Pandemi, Terorisme dan Kemanusiaan Kita
|
Pandemi
covid-19 berhasil mendaruratkan dunia sepanjang 2020 dan paruh 2021 ini. Covid-19
menyerang hampir seluruh sektor kehidupan manusia; ekonomi, politik, agama,
pendidikan, kebudayaan, dan sistem ide masyarakat dunia. Alih-alih menghindar,
mengantisipasi dan menghentikan serangan misterius covid-19, masyarakat dunia
justru dilabrak oleh kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang membelenggu dan
menghancurkan kemanusiaan universal.
Pada
2020 tindak kejahatan rasial aktif dioperasikan secara terbuka di Amerika Serikat. Waktu itu George Floyd
dibunuh dan mendapat serangan balik dari massa Afro-Amerika. Rabu 03 Maret
2021, Ma Kyal Sin, gadis berusia 19 tahun gugur setelah tertembak di kepala
oleh polisi Myanmar, di jalanan kota Mandalay, karena menolak pemerintahan
junta militer dan mendukung pemerintahan sipil yang dipilihnya secara
demokratis pada 8 November 2020.
Indonesia Selama
Pandemi Covid-19
Akhir-akhir
ini ruang publik Indonesia dan masyarakat dunia dikejutkan oleh bom bunuh diri
di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada minggu
(28/3/2021). Bom bunuh diri tersebut melukai sekitar 14 orang dan dua pelaku
meninggal di tempat. Dalam waktu yang relatif singkat, seorang wanita bernama
Zakiah Aini (26) melakukan teror di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia
Jakarta. Rentetan aksi teror tersebut didugai bagian dari aksi terorisme.
Di
tengah pandemi, aksi-aksi kejahatan seperti gerakan terorisme tak menyusut. Berdasarkan
laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BPNT), sepanjang tahun 2020
Polri telah melakukan pencegahan aksi-aksi terorisme di beberapa wilayah dengan
menangkap sebanyak 228 tersangka teroris. BPNT belum melaporkan hasil temuan
atau tangkapan kasus tersangka teroris selama tahun 2021 ini, tapi gerakan
terorisme tetap potensial.
Kejahatan
selalu ada dan berpotensi menuju aktualitasnya di sekitar kita. Bila kita rajin
membaca koran dan/ atau media berita apa saja, kita pun akan kaget dan risau
dengan rentetan berita kejahatan kemanusiaan, seperti bisnis ekonomi penjualan
manusia secara ilegal, eksploitasi seksual, privatisasi ruang publik,
perampasan tanah para tani, penggusuran lahan pertanian dan penggundulan hutan
hujan, pembuangan limbah industri, penambangan ilegal, bunuh diri, dan
kekerasan seksual.
Praktik
kejahatan kemanusiaan tersebut di atas terus dilakukan dan selalu luput dari
perhatian publik. Atau pun disaksikan, namun tidak bisa angkat bicara karena
tidak punya modal, dan karena itu dibisukan secara murah.
Tindak
kejahatan kemanusiaan tidak sedikit dan secara potensial dipraktikkan secara
rahasia oleh kelompok-kelompok rahasia di tempat-tempat rahasia—tidak sedikit
terjadi di ruang publik. Ketika praktik
kejahatan kemanusiaan terus dilakukan, dan media pun rutin memberitakannya,
maka tidak sedikit orang memandang kejahatan kemanusiaan sebagai sesuatu yang
banal dan seolah-olah menjadi lazim.
Teror (isme): Tipe Masyarakat
Risiko
Pada
abad ke-21 ini perang senjata nuklir mungkin tidak terjadi lagi, namun
motif-motif kejahatan kemanusiaan lainnya selalu mungkin, dan seolah-olah harus
terjadi. Terorisme adalah kejahatan termutakhir abad ini, selain
kejahatan-kejahatan lainnya. Terorisme identik dengan bom bunuh diri, sebab
pelaku bom bunuh diri meneror dan menebarkan ketakutan kepada masyarakat publik
dengan meledakkan bom bunuh diri.
