan perasaan dan kegiatan
“ada bersama kita”, subjek-subjek lain yang juga menjadi korban target pandemi
covid-19 merasa bebas, dihargai dan diakui.
Pertanyaan “ke manakah” bisa
saja berarti kita ingin menghindari persoalan-persoalan yang tak lagi
terselesaikan di sini-kini, dan mencari tempat aman di luar sana. Pertanyaan
“Ke manakah” bisa jadi menggambarkan pengharapan kita akan kemerdekaan di luar
sana, sehingga kita terpaksa dan terburu-buru melarikan diri dari dunia yang
sedang berjalan dengan hukum-hukumnya sendiri ini. Alih-alih berlari dan/atau
menghindarkan diri dari serangan pandemi covid-19 ini, kita pun jatuh diimpit
tangga. Kita pun dihadapkan pada pengalaman kelaparan, kemiskinan, penindasan,
pengisapan, pembisuan, eksploitasi, perkosaan, dan bahkan kematian tanp tenaga,
tanpa tangisan panjang. Kita seolah-olah tidak saja dapat penderitaan, tetapi
harus penderitaan di sini-kini, bukan nanti.
Habis Pandemi, Terbitlah Kebebasan
Penderitaan, bila dihadapi
dengan tegar dan penuh makna, akan menjadi kunci menuju pembebasan diri.
Barangsiapa berhadapan dan/ atau mengalami penderitaan. tidak akan yakin bahwa
kita adalah tuan atas diri kita sendiri. Kita seolah-olah ditempatkan di dalam conditio humana yang sama sekali kita
tidak kehendaki. Proyek hidup kita berjalan pelan, macet dan cacat (Mängelwesen a la Arnold Geflen). Kita
harus mengambil jarak (pen-jarak-an) dengan diri kita sendiri, dan bergiat di
antara apa yang sedang terjadi dan apa yang harus terjadi atas hidup kita. Di
sana kita tidak mampu menjadi pribadi kita sendiri, namun terperangkap dalam
penderitaan, yang bukan kita sendiri ciptakan, melainkan dari luar sana, entah
dari mana, yang menyebabkan kita akan dikemanakan entah oleh siapa atau apa.
Lalu, jika bukan kita yang ciptakan penderitaan ini, apakah kita harus
menolaknya? Bila kita menolak penderitaan, bukankah jejak-jejak penderitaan itu
tetap aktif bergiat dan berbicara atas sejarah hidup kita?
Penderitaan cepat berubah
dan ia tidak pernah salah, sebab ia bekerja untuk dirinya sendiri. Penderitaan
tidak dapat memahami dan memaknai dirinya, meskipun ia telah memakan banyak
korban. Kita pun berubah, dialogal, progresif, transformatif dan dinamis. Kita
lebih tua dan berkuasa atas penderitaan itu. Meskipun semua jalan yang kita
tempuh senantiasa mengarahkan kita kembali ke dalam perangkap penderitaan, tapi
kita dapat sembuh dan bebas dari penderitaan itu. Siapa yang tidak pernah
penderitaan, terderita dan membuat orang lain penderitaan? Kita bukan saja
sebagai subjek dan objek atas penderitaan, tetapi juga predikat. Penderitaan
seumpama rahmat, seketika ia muncul dan menyentuh seluruh kehidupan kita, kita
hanya menangkap gejala-gejalanya. Rahmat ada di mana penderitaan ada dan kalah.
Rahmat dan penderitaan itu selalu bersaing dan bertempur merebut kita, tapi
kita-lah yang dapat menjelaskan perbedaan dan batas wilayah kekuasaannya
masing-masing. Seperti api yang memurnikan emas dan meningkatkan nilainya, kita
meruncing dan mempertajam rahmat itu dengan memaknai penderitaan.
Kita tahu bahwa ada banyak
hal dalam hidup tidak bisa diselesaikan dengan motivasi, nasihat, khotbah dan
permenu gan, namun kita harus turut merasakan dan mengalaminya. Orang yang menderita mau dipahami, bukan dikhotbakan, dinasehati, dan apalagi dimarahi.
