Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Habis Bencana, Berpijarkah Kemanusiaan Perempuan? (Tinjaun Kritis Ideologi Pancasila Terhadap Fenomena Perdagangan Perempuan)

Melki Deni

Email: Melki_deni@yahoo.com

Abstrak: Artikel ini menggambarkan dan menganalisis tindak kejahatan perdagangan perempuan di Indonesia akhir-akhir ini, terutama di tengah cengkeraman pandemi covid-19 ini. Pandemi covid-19 merupakan akar bencana kemanusiaan universal, terutama perempuan sejak awal 2020 sampai paruh 2021 ini. Di tengah bencana kemanusiaan ini, perempuan rawan dijadikan sebagai alat produksi atau komoditas mutakhir pasar bebas. Perempuan diperdagangkan oleh kaum kapitalis sesuai hukum pasar bebas. Hal ini seolah-olah mendapat justifikasi dengan watak kaum kapitalis untuk mengapitalisasi dan mengakumulasi perempuan sebagai komoditas. Melihat segala sesuatu, termasuk perempuan, sebagai komoditas mengantar kaum kapitalis ke dalam perangkap penyakit pemberhalaan komoditas. Perjuangan melawan dan menghentikan kejahatan peradangan perempuan mutlak harus dimulai dengan melampaui watak pasar bebas dalam masyarakat, dan membangun kesadaran akan perikemanusiaan yang adil dan beradab.

Kata Kunci: Pandemi Covid-19, Bencana Kemanusiaan, Perempuan, Pemberhalaan Komoditas, Demokrasi Pancasila dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

1.      PENDAHULUAN

Meskipun seringkali kurang disadari oleh banyak peneliti dan ilmuwan, pasar bebas dan perdagangan perempuan telah menjadi sindrom global yang merusak, menghancurkan dan terus membayang-bayangi keberadaan perempuan global. Sejak awal, secara esensial kedua sindrom ini tampak berbeda jauh, namun ternyata saling bertautan dalam realitas. Perempuan adalah makhluk luhur dan paradoksal secara filosofis, namun kini menjadi komoditas mutakhir dalam dunia pasar bebas. Inilah bencana besar yang berskala masif bagi kaum perempuan, terutama di tengah cengkeraman pandemi covid-19 ini.

Tulisan ini merupakan daya upaya penulis untuk mengelaborasi dan menganilisis problematik pasar bebas dan perempuan. Dalam analisis ini, penulis berfokus pada kasus yang terjadi di Indonesia, terutama yang sempat diberitakan oleh media sosial akhir-akhir ini. Indonesia merupakan negara yang berhaluan Demokrasi Pancasila. Indonesia sangat menolak dan menentang segala bentuk perbudakan, penindasan, pengisapan, eksploitasi (seksual) dan perdagangan manusia. Indonesia menjunjung tinggi perikemanusiaan (perempuan) yang adil dan beradab sebagaimana yang terdapat dalam sila ke-2 Pancasila.

Berangkat dari fakta globalisasi kejahatan perdagangan perempuan akhir-akhir ini, dalam tulisan ini, tesis dasar yang ingin diangkat oleh penulis ialah bahwa perempuan, kendati dengan tingkat kasus kejahatan yang berbeda, diperdagangkan  oleh kaum kapitalis yang berhala pada komoditas. Dengan demikian, kasus kejahatan perdagangan perempuan di pasar ekonomi merupakan konsekuensi logis dari pemberhalaan komoditas, desakan imperatif-imperatif pasar dan persaingan perdagangan. Kemudian tesis dasar ini berdampak pada tesis berikutnya yakni bahwa perjuangan melawan dan menghentikan kejahatan perdagangan perempuan mutlak harus dimulai dengan melampaui watak pasar bebas dalam masyarakat, dan membangun kesadaran akan perikemanusiaan yang adil dan beradab.

