Habis Bencana, Berpijarkah Kemanusiaan Perempuan? (Tinjaun Kritis Ideologi Pancasila Terhadap Fenomena Perdagangan Perempuan)
|
Email: Melki_deni@yahoo.com
Abstrak: Artikel ini menggambarkan dan menganalisis tindak kejahatan perdagangan
perempuan di Indonesia akhir-akhir ini, terutama di tengah cengkeraman pandemi
covid-19 ini. Pandemi covid-19 merupakan akar bencana kemanusiaan universal,
terutama perempuan sejak awal 2020 sampai paruh 2021 ini. Di tengah bencana
kemanusiaan ini, perempuan rawan dijadikan sebagai alat produksi atau komoditas
mutakhir pasar bebas. Perempuan diperdagangkan oleh kaum kapitalis sesuai hukum
pasar bebas. Hal ini seolah-olah mendapat justifikasi dengan watak kaum
kapitalis untuk mengapitalisasi dan mengakumulasi perempuan sebagai komoditas.
Melihat segala sesuatu, termasuk perempuan, sebagai komoditas mengantar kaum
kapitalis ke dalam perangkap penyakit pemberhalaan komoditas. Perjuangan
melawan dan menghentikan kejahatan peradangan perempuan mutlak harus dimulai
dengan melampaui watak pasar bebas dalam masyarakat, dan membangun kesadaran
akan perikemanusiaan yang adil dan beradab.
Kata Kunci: Pandemi Covid-19, Bencana Kemanusiaan, Perempuan, Pemberhalaan Komoditas,
Demokrasi Pancasila dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
1. PENDAHULUAN
Meskipun seringkali kurang disadari oleh
banyak peneliti dan ilmuwan, pasar bebas dan perdagangan perempuan telah
menjadi sindrom global yang merusak, menghancurkan dan terus membayang-bayangi
keberadaan perempuan global. Sejak awal, secara esensial kedua sindrom ini
tampak berbeda jauh, namun ternyata saling bertautan dalam realitas. Perempuan
adalah makhluk luhur dan paradoksal secara filosofis, namun kini menjadi
komoditas mutakhir dalam dunia pasar bebas. Inilah bencana besar yang berskala
masif bagi kaum perempuan, terutama di tengah cengkeraman pandemi covid-19 ini.
Tulisan ini merupakan daya upaya penulis
untuk mengelaborasi dan menganilisis problematik pasar bebas dan perempuan.
Dalam analisis ini, penulis berfokus pada kasus yang terjadi di Indonesia,
terutama yang sempat diberitakan oleh media sosial akhir-akhir ini. Indonesia
merupakan negara yang berhaluan Demokrasi Pancasila. Indonesia sangat menolak
dan menentang segala bentuk perbudakan, penindasan, pengisapan, eksploitasi
(seksual) dan perdagangan manusia. Indonesia menjunjung tinggi perikemanusiaan
(perempuan) yang adil dan beradab sebagaimana yang terdapat dalam sila ke-2
Pancasila.
Berangkat dari fakta globalisasi kejahatan
perdagangan perempuan akhir-akhir ini, dalam tulisan ini, tesis dasar yang
ingin diangkat oleh penulis ialah bahwa perempuan, kendati dengan tingkat kasus
kejahatan yang berbeda, diperdagangkan oleh
kaum kapitalis yang berhala pada komoditas. Dengan demikian, kasus kejahatan
perdagangan perempuan di pasar ekonomi merupakan konsekuensi logis dari
pemberhalaan komoditas, desakan imperatif-imperatif pasar dan persaingan
perdagangan. Kemudian tesis dasar ini berdampak pada tesis berikutnya yakni
bahwa perjuangan melawan dan menghentikan kejahatan perdagangan perempuan mutlak
harus dimulai dengan melampaui watak pasar bebas dalam masyarakat, dan
membangun kesadaran akan perikemanusiaan yang adil dan beradab.
