Meluhurkan Tubuh Teologis, Melampaui Kegelisahan Perempuan (Yohanes Paulus II Tentang Tubuh Sebagai Teologi dan Sakramen)
|
Abstrak: Tulisan ini berusaha membahas konsep teologi
tubuh Yohanes Paulus II, perempuan dan kapitalisasi tubuh perempuan dalam
ekonomi pasar bebas. Yohanes Paulus II secara eksplisit merefleksikan tubuh
dari sudut pandang teologis tentang tubuh. Mantan Uskup Agung Krakow itu
merombak secara total pandangan yang keliru tentang tubuh manusia dan seksualitas.
Seksualitas bukanlah semata-mata perkara persetubuhan—di mana para lelaki
melampiaskan gairah seksualnya secara membabi buta dan eksploitatif terhadap
perempuan. Praktik eksploitasi seksual terhadap perempuan merupakan kejahatan
kemanusiaan dan menghancurkan martabat perempuan sebagai manusia. Hal ini
tampak dalam industri seks, prostitusi, perkosaan, dan perdagangan organ tubuh
untuk dicangkokan kepada yang butuh. Di tempat-tempat itu, perempuan hanya
dilihat sebagai komoditas dan/atau modal, yang diakumulasi secara ekonomis demi
keuntungan ekonomi pasar bebas semata. Yohanes Paulus II merenungkan conditio
humana perempuan, tubuh manusia (perempuan), dan tanggung jawab manusia sebagai
manusia yang berseksualitas (kebertubuhan) dalam kemalangan (kegelisahan) perempuan
yang merupakan korban kesalahpahaman dan kekeliruan dalam memahami dan memaknai
tubuh. Inilah bencana kemanusiaan perempuan sepanjang sejarah umat manusia. Yohanes
Paulus II mengharapkan agar manusia,
terutama para lelaki dan pebisnis industri seks, melihat dan memaknai tubuh
(perempuan) sebagai teologi dan
sakramen.
Kata
Kunci: Perempuan, Tubuh Teologis, Ekonomi Pasar Bebas, Teologi Tubuh
1.
Pendahuluan
Akhir-akhir ini banyak bencana terjadi di seluruh
dunia. Sejak awal 2020 sampai saat ini dunia dihantui oleh pandemi covid-19.
Pandemi covid-19 merupakan bencana kemanusiaan universal. Di tengah bencana
akibat pandemi ini, penindasan dan eksploitasi seksual terhadap perempuan
semakin parah selain karena persoalan ekonomi, juga disebabkan oleh
kesalahpahaman atas tubuh perempuan. Alih-alih mengantisipasi tertularnya
pandemi ini, perempuan justru menjadi objek empuk bagi para lelaki dan pelaku
bisnis melampiaskan gairah seksual dan memperdagangkan perempuan sesuai hukum
pasar bebas. Inilah salah satu bencana kemanusiaan perempuan di tengah terkaman
pandemi ini. Pandemi belum memberi tanda-tanda berakhir, demikian pun praktik
penindasan dan eksploitasi seksual terhadap perempuan tidak pernah surut di tengah
banyaknya bencana yang terjadi di seluruh dunia.
Selama pandemi
covid-19, Komnas Perempuan menampilkan data laporan kasus kekerasan terhadap
perempuan pada 2019 sebanyak 299.911 kasus. Akan tetapi, pengaduan langsung
pada 2020 meningkat 40 persen menjadi 2.389 kasus dibandingkan tahun 2019
(1.419). Sementara pada 2019, Komnas Perempuan menampilkan data laporan kasus
kekerasan terhadap perempuan sebanyak 431.471 kasus, naik 6 persen dari tahun
2018. Data yang disajikan dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan tersebut
merupakan kompilasi data kasus dari peradilan agama, lembaga layanan mitra, serta
unit pelayanan dan rujukan.[1]
Pertanyaannya, mengapa perempuan selalu menjadi target kekerasan dan
eksploitasi oleh para lelaki dan pelaku bisnis?