Orang yang menderita membutuhkan mata yang mendengarkan, mulut yang bisu, dan
telinga yang peka. Orang yang penderitaan sangat mengharapkan compassion dari sesama di sekitarnya.
Itulah kita: kita, makhluk rasional, yang dapat menyutradarai dan mengendalikan
sejarah hidup kita, tetapi juga kita harus dapat mengalami penderitaan.
Mengalami penderitaan berarti memaknai penderitaan. Sementara memaknai
penderitaan berarti membiarkan penderitaan berbicara apa adanya atas diri kita,
dan tugas kita ialah menyembuhkan dan membebaskan diri dari penderitaan itu,
sambil mengantisipasi penderitaan-penderitaan dari masa depan.
Penderitaan menyentuh
misteri kehidupan kita, yang tidak terjangkau oleh akal budi dan perasaan kita.
Misteri penderitaan tidak dapat diinderai oleh pancaindera kita. Misteri
penderitaan bersentuhan dengan batin, unsur dasariah kita. Ketika kita atau
siapapun menderita, kita tidak hanya membutuhkan indera orang lain yang
terlibat, melainkan kesadaran akan “aku ada di sini untukmu”. “Aku ada di sini
untukmu” mengandaikan ketiadaan jarak dan batas antara mereka yang menderita
dan kita yang menyembuhkan. Sebab bila hanya pancaindera yang terlibat, maka di
sana yang ada hanyalah penginderaan yang kosong.
Ketika kita berjumpa dengan
wajah orang yang menderita, kita tidak boleh memotret dan mencetak
gambar-gambar wajah mereka. Actus memotret,
mengedit, mencetak dan mempublikan wajah-wajah yang menderita ke ruang publik
adalah kejahatan terbesar, sebab kita melihat mereka hanya sebagai objek, yang
layak dikalkulasi dan diakumulasi secara ekonomis (F. Budi Hardiman 2010:
xxxi-xxxii). Bila kamera canggih kita menangkap wajah penderitaan mereka,
sesungguhnya kita sedang mereduksi kemisterian dan memproduksi penderitaan-penderitaan
baru atas hidup mereka. Memotret orang yang menderita adalah sumber kekejian
dan kejahatan, di mana kata-kata, makna penderitaan dan keluhuran manusia
kehilangan dayanya sama sekali. Adakalanya orang yang menderita berkata-kata,
tapi sebenarnya hampa. Adakalanya mereka tidak berkata-kata, namun
sesungguhnya sedang memeram misteri kehidupan. Orang yang menderita pandai
menyembunyikan misteri kehidupan, dan kita mesti menangkap misteri kehidupan
dengan “ada bersama”, mendengarkan, mengakui, dan membebaskan mereka.
Penyembuhan adalah tempat
lahirnya kebebasan eksistensial manusia. Akan tetapi di sana rawan terjadi
preversi, justru ketika orang yang menderita menghindar dari penyembuhan itu
dan menjebloskan diri ke dalam perangkap penderitaan. Artinya, ketika manusia
benar-benar sedang menderita, ia tidak boleh menipu diri dan menegaskan
baik-baik saja. Manusia tidak boleh memanipulasi pengalaman penderitaan-nya
yang riil. Jika manusia mau menemukan makna dari pengalaman penderitaannya itu,
ia harus membuka diri, dan mengakui orang lain, yang sedang membebaskan dan
memerdekakannya.
Manusia tidak hanya
membutuhkan sandang, pangan dan papan, tetapi juga makna, yaitu makna atas,
oleh dan untuk hidup, yang mesti ia temukan dan alami dalam hidupnya. Manusia
membutuhkan tantangan, penderitaan, dan tegangan-tegangan, agar ia hidup dan
regeneratif. Penderitaan adalah duri kehidupan, dan di dalamnya kita menemukan
dan merekontruksi makna kehidupan kita. Sehingga pertanyaan “Ke manakah kita”
mendapat tempat jawabannya, dan jawaban memberikan kehidupan baru bagi kita!
Post a Comment for "Ke Manakah Kita?"