2.      BENCANA KEMANUSIAAN PEREMPUAN: KONSEKUENSI LOGIS PEMBERHALAAN KOMODITAS

2.1  Sekelumit Perjuangan Perempuan di Indonesia

Selama pandemi covid-19, Komnas Perempuan menampilkan data laporan kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019 sebanyak 299.911 kasus. Akan tetapi, pengaduan langsung pada 2020 meningkat 40 persen menjadi 2.389 kasus dibandingkan tahun 2019 (1.419). Sementara pada 2019, Komnas Perempuan menampilkan data laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 431.471 kasus, naik 6 persen dari tahun 2018. Data yang disajikan dalam Catahu Komnas Perempuan tersebut merupakan kompilasi data kasus dari peradilan agama, lembaga layanan mitra, serta unit pelayanan dan rujukan.[1]

Perempuan disubordinasi oleh laki-laki (dan kepentingan-kepentingan tertentu) di segala tempat di dunia sepanjang sejarah manusia. Sekitar pada tahun 1630-an analisis, diskusi dan tulisan-tulisan aktivis perempuan mulai beredar.[2] Tulisan-tulisan mereka dirampas, dicaplok, dipinggirkan, disisihkan dan bahkan dibuang dari laporan publik oleh kaum laki-laki yang menghendaki segala bentuk organisasi sosial, pendidikan, ekonomi, keagamaan dan organisasi politik sebagai basis kekuasaan kaum laki-laki semata. Sejak itu analisis tentang perempuan sebagai upaya kolektif yang signifikan mulai bertumbuh di kalangan aktivis perempuan—mereka mulai menyadari, merefleksikan dan memprotes situasi sosial (penindasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk) pada saat itu.

Di Indonesia sendiri, Kongres Perempuan Pertama berlangsung di Yogyakarta Pada 22 Desember 1928. Kongres ini diilhami oleh Soejatin (yang berusia 21 tahun pada waktu itu), yang bekerja sama dengan Nyi Hadjar Dewantara dan Nyonya RA Soekanto. Kongres Perempuan Pertama ini dihadiri oleh 600 peserta sebagai perwakilan dari berbagai organisasi perempuan di Indonesia.[3] Para aktivis perempuan menghendaki agar semua perempuan bisa bebas untuk mendapatkan hak-hak politis, ekonomi (Undang-undang pembaruan industrial), identitas kewarganegaraan, pendidikan dan pengakuan dari semua orang dari berbagai latar belakang. Akan tetapi perjuangan ini mendapat perlawanan lebih sengit dan kejam dari kelompok laki-laki. Kaum perempuan seringkali mendapat siksaan lebih kejam dan bahkan mematikan, tatkala perempuan berusaha melawan, dan memprotes situasi sosial saat itu.

Perjuangan aktivis perempuan tidak pernah surut selama beberapa dekade terakhir ini. Aktivis perempuan bergerak, membentuk organisasi dan memobilisasi besar-besaran massa perempuan di berbagai tempat guna merebut kembali hak-hak asasi perempuan. Meskipun gerakan aktivis perempuan mendapat tempat dan cukup berpengaruh pada beberapa tempat di dunia, namun gerakan-gerakan itu tidak mampu menghentikan secara tuntas tindak kejahatan terhadap perempuan. Hal ini tampak dalam praktik perdagangan perempuan untuk menjadi tenaga kerja paksa, pekerja migran, budak seks, atau perempuan dibunuh oleh organisasi kejahatan internasional guna mendapatkan organ tubuh perempuan (ginjal dan jantung) dan dijual di pasar-pasar ilegal transnasional.[4]

2.2  Kejahatan Perdagangan Perempuan: Konsekuensi Logis Pemberhalaan Komoditas

Perempuan diakumulasi secara ekonomis sebagai komoditas mutakhir sejak beberapa dekade terakhir ini.[5] Perempuan diperdagangkan sesuai hukum pasar bebas oleh kaum kapitalis baik pada tingkat lokal, nasional maupun transnasional.[6] Praktik perdagangan dan perbudakan ini mendapat perhatian dari PBB melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948 yang diinspirasi oleh Revolusi Amerika Serikat dan Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18. DUHAM pasal 1, 3 dan 4 secara berturut-turut berbunyi: “1) Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama…3) Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai pribadi… dan 4) Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang.”[7]

Pada 12-15 Desember 2000, PBB mengadakan konvensi di Palermo, Italia Selatan. Konvensi ini menempatkan masalah perdagangan manusia sebagai salah satu organisasi kejahatan internasional, selain kejahatan internasional seperti narkoba, perdagangan senjata ilegal dan penyelundupan migran.[8] Selain PBB, lembaga-lembaga seperti UNICEF, UNESCO, ILO dan UNODC juga mengalihkan perhatian pada persoalan kejahatan perdagangan manusia.[9] Gerakan-gerakan kemanusiaan organisasi internasional ini mendapat perhatian organisasi-organisasi dari negara-negara lain. Selama satu dekade terakhir, organisasi internasional menyepakati banyak hal terutama dalam usaha memerangi, memberantas, dan menghentikan tindak kejahatan perdagangan manusia.[10]