2.
BENCANA KEMANUSIAAN
PEREMPUAN: KONSEKUENSI LOGIS PEMBERHALAAN KOMODITAS
2.1
Sekelumit Perjuangan
Perempuan di Indonesia
Selama pandemi covid-19, Komnas Perempuan
menampilkan data laporan kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019 sebanyak
299.911 kasus. Akan tetapi, pengaduan langsung pada 2020 meningkat 40 persen
menjadi 2.389 kasus dibandingkan tahun 2019 (1.419). Sementara pada 2019,
Komnas Perempuan menampilkan data laporan kasus kekerasan terhadap perempuan
sebanyak 431.471 kasus, naik 6 persen dari tahun 2018. Data yang disajikan
dalam Catahu Komnas Perempuan tersebut merupakan kompilasi data kasus dari
peradilan agama, lembaga layanan mitra, serta unit pelayanan dan rujukan.[1]
Perempuan disubordinasi oleh laki-laki (dan
kepentingan-kepentingan tertentu) di segala tempat di dunia sepanjang sejarah
manusia. Sekitar pada tahun 1630-an analisis, diskusi dan tulisan-tulisan
aktivis perempuan mulai beredar.[2]
Tulisan-tulisan mereka dirampas, dicaplok, dipinggirkan, disisihkan dan bahkan
dibuang dari laporan publik oleh kaum laki-laki yang menghendaki segala bentuk
organisasi sosial, pendidikan, ekonomi, keagamaan dan organisasi politik
sebagai basis kekuasaan kaum laki-laki semata. Sejak itu analisis tentang
perempuan sebagai upaya kolektif yang signifikan mulai bertumbuh di kalangan
aktivis perempuan—mereka mulai menyadari, merefleksikan dan memprotes situasi
sosial (penindasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk) pada saat itu.
Di Indonesia sendiri, Kongres Perempuan
Pertama berlangsung di Yogyakarta Pada 22 Desember 1928. Kongres ini diilhami
oleh Soejatin (yang berusia 21 tahun pada waktu itu), yang bekerja sama dengan
Nyi Hadjar Dewantara dan Nyonya RA Soekanto. Kongres Perempuan Pertama ini
dihadiri oleh 600 peserta sebagai perwakilan dari berbagai organisasi perempuan
di Indonesia.[3] Para
aktivis perempuan menghendaki agar semua perempuan bisa bebas untuk mendapatkan
hak-hak politis, ekonomi (Undang-undang pembaruan industrial), identitas
kewarganegaraan, pendidikan dan pengakuan dari semua orang dari berbagai latar
belakang. Akan tetapi perjuangan ini mendapat perlawanan lebih sengit dan kejam
dari kelompok laki-laki. Kaum perempuan seringkali mendapat siksaan lebih kejam
dan bahkan mematikan, tatkala perempuan berusaha melawan, dan memprotes situasi
sosial saat itu.