Tidak
sedikit orang memutuskan untuk bergabung ke dalam gerakan-gerakan kejahatan
(termasuk terorisme), karena didorong oleh rasa panik, dilema, frustrasi akut,
kelaparan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial-ekonomi yang dialami selama pandemi
ini. Jaringan-jaringan kejahatan menjadi tempat pelarian dan seolah-olah
menjadi jalan keluar satu-satunya dari permasalahan hidup. Permasalahan
psikologis dan ketimpangan sosial-ekonomi menimbulkan begitu banyak risiko yang
membelenggu dan mematikan.
Terorisme
adalah proyek ekonomi politik dan agama digunakan sebagai alat justifikasi.
Terorisme sengaja diciptakan oleh kelompok bermodal besar dan elite pragmatis. Kaum
bermodal memproduksi risiko-risiko besar pada wilayah-wilayah tertentu, dan
pada saat yang sama mereka mempekenalkan parameter-parameter risiko baru yang
sebagian besar, atau sama sekali, tidak dikenal pada era-era sebelumnya
(Anthony Giddens, 1991:3-4).
Abad
ini segala jenis kejahatan, menurut saya, memuncak ke publik dan menghancurkan
tidak sedikit orang, karena didorong oleh persaingan pasar bebas—pemberhalaan
komoditas. Bom bunuh diri adalah satu-satunya tekad terakhir yang kepadanya
orang-orang lemah dan orang-orang super kaya juga dapat menjadi korban. Pelaku
bom bunuh diri dengan tekad menghancurkan dan mengakhiri kehidupannya sendiri
dan orang lain tanpa rasa bersalah, karena tidak ada jalan lain baginya untuk
bertahan hidup di tengah persaingan hidup (pasar) yang keras dan perdagangan
kompetitif.
Kaum
bermodal dapat membeli keselamatan dan bebas dari risiko (Ulrich Beck,
1992:35), sedangkan kaum miskin, marjinal dan terpinggirkan digunakan sebagai
alat untuk mencapai keselamatan dan kebebasan oleh kaum bermodal. Kaum bermodal
menggaet keuntungan dari risiko yang mereka sendiri ciptakan lewat nyawa
orang-orang tak berdaya dengan menciptakan dan menjual teknologi-teknologi
canggih untuk mendeteksi gerakan kejahatan (terorisme). Atau kaum bermodal akan
membayar, menawarkan dan menjual jasa para ahli (yang harus dibayar mahal oleh
negara atau pihak korban risiko yang diciptakan oleh kaum bermodal) untuk
mengamati, meneliti, menangani dan mewaspadai risiko-risiko lebih besar pada
masa depan.
Akal
sehat pelaku bom bunuh diri dicuci oleh kaum bermodal untuk menggaet kepentingan-kepentingan
ekonomi pasar semata. Agama digunakan oleh pengajar agama yang bermodal besar
untuk meloloskan dan melegitimasi gerakan-gerakan kejahatan, meskipun dengan
mendayagunakan orang-orang lemah, kaum miskin dan para penganggur. Hal ini
selaras dengan kerinduan terbesar manusia di dunia, ketika dunia kini saat ini
tidak lagi memberikan dan menjamin kebahagiaan dan keadilan, tidak sedikit
orang mendambakan kebahagian dan keadilan di dunia akhirat.
Di
tengah kondisi pandemi ini, potensi kejahatan dalam diri manusia dinyatakan
keluar oleh orang-orang yang tidak lagi memiliki pengharapan, rasa kemanusiaan,
ketuhanan, integritas, dialektika diri, dan keadilan universal. Kejahatan
menjadi aktualitas yang destruktif timbul dari dalam diri orang-orang yang
kehilangan harapan akan kebahagiaan, ataupun pijar-pijar harapan ada, namun
tidak diperjuangkan keluar.
Pijar-pijar
harapan itu kemudian dicuci (cuci otak) dan diakumulasi oleh kelompok pemilik
modal demi kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga meskipun mereka memiliki
harapan, harapan itu melampaui realitas fisis di dunia ini. Orang-orang itu
dicuci otak dan pengharapannya oleh pemilik modal dengan janji-janji
kebahagiaan pasca kematian. Artinya mereka harus mati dulu, meskipun dengan
cara tragis (meledakkan bom dunuh diri dan meneror), agar bisa merasakan
kebahagiaan abadi di surga sebagaimana yang diajarkan dalam agama-agama.