Seiring dengan meningkatnya jumlah bencana yang
terjadi di dunia, tidak sedikit manusia ternyata masih belum sanggup melihat
tubuh perempuan menjadi korban bencana kemanusiaan. Begitu manusia diterkam
oleh bencana, seolah-olah manusia sudah rapuh dan tidak punya kemungkinan untuk
bangkit kembali. Tidak sedikit orang memikirkan segala bencana beroperasi di
luar tindakan sadar manusia. Bencana seolah-olah hanya terjadi dari, oleh dan
untuk alam. Atau bencana hanya diidentikkan dengan alam, sehingga tidak sedikit
orang berpandangan bahwa antara bencana, manusia, tubuh dan teologi tidak
memilik hubungan. Padahal bencana sangat berhubungan dengan manusia, tubuh dan
refleksi teologis manusia terhadap tubuh sesama manusia. Maka dari sebab itu,
tujuan tulisan ini sebenarnya ialah membahas secara teologis tentang tubuh
perempuan dalam hubungannya dengan teologi. Hal ini penting, agar setiap orang
dapat menemukan pemaknaan baru dan pertanggungjawaban yang serius terhadap tubuh
perempuan sebagai teologi dan
sakramen.
Dalam tulisan ini saya mencoba memberikan gambaran tentang bagaimana bencana kemanusiaan perempuan di tengah pandemi mesti dipahami secara teologis. Fokus saya ialah refleksi teologis Yohanes Paulus II tentang tubuh. Saya akan meringkas dan membahas refleksi Yohanes Paulus II tentang tubuh sebagai teologi dan sakramen. Pada bagian kedua, saya coba menguraikan refleksi teologis Yohanes Paulus II ini yang terus mendapat tantangan berat di tengah maraknya praktik eksploitasi seksual, perkosaan, dan jual beli organ tubuh perempuan di dunia pasar bebas sekarang ini, terutama di tengah pandemi ini. Kemudian pada bagian akhir, saya menyimpulkan dengan pisau analisis teologis Yohanes Paulus beberapa rambu-rambu nilai dan pemaknaan secara baru terhadap tubuh sebagai teologi dan sakramen.
2.
Konseptualiasi Tubuh Dalam Teologi Yohanes Paulus II
Merefleksikan dan memaknai tubuh secara teologis tidak
terlepas dari nama Yohanes Paulus II. Hal ini disebabkan oleh pertama, Yohanes Paulus II memiliki
pendekatan filosofis-teologis untuk persoalan tubuh. Kedua, teolog atau para pemikir yang membahas tubuh dari
persepektif teologis selalu mengacu pada Yohanes Paulus II, selain referensi
biblis. Yohanes Paulus II memiliki latar belakang filsafat, dan dalam
mengeksplorasi tubuh, ia menggunakan pendekatan fenomenologi personalistik.[2]
Yohanes Paulus II berusaha menjelaskan bukan saja
hal-hal yang tampak di luar diri manusia, tetapi terutama bagaimana hal-hal di
luar diri manusia masuk dan ditanggapi oleh kesadaran manusia. Kesadaran
manusia menyentuh dan selalu mengandaikan sebuah pribadi manusia di dalamnya.
Kesadaran manusia, yang berkaitan dengan pribadi, tidak dapat terlepas dari
dimensi dasariah manusia, yakni cinta.[3]
Bagi Yohanes Paulus II tubuh juga dapat dipahami
sebagai sarana komunikasi. Melalui tubuh, manusia menampakkan secara nyata kesadaran
manusiawinya dan kehadiran Allah. Tubuh merupakan sarana pengungkapan dan
pernyataan kehadiran manusia. Manusia hanya dapat mengungkapkan dan menyatakan
seluruh diri, makna dan hidupnya melalui tubuh. Melihat tubuh manusia berarti
melihat kehadiran pribadi. Lebih kompleks lagi, melihat tubuh berarti memahami
tubuh.
Kalau kita mau memahami tubuh, kita mesti masuk ke
dalam inti tubuh. Masuk ke dalam tubuh mengandaikan kita masuk ke dalam misteri
Tritunggal Mahakudus. Akan tetapi manusia tidak dapat melihat Allah.
Satu-satunya cara untuk dapat melihat Allah ialah melalui tubuh manusia.[4]
Selain sebagai sarana komunikasi, Yohanes Paulus II melihat bahwa dalam tubuh
manusia, Allah yang tak kelihatan menjadi tampak. Atau dengan kata lain, aspek
teologis dari tubuh bukan semata-mata penampakan fisik, melainkan lebih dari
itu tubuh manusia menampakkan Allah.