Perjuangan aktivis perempuan tidak pernah
surut selama beberapa dekade terakhir ini. Aktivis perempuan bergerak,
membentuk organisasi dan memobilisasi besar-besaran massa perempuan di berbagai
tempat guna merebut kembali hak-hak asasi perempuan. Meskipun gerakan aktivis
perempuan mendapat tempat dan cukup berpengaruh pada beberapa tempat di dunia,
namun gerakan-gerakan itu tidak mampu menghentikan secara tuntas tindak
kejahatan terhadap perempuan. Hal ini tampak dalam praktik perdagangan perempuan
untuk menjadi tenaga kerja paksa, pekerja migran, budak seks, atau perempuan
dibunuh oleh organisasi kejahatan internasional guna mendapatkan organ tubuh
perempuan (ginjal dan jantung) dan dijual di pasar-pasar ilegal transnasional.[4]
2.2 Kejahatan Perdagangan Perempuan: Konsekuensi Logis Pemberhalaan
Komoditas
Perempuan diakumulasi secara ekonomis sebagai
komoditas mutakhir sejak beberapa dekade terakhir ini.[5]
Perempuan diperdagangkan sesuai hukum pasar bebas oleh kaum kapitalis baik pada
tingkat lokal, nasional maupun transnasional.[6]
Praktik perdagangan dan perbudakan ini mendapat perhatian dari PBB melalui
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948 yang diinspirasi oleh
Revolusi Amerika Serikat dan Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18. DUHAM
pasal 1, 3 dan 4 secara berturut-turut berbunyi: “1) Semua orang dilahirkan
merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama…3) Setiap orang berhak
atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai pribadi… dan 4) Tidak seorang
pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam
bentuk apapun mesti dilarang.”[7]
Pada 12-15 Desember 2000, PBB mengadakan
konvensi di Palermo, Italia Selatan. Konvensi ini menempatkan masalah
perdagangan manusia sebagai salah satu organisasi kejahatan internasional,
selain kejahatan internasional seperti narkoba, perdagangan senjata ilegal dan
penyelundupan migran.[8]
Selain PBB, lembaga-lembaga seperti UNICEF, UNESCO, ILO dan UNODC juga mengalihkan
perhatian pada persoalan kejahatan perdagangan manusia.[9]
Gerakan-gerakan kemanusiaan organisasi internasional ini mendapat perhatian
organisasi-organisasi dari negara-negara lain. Selama satu dekade terakhir,
organisasi internasional menyepakati banyak hal terutama dalam usaha memerangi,
memberantas, dan menghentikan tindak kejahatan perdagangan manusia.[10]
Namun demikian kaum kapitalis senantiasa
mengikuti dan memperbarui diri sesuai perkembangan zaman. Kaum kapitalis memanfaatkan
teknologi canggih dan ideologi ekonomi politik yang cair (melalui kejahatan
migrasi) guna meloloskan dan melanggengkan praktik perdagangan perempuan secara
ilegal. Perempuan direkrut dari daerah asalnya dan diperdagangkan di pasar-pasar
ilegal regional, nasional dan transnasional. Kemudian perempuan disekap,
diperbudak dan dieksploitasi secara membabi buta di dalam ruang-ruang abstrak.[11]
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat
diperoleh pemahaman bahwa kejahatan perdagangan perempuan merupakan problem
filosofis, sebab seringkali mengabaikan eksistensi perempuan (hak-hak asasi
manusia) dan perikemanusiaannya. Kaum kapitalis hanya sibuk menimbun kapital,
mengeksplorasi wilayah produksi dan mengeksploitasi alat-alat produksi,
termasuk manusia tanpa mempertimbangkan keluruhan manusia. Kaum kapitalis
mengapitalisasi dan mengkalkulasi tenaga kerja sedemikian rupa melalui kerja.[12]
Akibatnya kelas pekerja tidak dapat mewujudkan potensi dirinya. Para pekerja
seolah-olah teralienasi dari dirinya sendiri.[13]
Di dalam kapitalisme, menurut Marx, relasi
sosial yang nyata di antara para pekerja diandaikan secara fantastik di dalam
benda-benda. Benda-benda, produk-produk pekerjaan manusia dan nilai-nilainya
adalah komoditas. Komoditas itu seolah-olah independen dan terpisah dari maksud
penciptanya. Karena komoditas itu independen, maka manusia digiring untuk
menyembahnya, seperti yang dipraktikkan oleh pemeluk agama: membuat patung, dan
kemudian mereka sendiri menyembahnya. Marx menyebut proses itu sebagai
pemberhalaan komoditas.[14]
Komoditas dan pasar bebas telah menjadi candu akut bagi kaum kapitalis. Pasar bebas adalah sensasi makhluk
kapitalis, tempat manusia-manusia tidak punya hati nurani, seperti pasar bebas
tanpa kendali merupakan kredo para kapitalis yang tidak punya kredo keluhuran
kemanusiaan, keutuhan ekologis, demokrasi dan kedaulatan negara. Pasar bebas
itu menjadi candu bagi kaum kapitalis.[15]
Apabila manusia diakumulasi menjadi komoditas
pasar, karena memiliki nilai guna, nilai tukar, nilai lebih, maka tidak ada
lagi ruang bersama, tempat orang-orang berkumpul, bersatu dan memperjuangkan kemanusiaan.