Namun demikian kaum kapitalis senantiasa mengikuti dan memperbarui diri sesuai perkembangan zaman. Kaum kapitalis memanfaatkan teknologi canggih dan ideologi ekonomi politik yang cair (melalui kejahatan migrasi) guna meloloskan dan melanggengkan praktik perdagangan perempuan secara ilegal. Perempuan direkrut dari daerah asalnya dan diperdagangkan di pasar-pasar ilegal regional, nasional dan transnasional. Kemudian perempuan disekap, diperbudak dan dieksploitasi secara membabi buta di dalam ruang-ruang abstrak.[11] 

Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa kejahatan perdagangan perempuan merupakan problem filosofis, sebab seringkali mengabaikan eksistensi perempuan (hak-hak asasi manusia) dan perikemanusiaannya. Kaum kapitalis hanya sibuk menimbun kapital, mengeksplorasi wilayah produksi dan mengeksploitasi alat-alat produksi, termasuk manusia tanpa mempertimbangkan keluruhan manusia. Kaum kapitalis mengapitalisasi dan mengkalkulasi tenaga kerja sedemikian rupa melalui kerja.[12] Akibatnya kelas pekerja tidak dapat mewujudkan potensi dirinya. Para pekerja seolah-olah teralienasi dari dirinya sendiri.[13]

Di dalam kapitalisme, menurut Marx, relasi sosial yang nyata di antara para pekerja diandaikan secara fantastik di dalam benda-benda. Benda-benda, produk-produk pekerjaan manusia dan nilai-nilainya adalah komoditas. Komoditas itu seolah-olah independen dan terpisah dari maksud penciptanya. Karena komoditas itu independen, maka manusia digiring untuk menyembahnya, seperti yang dipraktikkan oleh pemeluk agama: membuat patung, dan kemudian mereka sendiri menyembahnya. Marx menyebut proses itu sebagai pemberhalaan komoditas.[14]

Komoditas dan pasar bebas telah menjadi candu akut bagi kaum kapitalis. Pasar bebas adalah sensasi makhluk kapitalis, tempat manusia-manusia tidak punya hati nurani, seperti pasar bebas tanpa kendali merupakan kredo para kapitalis yang tidak punya kredo keluhuran kemanusiaan, keutuhan ekologis, demokrasi dan kedaulatan negara. Pasar bebas itu menjadi candu bagi kaum kapitalis.[15] Apabila manusia diakumulasi menjadi komoditas pasar, karena memiliki nilai guna, nilai tukar, nilai lebih, maka tidak ada lagi ruang bersama, tempat orang-orang berkumpul, bersatu dan memperjuangkan kemanusiaan.

3.      DEMOKRASI PANCASILA: MELUHURKAN KEMANUSIAAN PEREMPUAN DAN MEWARTAKAN KEBIJAKSANAAN

1.1  Perempuan Indonesia Bukan Komoditas![16]

Di tengah kondisi pandemi ini, kejahatan terhadap perempuan rawan terjadi. Tindak kejahatan terhadap perempuan rentan terjadi, tatkala dilanda krisis ekonomi, bencana alam, pandemi covid-19, kemiskinan, pengangguran, buta huruf, miskin informasi, stigmatisiasi sosial, dan perceraian. Selain itu seringkali tindak kejahatan terhadap perempuan terjadi karena ketidakadilan gender, pemiskinan sistemik (korupsi, kolusi dan nepotisme), budaya patriarkat, dan budaya menyerah pada nasib, fatalisme dan pesimisme terhadap masa depan. Laporan catatan tahunan Komnas Perempuan tersebut di atas belum menjangkau seluruh masyarakat Indonesia. Praktik kejahatan terhadap perempuan masih begitu banyak, dan selalu luput dari liputan media berita, penelitian para ahli dan mata publik.