Dalam tubuh manusia, Allah hadir secara nyata sebab
manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya. Tubuh lelaki dan
perempuan dipahami dalam dimensi teologis seperti yang dikisahkan dalam Kitab
Suci. Kisah Penciptaan manusia memberikan definisi tentang panggilan hidup
manusia yakni menjadi satu daging.[5]
Dengan ini mau dikatakan bahwa panggilan mendasar lelaki dan perempuan ialah
persatuan pribadi-pribadi (communion
personarum). Di dalamnya, lelaki dan perempuan saling mencintai dan saling memberi
melalui tubuh sebagai sakramen. Persatuan antara lelaki dan perempuan ini
kemudian diidentikkan dengan persatuan antara Kristus dengan gereja-Nya.
Tubuh lelaki dan perempuan dipahami sebagai sebuah
kesatuan dan persekutuan Tritunggal Mahakudus. Dalam diri laki-laki, perempuan
dapat melihat kehadiran Allah, dan
demikian sebaliknya, laki-laki menyadari kehadiran Allah lewat tubuh
perempuan. Karena itu persatuan tubuh antara lelaki dan perempuan harus
dirayakan, dan karena itu disebut sebagai sebuah tindakan teologis, karena
dengan bersatunya dua tubuh, yang selalu berarti bersatunya dua persona itulah kenyataan Allah yang
tersembunyi. Inilah yang disebut Kebersatuan Asali.[6]
Dimensi perayaan dari persatuan inilah yang dikatakan sebagai arti nupsial tubuh.
Tubuh menjadi menjadi penyempurnaan rencana Allah dalam
menyelamatkan manusia. Jalan satu-satunya adalah dengan memilih menjadi
manusia, memilih tubuh manusia, Allah mengangkat martabat dan tubuh manusia
kepada kemuliaan.[7]
Jika tubuh merupakan rahmat Allah (Kej. 1: 27-30), mestinya menjadikan manusia selalu
mencari Allah untuk berdialog
denganNya bagaimana manusia
memperlakukan tubuhnya. Manusia
perlu berelasi, berkomunikasi, dan berdialog dengan tubuhnya sendiri, dan tubuh yang lain
di bawah rambu-rambu kesatuan Tritunggal Mahakudus.
Tindakan berkomunikasi, berempati dan berbincang-bincang dengan tubuh yang lain merupakan kebutuhan terdasar tubuh manusia,
dan sekaligus cermin yang paling utuh untuk dilihat dan dimaknai dengan
sungguh-sungguh. Manusia hanya dapat menemukan makna kebertubuhannya, bila manusia saling membagi rasa, terbuka, komunikatif, dialogal dan merasakan apa
yang dirasakan oleh tubuh yang lain. Itulah kesadaaran utama yang seharusnya
dimiliki oleh semua manusia yang sadar bahwa ia sedang “ada bersama” tubuhnya dan tubuh manusia yang lain. Inilah rahmat tertinggi dari Allah. Jika manusia bertubuh
cenderung mengisolasi diri,
menindas dan mengeksploitasi sesamanya, maka yang terjadi masalah-masalah
“keternodaan makna” atas tubuh semakin merajalela—tubuh tidak lebih dari onggokan daging yang layak
diperdagangkan di pasar bebas.
3.
Memasarkan Tubuh Perempuan: Mendesakralisasi Tubuh
Teologis
Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
canggih, manusia dihadapkan pada situasi kesimpangsiuran berkaitan dengan makna
manusia yang bertubuh. Penelitian dan analisis empirisme dengan metode ilmu-ilmu
alam mengenai fenomena tubuh manusia menjebak tidak sedikit orang pada
perangkap pemahaman yang dangkal tentang manusia yang bertubuh. Objek
penelitian mereka ialah tubuh yang kelihatan dan fenomena-fenomenanya.
Akibatnya, tubuh mengalami kehilangan makna metafisis-teologis dan
sakramentalitasnya. Pemahaman yang keliru tentang tubuh, secara tidak langsung
kita membungkamkan misteri yang tersembunyi dalam tubuh yakni kesatuan Allah
Tritunggal Mahakudus. Jika kita memiliki pemahaman yang benar tentang tubuh,
kita akan benar-benar memiliki tubuh dan mengalami Allah dalam tubuh.