3. DEMOKRASI PANCASILA:
MELUHURKAN KEMANUSIAAN PEREMPUAN DAN MEWARTAKAN KEBIJAKSANAAN
1.1
Perempuan Indonesia Bukan
Komoditas![16]
Di
tengah kondisi pandemi ini, kejahatan terhadap perempuan rawan terjadi. Tindak
kejahatan terhadap perempuan rentan terjadi, tatkala dilanda krisis ekonomi, bencana
alam, pandemi covid-19, kemiskinan, pengangguran, buta huruf, miskin informasi,
stigmatisiasi sosial, dan perceraian. Selain itu seringkali tindak kejahatan
terhadap perempuan terjadi karena ketidakadilan gender, pemiskinan sistemik
(korupsi, kolusi dan nepotisme), budaya patriarkat, dan budaya menyerah pada
nasib, fatalisme dan pesimisme terhadap masa depan. Laporan catatan tahunan
Komnas Perempuan tersebut di atas belum menjangkau seluruh masyarakat
Indonesia. Praktik kejahatan terhadap perempuan masih begitu banyak, dan selalu
luput dari liputan media berita, penelitian para ahli dan mata publik.
Meskipun Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia telah meraih sukses baik secara normatif maupun teoretis,
namun praktik kejahatan kemanusiaan perempuan justru semakin parah. Hal ini
dialami sebagian dari pengalaman pribadi, kelompok dan organisasi perempuan di
dunia. Usaha PBB dalam pembumian prinsip-prinsip HAM pasti selalu berhubungan
erat dengan preferensi-preferensi politik yang berbau pasar bebas. Antara
kebijakan politik dan tindakan politik yang berbau pasar bebas selalu saling
mengandaikan begitu saja dalam praksisnya. Alih-alih demi perlindungan dan
pemenuhan HAM, elite politis dan oligark kapitalis justru meloloskan agenda
kebijakan ekonomi pasar bebasnya. Tumbalnya ialah rakyat kecil, kelompok rentan
dan terutama perempuan.
Cita-cita
bangsa Indonesia bingkai bhineka tunggal ika mendapat ruang gerak dalam
Pancasila. Pengakuan hak-hak asasi manusia yang masih terbatas, secara
konsekuen diperluas, terutama dengan menyadarkan hak-hak asasi sosial dan
kultural, mengungkapkan cita-cita budaya universal,[17]yakni
kemanusiaan. Paradigma kemanusiaan baru ini direalisasikan melalui negara
hukum demokratis, berdasarkan undang-undang yang mengakui cita-cita kemanusiaan
universal.[18]
Untuk konteks Indonesia, kita masih memiliki pijar ideologi politik Indonesia
(Demokrasi Pancasila), hukum normatif dan kebudayaan yang dapat memberi ruang
harapan bagi diskursus tentang kemanusiaan perempuan, dan turut
memperjuangkannya. Dengan melihat kembali substansi Pancasila, terutama sila
ke-2, kita akan disadarkan kembali bahwa perempuan merupakan manusia yang punya
hak asasi seperti manusia pada umumnya, dan karena itu ia bukan komoditas pasar
bebas.