Meskipun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia telah meraih sukses baik secara normatif maupun teoretis, namun praktik kejahatan kemanusiaan perempuan justru semakin parah. Hal ini dialami sebagian dari pengalaman pribadi, kelompok dan organisasi perempuan di dunia. Usaha PBB dalam pembumian prinsip-prinsip HAM pasti selalu berhubungan erat dengan preferensi-preferensi politik yang berbau pasar bebas. Antara kebijakan politik dan tindakan politik yang berbau pasar bebas selalu saling mengandaikan begitu saja dalam praksisnya. Alih-alih demi perlindungan dan pemenuhan HAM, elite politis dan oligark kapitalis justru meloloskan agenda kebijakan ekonomi pasar bebasnya. Tumbalnya ialah rakyat kecil, kelompok rentan dan terutama perempuan.

Cita-cita bangsa Indonesia bingkai bhineka tunggal ika mendapat ruang gerak dalam Pancasila. Pengakuan hak-hak asasi manusia yang masih terbatas, secara konsekuen diperluas, terutama dengan menyadarkan hak-hak asasi sosial dan kultural, mengungkapkan cita-cita budaya universal,[17]yakni kemanusiaan. Paradigma kemanusiaan baru ini direalisasikan melalui negara hukum demokratis, berdasarkan undang-undang yang mengakui cita-cita kemanusiaan universal.[18] Untuk konteks Indonesia, kita masih memiliki pijar ideologi politik Indonesia (Demokrasi Pancasila), hukum normatif dan kebudayaan yang dapat memberi ruang harapan bagi diskursus tentang kemanusiaan perempuan, dan turut memperjuangkannya. Dengan melihat kembali substansi Pancasila, terutama sila ke-2, kita akan disadarkan kembali bahwa perempuan merupakan manusia yang punya hak asasi seperti manusia pada umumnya, dan karena itu ia bukan komoditas pasar bebas.

1.2  Pijar Demokrasi Pancasila: Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab

Kita tentu ingat perkataan Mahatma Gandhi: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.” Kita tidak punya pilihan selain menerima, mengakui dan menghormati kemanusiaan universal dengan pluralitas keyakinan, kebudayaan, dan agama. Pluralitas merupakan realitas kearifan Indonesia. Pengakuan akan pluralitas mengandaikan penghormatan dan pengakuan terhadap kemanusiaan universal.

Perikemanusiaan adalah keutamaan kita, selebihnya hanya sebagai pelengkap. Diskursus tentang rancangan kebijakan ekonomi politik, pendidikan, kebudayan dan keagamaan mesti bersumber dari, oleh dan untuk kemanusiaan universal. Solidaritas dan kemanusiaan saling mengandaikan. Perikemanusiaan tidak dapat bertumbuh subur dan menjadi keutamaan dalam hidup manusia Indonesia, kalau kebutuhan dan kesadaran akan solidaritas tidak berurat akar dalam diri manusia Indonesia. Solidaritas tidak akan berurat akar, kalau manusia Indonesia tidak menanam dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Dengan kesadaran akan kemanusiaan universal (sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), semakin jelaslah bahwa Pancasila yang terus diagung-agungkan, digaungkan dan diperjuangkan oleh manusia Indonesia menjadi aktual dan tepat sasar. Sebagai manusia Indonesia, kita harus berani memberantas dan menghentikan gerakan-gerakan kejahatan perdagangan perempuan dan jaringan-jaringannya sampai ke akar-akarnya dengan mengakui perempuan sebagai manusia, bukan sebagai alat produksi ekonomi atau komoditas. Prinsip kemanusiaan universal senantiasa dialektis dan komunikatif berdaya transformatif.

Prinsip-prinsip kemanusiaan dialektis dan komunikatif, justru ketika kita melihat manusia lain (perempuan) dengan latar belakang yang berbeda sebagai sesama. Di dalam diri setiap perempuan Indonesia, ada nilai-nilai luhur dan keutamaan yang mesti dimuliakan dan diluhurkan yakni kemanusiaan. Dalam kesadaran akan kemanusiaan universal, tak kurang sedikit pun ciri kemanusiaan dan hakikat manusia kita menemukan nila-nilai terluhurnya.

Perikemanusiaan begitu luhur dan mulia. Kegagalan mencapai dan tinggal di dalam nilai-nilai kemanusiaan universal serta tidak mampu memperjuangkannya begitu merisaukan, dan akhirnya mematikan. Kesadaran akan perikemanusiaan dalam diri perempuan Indonesia merupakan pijar filosofis yang dapat menerangi peradaban dan menghalau tindak kejahatan perdagangan kemanusiaan. Perempuan akan dilihat sebagai manusia, yang punya hak asasi dan martabat manusia, yang mesti dilindungi dan diperjuangkan terus menerus. Dan kasihan sekali manusia Indonesia yang tidak memiliki kesadaran akan kemanusiaan dalam diri perempuan.