Tubuh perempuan sering menjadi komoditas yang
direduksi untuk tujuan-tujuan tertentu, terutama ekonomi bisnis semata.[8]
Tubuh diatur dan dikendalikan sedemikan mungkin hanya sebagai objek pemuasan
hasrat seksual, dan diperdagangkan di tempat industri seks, prostitusi seks,
pencangkokan anggota tubuh, bekerja dengan upah rendah, dan dibeli untuk
dijadikan istri kontrakan, melahirkan anak dan kemudian dijual ke pasar-pasar.[9]
“Dari ujung rambut sampai ujung kaki perempuan itu bernilai komoditas bagi
produksi barang konsumsi. Rambut perempuan menjadi sasaran produksi sampo,
bibir perempuan menjadi sasaran produksi lipstik, wajah perempuan menjadi
sasaran produksi bedak, kulit perempuan mejadi sasaran body lotion dan aneka krem lainnya.”[10]
Dalam konteks Indonesia, pada Jumat, 5 Maret 2021,
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan menerangkan bahwa sepanjang 2020
terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka tersebut menurun
cukup signifikan dibandingkan laporan tahun 2019, yakni 431.471 kasus. Bentuk
kekerasan yang paling menonjol di ranah pribadi ini adalah kekerasan fisik
2.025 kasus (31 persen) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual
sebanyak 1.983 kasus (30 persen), psikis 1.792 (28 persen), dan ekonomi 680
kasus (10 persen).[11]Berdasarkan
catatan tahunan Komnas Perempuan, kasus perdagangan orang mengalami kenaikan
yang tercatat sejumlah 255 kasus dibandingkan tahun sebelumnya, 212 kasus.
Kasus kekerasan terhadap tenaga kerja migran mengalami penurunan dari 398 kasus
menjadi 157 kasus.[12]
Tentu saja masih begitu banyak yang luput dari catatan ini di luar sana.
Di dalam
kapitalisme, relasi sosial yang nyata di antara para pekerja diandaikan secara
fantastik di dalam benda-benda. Benda-benda, produk-produk pekerjaan manusia
dan nilai-nilainya adalah komoditas—termasuk manusia disulap menjadi komoditas
mutakhir pasar bebas. Komoditas itu seolah-olah independen dan terpisah dari
maksud penciptanya. Karena komoditas itu independen, maka manusia digiring untuk
menyembahnya, seperti yang dipraktikkan oleh pemeluk agama: membuat patung, dan
kemudian mereka sendiri menyembahnya. Marx menyebut proses itu sebagai pemberhalaan
komoditas.[13]
Demikian pun terjadi atas tubuh perempuan.
Tubuh perempuan
seolah-olah berdiri sendiri, dan terpisah dari kemanusiaan (misteri
kebertubuhannya) perempuan dan maksud termulia dari penciptaNya. Karena
perempuan itu independen, maka lelaki dan kaum kapitalis ramai-ramai memburu
dan membeli tubuh perempuan sebagai komoditas demi akumulasi kapital dan
keuntungan ekonomis semata.[14] Komoditas, privatisasi modal, perdagangan
bebas, globalisasi ekonomi dan pasar bebas telah menjadi candu akut bagi kaum
kapitalis. Pasar bebas
adalah sensasi makhluk kapitalis, tempat manusia-manusia tidak punya hati
nurani, seperti pasar bebas tanpa kendali merupakan kredo para kapitalis yang
tidak punya kredo keluhuran kemanusiaan, keutuhan ekologis, demokrasi dan
kedaulatan negara. Pasar bebas itu menjadi candu bagi kaum kapitalis.[15]
Apabila tubuh perempuan dipasarkan, diperdagangkan dan diakumulasi menjadi komoditas pasar, karena memiliki
nilai guna, nilai tukar, nilai lebih, maka tidak ada lagi ruang bersama, tempat
orang-orang berkumpul, bersatu dan memperjuangkan kemanusiaan perempuan, dan dengan demikian tubuh
sebagai teologi kehilangan maknanya. Tubuh
manusia (perempuan) sebagai teologi mestinya tidak boleh dibajak dan
dieksploitasi demi tujuan apa pun. Tubuh manusia (perempuan) begitu luhur,
sebab memuat misteri kesatuan Tritunggal Mahakudus dan sekaligus tempat Allah
yang tidak kelihatan menjadi terlihat.
4.
Merawat Tubuh Teologis, Melampaui Kegelisahan
Perempuan
Usaha memperjuangkan kemanusiaan perempuan melalui
pemaknaan secara baru atas tubuh perempuan di tengah pandemi ini makin terjal
dan penuh dengan tantangan atas nama kemajuan ekonomi pasar bebas semata.