1.2
Pijar Demokrasi
Pancasila: Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kita tentu ingat perkataan Mahatma Gandhi: “Saya
seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.” Kita tidak
punya pilihan selain menerima, mengakui dan menghormati kemanusiaan universal
dengan pluralitas keyakinan, kebudayaan, dan agama. Pluralitas merupakan
realitas kearifan Indonesia. Pengakuan akan pluralitas mengandaikan
penghormatan dan pengakuan terhadap kemanusiaan universal.
Perikemanusiaan adalah keutamaan kita,
selebihnya hanya sebagai pelengkap. Diskursus tentang rancangan kebijakan
ekonomi politik, pendidikan, kebudayan dan keagamaan mesti bersumber dari, oleh
dan untuk kemanusiaan universal. Solidaritas dan kemanusiaan saling
mengandaikan. Perikemanusiaan tidak dapat bertumbuh subur dan menjadi keutamaan
dalam hidup manusia Indonesia, kalau kebutuhan dan kesadaran akan solidaritas tidak
berurat akar dalam diri manusia Indonesia. Solidaritas tidak akan berurat akar,
kalau manusia Indonesia tidak menanam dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan
universal.
Dengan kesadaran akan kemanusiaan universal
(sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), semakin jelaslah
bahwa Pancasila yang terus diagung-agungkan, digaungkan dan diperjuangkan oleh manusia
Indonesia menjadi aktual dan tepat sasar. Sebagai manusia Indonesia, kita harus
berani memberantas dan menghentikan gerakan-gerakan kejahatan perdagangan
perempuan dan jaringan-jaringannya sampai ke akar-akarnya dengan mengakui
perempuan sebagai manusia, bukan sebagai alat produksi ekonomi atau komoditas.
Prinsip kemanusiaan universal senantiasa dialektis dan komunikatif berdaya
transformatif.
Prinsip-prinsip kemanusiaan dialektis dan komunikatif,
justru ketika kita melihat manusia lain (perempuan) dengan latar belakang yang
berbeda sebagai sesama. Di dalam diri setiap perempuan Indonesia, ada
nilai-nilai luhur dan keutamaan yang mesti dimuliakan dan diluhurkan yakni
kemanusiaan. Dalam kesadaran akan kemanusiaan universal, tak kurang sedikit pun
ciri kemanusiaan dan hakikat manusia kita menemukan nila-nilai terluhurnya.
Perikemanusiaan begitu luhur dan mulia.
Kegagalan mencapai dan tinggal di dalam nilai-nilai kemanusiaan universal serta
tidak mampu memperjuangkannya begitu merisaukan, dan akhirnya mematikan. Kesadaran
akan perikemanusiaan dalam diri perempuan Indonesia merupakan pijar filosofis
yang dapat menerangi peradaban dan menghalau tindak kejahatan perdagangan
kemanusiaan. Perempuan akan dilihat sebagai manusia, yang punya hak asasi dan
martabat manusia, yang mesti dilindungi dan diperjuangkan terus menerus. Dan
kasihan sekali manusia Indonesia yang tidak memiliki kesadaran akan kemanusiaan
dalam diri perempuan.
4. PENUTUP
Berdasarkan analisis di atas, berikut penulis
mengafirmasi tesis awal bahwa perempuan, kendati dengan tingkat kasus kejahatan
yang berbeda, diperdagangkan oleh kaum
kapitalis yang berhala pada komoditas. Tindak kejahatan perdagangan perempuan
di pasar ekonomi merupakan konsekuensi logis dari pemberhalaan komoditas,
desakan imperatif-imperatif pasar dan persaingan perdagangan, terutama di
tengah bencana covid-19 ini. Perjuangan melawan dan menghentikan kejahatan
perdagangan perempuan mutlak harus dimulai dengan melampaui watak pasar bebas
dalam masyarakat, dan membangun kesadaran akan perikemanusiaan yang adil dan
beradab.