4.      PENUTUP

Berdasarkan analisis di atas, berikut penulis mengafirmasi tesis awal bahwa perempuan, kendati dengan tingkat kasus kejahatan yang berbeda, diperdagangkan  oleh kaum kapitalis yang berhala pada komoditas. Tindak kejahatan perdagangan perempuan di pasar ekonomi merupakan konsekuensi logis dari pemberhalaan komoditas, desakan imperatif-imperatif pasar dan persaingan perdagangan, terutama di tengah bencana covid-19 ini. Perjuangan melawan dan menghentikan kejahatan perdagangan perempuan mutlak harus dimulai dengan melampaui watak pasar bebas dalam masyarakat, dan membangun kesadaran akan perikemanusiaan yang adil dan beradab.

Negara Indonesia—melalui demokrasi Pancasila, sistem dan produk hukum yang tidak diskriminatif dan kebijakan dalam konvensi hak-hak perempuan—berperan penting untuk meningkatkan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal terutama terhadap perempuan. Sistem dan produk hukum mesti berorientasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal, dan bukan demi kepentingan kaum kapitalis. Negara mesti meningkatkan usaha perlindungan sosial yang mendemonstrasikan sukses dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dan meningkatkan advokasi publik.

Tindak kejahatan perdagangan perempuan merupakan antitesis abadi dari Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kesadaran akan perikemanusiaan dalam diri perempuan Indonesia merupakan pijar filosofis yang dapat menerangi peradaban dan menghalau tindak kejahatan perdagangan kemanusiaan. Perempuan adalah manusia dengan segala keluhurannya, dan bukan komoditas pasar.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Jebadu, Alexander (Ed.),  Manusia Bukan Kambing. Bongkar dan Hentikan Kejahatan Perdagangan Jual-Beli Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2021).

Magnis-Suseno, Frans., “Di Senja Zaman Ideologi: Tantangan Kemanusiaan Universal” dalam Drs. G. Moedjanto MA, Drs. B. Rahmanto, dan Dr. J. Sudarminta SJ (Ed.), Tantangan Kemanusiaan Universal (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. 3, 1993).

Marx, Karl., Capital: A Crtique of Political Economy.  Volume One  (New York: International Publishers, 1867/1967).

Marx, Karl., The Class Struggle in France (New York: International Publishers, 1850/1964).

Rahayu, Ruth Indiah., “Membawa  Tubuh Perempuan  ke Pasar ‘Tuhan’”, dalam Ruth Indiah Rahayu et al., Tuhan, Perempuan,  dan Pasar (tanpa tempat: IndoPROGRESS, 2019).

Ritzer, Georg., Teori Sosiologi. Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, terj. Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014).

 

Jurnal, Koran dan Internet:

Mirsel, Robert dan John Manehitu, “Komoditi yang Disebut Manusia: Membaca Fenomena Perdagangan Manusia di NTT dalam Pemberitaan Media”, dalam Jurnal Ledalero, 13: 2 (Ledalero, Desember 2014).

Sadli, Saparinah., “Rembuk Perempuan”, dalam KOMPAS edisi 22 Desember 2018.

Deni, Melkisedek., “Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir Pasar Bebas!”, dalam NTT Progresif, dalam https://nttprogresif.com/2021/03/10/perempuan-bukan-komoditas-mutakhir-pasar-bebas/ diakses pada 23 Maret 2021.

Deni, Melkisedek., “Pemberhalaan Komoditas, Rasialisme dan Demokrasi Pancasila”, dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/05/pemberhalaan-komoditas-rasialisme-dan-demokrasi-pancasila/ diakses Pada 23 Maret 2021.

Deni, Melkisedek., “Ruang Abstrak, Fetisisme Komoditas dan Ruang Harapan” dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/26/ruang-abstrak-fetisisme-komoditas-dan-ruang-harapan/ diakses pada 29 Maret 2021.