Padahal ekonomi pasar bebas mustahil berkembang maju dan menjangkau dunia tanpa
mempertimbangkan atau melibatkan penuh perempuan sebagai ibu ekonomi rumah
tangga atau sebagai subjek ekonomi, bukan komoditas.
Penderitaan perempuan baik selama pandemi maupun sebelum
pandemi hanya dapat sembuh, apabila ada keberanian semua manusia untuk membuka,
membongkar akar-akar kekerasan terhadap perempuan dan dengan cekat
menghentikannya. Sebab akhir-akhir ini tak tanggung-tanggung para lelaki dan
kaum kapitalis memangkas dan menyumbat keputusan-keputusan dan
kehendak-kehendak manusiawi perempuan dalam proses kerja dan dalam kehidupan
sehari-hari. Perempuan tidak dibiarkan oleh para lelaki dan kaum kapitalis
untuk mengembangkan potensi manusiawi, cara-cara pengenalan baru, ide-ide baru,
keahlian, kreativitas, bahasa baru dan pengetahuan perempuan. Di dalam
organisasi-organisasi industri modern—dan keluarga masa kini, pengendalian
sederhana cenderung digantikan dengan pengendalian teknis yang impersonal dan
lebih canggih dan birokratis.[16]
Para perempuan masih terbelenggu di bawah kendali para
lelaki dan dominasi imperatif pasar bebas. Para perempuan belum benar-benar
merasakan kebebasan berpendapat, berpolitik, berpendidikan dan berkedudukan
tinggi pada bidang sosial tertentu. Meskipun beberapa perempuan yang bekerja
dan mendapat kedudukan politis, namun perempuan Indonesia masih belum cukup
terwakili. Suara-suara minor perempuan masih tersumbat oleh
kepentingan-kepentingan dominasi hegemoni kaum lelaki dan logika
fundamentalisme pasar bebas.[17]
Kesadaran akan persekutuan Allah dalam tubuh perempuan
merupakan pijar-pijar teologis yang dapat menerangi peradaban dan menghalau
tindak kejahatan terhadap perempuan. Perempuan mesti dilihat sebagai manusia,
yang punya hak asasi dan martabat manusia, yang mesti dilindungi dan
diperjuangkan terus menerus dan merupakan gambaran Allah yang tidak kelihatan
menjadi terlihat. Sungguh memilukan dan merisaukan bila manusia tidak memiliki
kesadaran akan Allah dalam tubuh perempuan. Dengan mengacu pada analisis teologis
Yohanes Paulus II, manusia mesti melihat dan merawat Allah dalam tubuh
perempuan, agar Allah dalam tubuh perempuan tidak gelisah, karena dibajak dan
diakumulasi demi kepentingan-kepentingan tertentu. Penghormatan terhadap Allah
dalam tubuh perempuan dibangun bukan hanya dengan menafikan kejahatan masa lalu
yang penuh bobrok, tetapi dengan penyelesaian yang adil. Di sini adil berarti ada
pengakuan dan penghormatan secara total terhadap Allah dalam diri perempuan,
pelaku kajahatan berani menerima konsekuensi hukum atas tindakannya dan juga
menghentikan mata rantai kejahatan terhadap perempuan.
Yohanes Paulus II mengajak semua manusia agar
memusatkan perhatian pada makna the
language of the body (bahasa-dalam-tubuh).[18]
Bahasa-dalam-tubuh masuk ke dalam struktur integral dari tanda sakramental,
yang subjek utamanya adalah manusia.[19]
Dalam bahasa-dalam tubuh, manusia saling memberikan sakramen kepada satu sama
lain.[20]
Manusia hendaknya membaca kembali makna bahasa-dalam-tubuhnya ini dalam
tindakan nupisal tubuh. Artinya manusia mesti memberikan diri secara penuh dan
total terhadap sesamanya (perempuan), agar terhindarnya segala bentuk
perzinahan, penindasan, eksploitasi dan kejahatan perdagangan tubuh manusia. Kesanggupan
untuk melihat dan memaknai tubuh manusia (perempuan) sebagai sakramen
memampukan manusia untuk mengatakan bahwa ia selalu terpanggil untuk menyatakan
dan/ atau memperlihatkan Allah yang tak terlihat.
5.
Penutup
Berdasarkan analisis di atas, berikut penulis
mengafirmasi bahwa segala bentuk kejahatan, penindasan dan eksploitasi terhadap
tubuh perempuan merupakan akibat langsung dari kesimpangsiuran makna tubuh.