Negara Indonesia—melalui demokrasi Pancasila,
sistem dan produk hukum yang tidak diskriminatif dan kebijakan dalam konvensi
hak-hak perempuan—berperan penting untuk meningkatkan dan memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan universal terutama terhadap perempuan. Sistem dan produk hukum
mesti berorientasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal, dan
bukan demi kepentingan kaum kapitalis. Negara mesti meningkatkan usaha perlindungan
sosial yang mendemonstrasikan sukses dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak
perempuan dan meningkatkan advokasi publik.
Tindak kejahatan perdagangan perempuan merupakan
antitesis abadi dari Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kesadaran
akan perikemanusiaan dalam diri perempuan Indonesia merupakan pijar filosofis
yang dapat menerangi peradaban dan menghalau tindak kejahatan perdagangan
kemanusiaan. Perempuan adalah manusia dengan segala keluhurannya, dan bukan
komoditas pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Jebadu, Alexander
(Ed.), Manusia Bukan Kambing. Bongkar dan Hentikan Kejahatan Perdagangan
Jual-Beli Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2021).
Magnis-Suseno,
Frans., “Di Senja Zaman Ideologi: Tantangan Kemanusiaan Universal” dalam Drs.
G. Moedjanto MA, Drs. B. Rahmanto, dan Dr. J. Sudarminta SJ (Ed.), Tantangan Kemanusiaan Universal
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. 3, 1993).
Marx, Karl., Capital: A Crtique of Political Economy. Volume One (New
York: International Publishers, 1867/1967).
Marx, Karl., The Class Struggle in France (New York:
International Publishers, 1850/1964).
Rahayu, Ruth Indiah.,
“Membawa Tubuh Perempuan ke Pasar ‘Tuhan’”, dalam Ruth Indiah Rahayu
et al., Tuhan, Perempuan, dan Pasar (tanpa tempat: IndoPROGRESS,
2019).
Ritzer, Georg., Teori Sosiologi. Dari Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, terj. Saut Pasaribu, Rh. Widada,
dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014).
Jurnal, Koran dan Internet:
Mirsel, Robert dan
John Manehitu, “Komoditi yang Disebut Manusia: Membaca Fenomena Perdagangan
Manusia di NTT dalam Pemberitaan Media”, dalam Jurnal Ledalero, 13: 2 (Ledalero, Desember 2014).
Sadli, Saparinah.,
“Rembuk Perempuan”, dalam KOMPAS edisi
22 Desember 2018.
Deni, Melkisedek., “Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir
Pasar Bebas!”, dalam NTT Progresif,
dalam https://nttprogresif.com/2021/03/10/perempuan-bukan-komoditas-mutakhir-pasar-bebas/
diakses pada 23 Maret 2021.
Deni, Melkisedek., “Pemberhalaan Komoditas, Rasialisme
dan Demokrasi Pancasila”, dalam NTT
Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/05/pemberhalaan-komoditas-rasialisme-dan-demokrasi-pancasila/ diakses Pada 23 Maret 2021.
Deni, Melkisedek., “Ruang Abstrak,
Fetisisme Komoditas dan Ruang Harapan” dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/26/ruang-abstrak-fetisisme-komoditas-dan-ruang-harapan/ diakses pada 29 Maret 2021.
Umi
Kulsum, Kendar., “Kebijakan Pemerintah Terhadap Perempuan pada Masa
Pandemi Covid-19”, dalam Kompas.com,
https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/kebijakan-pemerintah-terhadap-perempuan-pada-masa-pandemi-covid-19#utm_source=medsos_facebook_kompasdata&utm_medium=link
diakses pada Minggu 14 Maret 2021.
[1] Kendar Umi Kulsum,
“Kebijakan Pemerintah Terhadap Perempuan pada Masa Pandemi Covid-19”, dalam Kompas.com,
https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/kebijakan-pemerintah-terhadap-perempuan-pada-masa-pandemi-covid-19#utm_source=medsos_facebook_kompasdata&utm_medium=link,
diakses pada Minggu 14 Maret 2021.