Meluhurkan Kemanusiaan
Di
tengah pandemi ini, gerakan untuk menghormati, mengakui dan mengembangkan
spirit kemanusiaan universal mesti mendapat perhatian pemerintah, aparat negara
dan negara. Negara menjamin dan turut mengambil bagian di dalamnya demi
terciptanya keadilan sosial, keluhuran kemanusiaan dan peradaban negara lebih
maju.
Negara
mencegah dan mewapadai segala bentuk kejahatan atas nama agama atau apapun.
Semua agama memang melarang dan mengutuk segala aksi kejahatan (terorisme),
namun tidak menutup kemungkinan agama digunakan sebagai alat justifikasi segala
bentuk kejahatan oleh kelompok tertentu.
Kita
tentu ingat perkataan Mahatma Gandhi: “Saya seorang nasionalis, tetapi
kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.” Dalam konteks pluralitas keyakinan,
kebudayaan, dan agama di Indonesia, kita dapat berkata: “Kita semua
berketuhanan, tetapi agama kita adalah kemanusiaan”. Atau dapat dirumuskan
secara terbalik; kemanusiaan adalah agama kita. Kita tidak punya pilihan selain
menerima, mengakui dan menghormati kemanusian universal.
Perikemanusiaan
adalah keutamaan kita, selebihnya hanya sebagai pelengkap. Diskursus tentang
rancangan kebijakan ekonomi politik, pendidikan, kebudayan dan keagamaan mesti
bersumber dari, oleh dan untuk kemanusiaan universal. Ketuhanan dan kemanusiaan
saling mengandaikan. Perikemanusiaan tidak dapat bertumbuh subur dan menjadi
keutamaan dalam hidup manusia Indonesia, kalau ketuhanan tidak berurat akar
dalam diri manusia Indonesia. Ketuhanan tidak akan berurat akar, kalau manusia
Indonesia tidak menanam dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dengan
kesadaran akan kemanusiaan universal (sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab), semakin jelaslah bahwa Pancasila yang terus
diagung-agungkan, digaungkan dan diperjuangkan oleh negara Indonesia menjadi aktual
dan tepat sasar. Pancasila akan merangkum, mengatur, dan mengendalikan segala
bentuk ekspresi keanekaragaman ideologis, baik ideologi yang berdimensi membela
dan meluhurkan kemanusiaan universal maupun ideologi radikal yang menghancurkan
dan memusnahkan manusia.
Sebagai
manusia Indonesia, kita harus berani menghentikan gerakan-gerakan kejahatan
(terorisme) dan jaringan-jaringannya sampai ke akar-akarnya dengan melihat
pluralitas agama, keyakinan, kebudayaan dan etnisitas sebagai kearifan
Indonesia. Kita harus memuliakan dan meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan
universal. Prinsip kemanusiaan universal senantiasa dialektis dan komunikatif
berdaya transformatif. Jadi tidak boleh ada kesenjangan antara kaum bermodal
besar dan kaum miskin; antara pemimpin agama dan umat; antara pemimpin dan yang
dipimpin.
Prinsip-prinsip
kemanusiaan dialektis dan komunikatif, justru ketika kita melihat manusia lain
dengan latar belakang yang berbeda sebagai sesama. Di dalam diri setiap manusia
Indonesia, ada nilai-nilai luhur dan keutamaan yang mesti dimuliakan dan
diluhurkan yakni kemanusiaan. Dalam kesadaran akan kemanusiaan universal, tak
kurang sedikit pun ciri kemanusiaan dan hakikat manusia kita menemukan
nila-nilai terluhurnya.
Perikemanusiaan begitu luhur. Kegagalan mencapai dan tinggal di dalam nilai-nilai kemanusiaan universal serta tidak mampu memperjuangkannya begitu merisaukan, dan akhirnya mematikan. Dan kasihan sekali manusia Indonesia yang tidak memiliki kesadaran akan kemanusiaan universal.
*Artikel ini pernah
terbit di NTT Progresif edisi 13 April 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Pandemi, Terorisme dan Kemanusiaan Kita"