Tubuh perempuan hanya dilihat oleh para lelaki dan kaum kapitalis sebagai
komoditas atau barang yang layak diperdagangkan di pasar bebas. Kesimpangsiuran
makna atas tubuh turut mempengaruhi cara pandang manusia terhadap tubuhnya
sendiri, tubuh orang lain di hadapannya dan Allah. Desakralisasi makna tubuh
ini terutama dipengaruh oleh hukum rimba pasar bebas tanpa kendali, yang
mengakumulasi segala sesuatu sebagai komoditas. Di tengah pendemi ini,
tumbalnya ialah kelompok rentan, terutama para perempuan. Meskipun demikian,
kita belum terlambat untuk memerangi dan menghentikan tindakan kejahatan
terhadap tubuh perempuan. Kita sangat dibantu oleh refleksi teologis Yohanes
Paulus II tentang tubuh sebagai teologi dan sakramen.
Yohanes Paulus II telah merenungkan kegelisahan tubuh
perempuan sejak beberapa tahun lalu. Yohanes Paulus II yang membaktikan dirinya
pada persoalan-persoalan kesimpangsiuran makna tubuh, yang merupakan persoalan
yang tidak terselesaikan sepanjang sejarah umat manusia. Inilah bencana
kemanusiaan terbesar, selain peperangan, bencana alam, dan situasi lainnya di
dunia ini. Terkadang hubungan antara manusia, tubuhnya dan teologi yang
dipraktikkan tidak jelas dan tidak seimbang, akibatnya banyak kali terjadi
kasus pengrusakan atas tubuh manusia. Jika kita ingin merenungkan kontribusi Yohanes Paulus II pada diskusi tubuh teologis manusia,
istilah 'tubuh teologis' itu sendiri menjadi titik fokus yang
paling penting dalam usaha
merevolusi pandangan manusia tentang tubuh dan seksualitas. Membaca
dan merenungkan kembali makna tubuh teologis Yohanes Paulus II sangat relevan
di tengah maraknya praktik kejahatan terhadap perempuan di tengah pandemi ini.
Jadi, apa yang bisa dilakukan oleh Yohanes Paulus II? Apa, jika ada, yang mungkin berkontribusi pada
konseptualisasi tubuh
sebagai teologi, dan di area mana
hal ini mungkin terjadi? Pertama, dalam beberapa tahun terakhir pasca Yohanes Paulus II berbicara tentang tubuh
manusia dan seksualitas,
beberapa teolog telah menyelidiki secara teologis makna manusia yang bertubuh dan
seksualitas. Satu pengamatan
di bidang teologi tubuh adalah bahwa refleksi teologi telah
difokuskan pada situasi dengan hasil yang pasti, terutama pada perempuan dan kelompok rentan lainnya. Tubuh
teologis perempuan, bagaimanapun juga
termasuk situasi di mana kesimpangsiuran atas
makna tubuh berlaku.
Kedua, kita barangkali
dapat mengharapkan para teolog baru untuk mencurahkan perhatian yang lebih besar pada analisis kompherensif tentang tubuh manusia dan
seksualitas dari sudut pandang teologi tubuh Yohanes Paulus II, khususnya analisis yang berkaitan
dengan kejahatan-kejahatan
di industri seks, prostitusi, perdagangan organ tubuh dan kasus istri kontrak
yang dibeli untuk menghasilkan anak, dan kemudian dijual sesuai imperatif
diskriminatif pasar bebas. Hal ini sejalan dengan tren umum dalam dinamika
globalisasi ekonomi pasar bebas, yang melihat dan mengakumulasi segala sesuatu,
termasuk manusia perempuan sebagai komoditas. Ketiga,
diskusi tentang manusia
yang bertubuh, bencana kemanusiaan dan teologi tubuh harus terus berlanjut. Hal
ini penting untuk pembebasan dan kemerdekaan perempuan, dan peradaban sejarah
umat manusia.
Keempat, dan akhirnya, dalam beberapa tahun terakhir, terutama di tengah pandemi ini, gagasan tentang bencana tubuh perempuan akibat kesimpangsiuran makna tubuh
teologis, yang menonjol sejak tahun 1980-an oleh Yohanes Paulus II, tetapi
kemudian tidur selama beberapa tahun, telah muncul kembali ketika pandemi
covid-19 menerkam manusia. Pasalnya di tengah pandemi ini perempuan rentan jadi
korban kekerasan dan kejahatan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Kita
pun harus mengaitkan sejumlah bencana alam dengan bencana kemanusiaan (tubuh
teologis) perempuan, dan refleksi teologis tubuh pada masa mendatang.