[2] Georg
Ritzer, Teori Sosiologi. Dari Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, terj. Saut Pasaribu, Rh.
Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014), hlm. 10.
[3] Saparinah
Sadli, “Rembuk Perempuan”, dalam KOMPAS edisi
22 Desember 2018, hlm. 6.
[4] Dr.
Alexander Jebadu SVD (Ed.) Manusia Bukan
Kambing. Bongkar dan Hentikan Kejahatan Perdagangan Jual-Beli Manusia (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2021), hlm. 196.
[5] Robert
Mirsel dan John Manehitu, “Komoditi yang Disebut Manusia: Membaca Fenomena
Perdagangan Manusia di NTT dalam Pemberitaan Media”, dalam Jurnal Ledalero, 13: 2 (Ledalero, Desember 2014), hlm. 365-397.
[6] Ruth
Indiah Rahayu, “Membawa Tubuh
Perempuan ke Pasar ‘Tuhan’”, dalam Ruth
Indiah Rahayu et al., Tuhan,
Perempuan, dan Pasar (tanpa tempat:
IndoPROGRESS, 2019), hm. 46.
[7] Dr. Alexander Jebadu SVD
(Ed.) Op. cit.,
hlm. 174.
[8] Ibid., hlm., 186.
[9] Ibid., hlm., 187.
[10] Ibid., hlm., 188. Sejak tahun
2001 sampapi tahun 2007, kurang lebih ada delapan kesepakatan internasional
dalam rangka memerangi, memberantas dan menghentikan tindak kejahatan
perdagangan manusia, sebagaimana yang dicatat oleh Dr. Alexander Jebadu dalam
buku Manusia Bukan Kambing.
[11] Melkisedek Deni,“Ruang
Abstrak, Fetisisme Komoditas dan Ruang Harapan” dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/26/ruang-abstrak-fetisisme-komoditas-dan-ruang-harapan/
diakses pada 29 Maret 2021.
[12] Melkisedek
Deni,“Pemberhalaan Komoditas, Rasialisme dan Demokrasi Pancasila”, dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/05/pemberhalaan-komoditas-rasialisme-dan-demokrasi-pancasila/
diakses Pada 23 Maret 2021.
[13] Karl
Marx, The Class Struggle in France
(New York: International Publishers, 1850/1964), hlm. 72.
[14] Karl
Marx, Capital: A Crtique of Political
Economy. Volume One (New York: International Publishers,
1867/1967), hlm. 163-177.
[15]Melkisedek
Deni, “Ketimpangan, Pandemi dan Ekonomi Pancasila”, dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/16/ketimpangan-pandemi-dan-ekonomi-pancasila/ diakses pada 23 Maret 2021.
[16] Pada
bagian ini saya mengacu pada penjelasan Melkisedek Deni, “Perempuan Bukan
Komoditas Mutakhir Pasar Bebas!”, dalam NTT
Progresif, dalam https://nttprogresif.com/2021/03/10/perempuan-bukan-komoditas-mutakhir-pasar-bebas/
diakses pada 23 Maret 2021.
[17] Frans
Magnis-Suseno, “Di Senja Zaman Ideologi: Tantangan Kemanusiaan Universal” dalam
Drs. G. Moedjanto MA, Drs. B. Rahmanto, dan Dr. J. Sudarminta SJ (Ed.), Tantangan Kemanusiaan Universal
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. 3, 1993), hlm. 104.
[18] Ibid.,
*Artikel ini menjuarai (1) pada SAYEMBARA Nasional penulisan Artikel yang diasakan oleh STFK Ledalero dan terbit di AKADEMIKA VOL. 18, NO. 2, JANUARI-JULI 2021
Post a Comment for "Habis Bencana, Berpijarkah Kemanusiaan Perempuan? (Tinjaun Kritis Ideologi Pancasila Terhadap Fenomena Perdagangan Perempuan)"