Umi Kulsum, Kendar., “Kebijakan Pemerintah Terhadap Perempuan pada Masa Pandemi Covid-19”, dalam Kompas.com, https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/kebijakan-pemerintah-terhadap-perempuan-pada-masa-pandemi-covid-19#utm_source=medsos_facebook_kompasdata&utm_medium=link diakses pada Minggu 14 Maret 2021.




[1] Kendar Umi Kulsum, “Kebijakan Pemerintah Terhadap Perempuan pada Masa Pandemi Covid-19”, dalam Kompas.com, https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/kebijakan-pemerintah-terhadap-perempuan-pada-masa-pandemi-covid-19#utm_source=medsos_facebook_kompasdata&utm_medium=link, diakses pada Minggu 14 Maret 2021.

[2] Georg Ritzer, Teori Sosiologi. Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, terj. Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014), hlm. 10.

[3] Saparinah Sadli, “Rembuk Perempuan”, dalam KOMPAS edisi 22 Desember 2018, hlm. 6.

[4] Dr. Alexander Jebadu SVD (Ed.) Manusia Bukan Kambing. Bongkar dan Hentikan Kejahatan Perdagangan Jual-Beli Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2021), hlm. 196.

[5] Robert Mirsel dan John Manehitu, “Komoditi yang Disebut Manusia: Membaca Fenomena Perdagangan Manusia di NTT dalam Pemberitaan Media”, dalam Jurnal Ledalero, 13: 2 (Ledalero, Desember 2014), hlm. 365-397.

[6] Ruth Indiah Rahayu, “Membawa  Tubuh Perempuan  ke Pasar ‘Tuhan’”, dalam Ruth Indiah Rahayu et al., Tuhan, Perempuan,  dan Pasar (tanpa tempat: IndoPROGRESS, 2019), hm. 46.

[7] Dr. Alexander Jebadu SVD (Ed.) Op. cit., hlm. 174.

[8] Ibid., hlm., 186.

[9] Ibid., hlm., 187.

[10] Ibid., hlm., 188. Sejak tahun 2001 sampapi tahun 2007, kurang lebih ada delapan kesepakatan internasional dalam rangka memerangi, memberantas dan menghentikan tindak kejahatan perdagangan manusia, sebagaimana yang dicatat oleh Dr. Alexander Jebadu dalam buku Manusia Bukan Kambing.

[11] Melkisedek Deni,“Ruang Abstrak, Fetisisme Komoditas dan Ruang Harapan” dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/26/ruang-abstrak-fetisisme-komoditas-dan-ruang-harapan/ diakses pada 29 Maret 2021.

[12] Melkisedek Deni,“Pemberhalaan Komoditas, Rasialisme dan Demokrasi Pancasila”, dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/05/pemberhalaan-komoditas-rasialisme-dan-demokrasi-pancasila/ diakses Pada 23 Maret 2021.

[13] Karl Marx, The Class Struggle in France (New York: International Publishers, 1850/1964), hlm. 72.

[14] Karl Marx, Capital: A Crtique of Political Economy.  Volume One  (New York: International Publishers, 1867/1967),  hlm. 163-177.

[15]Melkisedek Deni, “Ketimpangan, Pandemi dan Ekonomi Pancasila”, dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/16/ketimpangan-pandemi-dan-ekonomi-pancasila/ diakses pada 23 Maret 2021.

[16] Pada bagian ini saya mengacu pada penjelasan Melkisedek Deni, “Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir Pasar Bebas!”, dalam NTT Progresif, dalam https://nttprogresif.com/2021/03/10/perempuan-bukan-komoditas-mutakhir-pasar-bebas/ diakses pada 23 Maret 2021.

[17] Frans Magnis-Suseno, “Di Senja Zaman Ideologi: Tantangan Kemanusiaan Universal” dalam Drs. G. Moedjanto MA, Drs. B. Rahmanto, dan Dr. J. Sudarminta SJ (Ed.), Tantangan Kemanusiaan Universal (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. 3, 1993), hlm. 104.

[18] Ibid.,


*Artikel ini menjuarai (1) pada SAYEMBARA Nasional penulisan Artikel yang diasakan oleh STFK Ledalero dan terbit di AKADEMIKA VOL. 18, NO. 2, JANUARI-JULI 2021

Post a Comment for "Habis Bencana, Berpijarkah Kemanusiaan Perempuan? (Tinjaun Kritis Ideologi Pancasila Terhadap Fenomena Perdagangan Perempuan)"