Jadi, hemat saya, selalu ada potensi kejahatan
terhadap tubuh perempuan sebagai teologi dan sakramen, wilayah pengetahuan yang
sampai saat ini relatif sedikit dieksplorasi oleh peneliti, teolog, dan filsuf.
Di sini terdapat implikasi lanjut, yakni pandangan secara baru terhadap manusia
yang bertubuh, tubuh sebagai teologi dan sakramen. Refleksi teologis atas tubuh
manusia ini mungkin mempengaruhi bagian mana tugas negara, pemerintah, penegak
hukum, dan para pemimpin agama untuk membuka, membongkar akar-akar kejahatan,
menindak secara hukum pelaku kejahatan, dan menghentikan segala bentuk
kejahatan terhadap tubuh manusia (perempuan). Ajakan untuk melihat dan memaknai
tubuh secara baru dari Yohanes Paulus II hendaknya mengarah pada tindakan
praktis, dan harus segera dilakukan mulai sekarang!
CATATAN
AKHIR
[1] Kendar Umi Kulsum,
“Kebijakan Pemerintah Terhadap Perempuan pada Masa Pandemi Covid-19”, dalam Kompas.co, https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/kebijakan-pemerintah-terhadap-perempuan-pada-masa-pandemi-covid-19#utm_source=medsos_facebook_kompasdata&utm_medium=link,
diakses pada 14 Maret 2021.
[2] Deshi Ramadhani, SJ, Lihatlah Tubuhku. Membebaskan Seks Bersama
Yohanes Paulus II (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hlm. 36-37.
[3] Ibid., hlm. 37.
[4] Ibid., hlm. 22.
[5]
Paskalis Lina, Sakramentalitas Perkawinan dan Penegasan
Atas Humanae Vitae. Ikhtiar dan Refleksi atas Teologi Tubuh Yohanes Paulus II
Tentang Sakramentalitas Perkawinan dan Ensiklik Humanae Vitae (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 41-42.
[6] Ibid., hlm. 63.
[7] P. Paskalis
Lina SVD, “Menjumpai Allah Dalam Tubuh Manusia”, dalam Antonius Primus SS
(ed.), Tubuh Dalam Balutan Teologi
(Jakarta: Penerbit Obor, 2014), hlm. 18.
[8] Dr.
Alexander Jebadu SVD (Ed.) Manusia Bukan
Kambing. Bongkar dan Hentikan Kejahatan Perdagangan Jual-Beli Manusia (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2021), hlm. 196.
[9] Robert
Mirsel dan John Manehitu, “Komoditi yang Disebut Manusia: Membaca Fenomena
Perdagangan Manusia di NTT dalam Pemberitaan Media”, dalam Jurnal Ledalero, 13: 2 (Ledalero, Desember 2014), hlm. 365-397.
[10] Ruth Indiah Rahayu, “Membawa
Tubuh Perempuan ke Pasar
‘Tuhan’”, dalam Ruth Indiah Rahayu et al., Tuhan, Perempuan, dan Pasar (tanpa
tempat: IndoPROGRESS, 2019), hlm. 39.
[11] Amirullah, “Komnas Perempuan:
Ada 299.911 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Sepanjang 2020”, dalam Tempo.co, https://nasional.tempo.co/read/1439271/komnas-perempuan-ada-299-911-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-sepanjang-2020/full&view=ok, diakses pada 07 Maret 2021.
[12] Ibid.,
[13] Karl
Marx, Capital: A Crtique of Political
Economy. Volume One (New York: International Publishers,
1867/1967), hlm. 163-177.
[14] Bdk. berita pada link ini: Punya
Libido Seks Tinggi, Istri Dijual Suami ke Pria Hidung Belang, https://radarsurabaya.jawapos.com/read/2020/06/19/200019/punya-libido-seks-tinggi-istri-dijual-suami-ke-pria-hidung-belang; Berdalih Butuh Duit, Pria Ini
Tega Jual Istrinya Lewat Twitter, https://radarsurabaya.jawapos.com/read/2020/03/14/183776/berdalih-butuh-duit-pria-ini-tega-jual-istrinya-lewat-twitter; Suami Jual Istri Layani Pria
Lain Demi Bayar Utang Biaya Lahir Anak, https://radarsurabaya.jawapos.com/read/2019/07/04/144472/suami-jual-istri-layani-pria-lain-demi-bayar-utang-biaya-lahir-anak; Suami Jual Istri Demi Uang,
Dipukul Pakai Helm Jika Tak Setoran, Korban Rudapaksa Jadi Alasan Pelaku, https://wartakota.tribunnews.com/2020/11/30/suami-jual-istri-demi-uang-dipukul-pakai-helm-jika-tak-setoran-korban-rudapaksa-jadi-alasan-pelaku.
[15] Melkisedek
Deni, “Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir Pasar Bebas”, dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/10/perempuan-bukan-komoditas-mutakhir-pasar-bebas/
diakses pada selasa 13 April 2021.
[16] Georg
Ritzer, Teori Sosiologi. Dari Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, diterj. Saut Pasaribu, Rh.
Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.2., 2014), hlm.
510.
[17] Melkisedek
Deni, “Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir Pasar Bebas”, dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2021/03/10/perempuan-bukan-komoditas-mutakhir-pasar-bebas/
diakses pada selasa 13 April 2021.
[18] Yang dimaksudkan dengan the language of body bersifat universal
dan permanen, karena menyampaikan arti atau pesan yang memang sudah tercetak melekat pada dan dalam tubuh
manusia sejak awal mula diciptakan. Bdk penjelasan Deshi Ramadhani, op. cit., hlm. 184-186.
[19] Ibid., hlm. 186.
[20] Paskalis
Lina, Sakramentalitas Perkawinan dan
Penegasan Atas Humanae Vitae. Ikhtiar dan Refleksi atas Teologi Tubuh Yohanes
Paulus II Tentang Sakramentalitas Perkawinan dan Ensiklik Humanae Vitae
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 41.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Jebadu,
Alexander (Ed.), Manusia Bukan Kambing. Bongkar dan Hentikan Kejahatan Perdagangan
Jual-Beli Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2021).
Lina,
Paskalis., “Menjumpai
Allah Dalam Tubuh Manusia”, dalam Antonius Primus SS (ed.), Tubuh Dalam Balutan Teologi (Jakarta:
Penerbit Obor, 2014).
Lina,
Paskalis., Sakramentalitas Perkawinan dan
Penegasan Atas Humanae Vitae. Ikhtiar dan Refleksi atas Teologi Tubuh Yohanes
Paulus II Tentang Sakramentalitas Perkawinan dan Ensiklik Humanae Vitae
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2018).
Marx, Karl.,
Capital: A Crtique of Political Economy. Volume One (New York: International Publishers, 1867/1967).
Rahayu, Ruth Indiah., “Membawa Tubuh Perempuan ke Pasar ‘Tuhan’”, dalam Ruth Indiah Rahayu
et al., Tuhan, Perempuan, dan Pasar (tanpa tempat: IndoPROGRESS,
2019).
Ritzer,
Georg., Teori Sosiologi. Dari Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, terj. Saut Pasaribu, Rh.
Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014).
Ramadhani, Deshi., Lihatlah Tubuhku. Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2009).
Jurnal
dan Internet:
Mirsel,
Robert dan John Manehitu, “Komoditi yang Disebut Manusia: Membaca Fenomena
Perdagangan Manusia di NTT dalam Pemberitaan Media”, dalam Jurnal Ledalero, 13: 2 (Ledalero, Desember 2014).
Amirullah, “Komnas Perempuan: Ada
299.911 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Sepanjang 2020”, dalam Tempo.co, https://nasional.tempo.co/read/1439271/komnas-perempuan-ada-299-911-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-sepanjang-2020/full&view=ok,
diakses pada 07 Maret 2021.
Deni,
Melkisedek., “Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir Pasar Bebas!”, dalam NTT Progresif, dalam https://nttprogresif.com/2021/03/10/perempuan-bukan-komoditas-mutakhir-pasar-bebas/ diakses pada 23 Maret 2021.
Umi Kulsum,
Kendar., “Kebijakan Pemerintah Terhadap Perempuan pada Masa Pandemi Covid-19”,
dalam Kompas.com,
https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/kebijakan-pemerintah-terhadap-perempuan-pada-masa-pandemi-covid-19#utm_source=medsos_facebook_kompasdata&utm_medium=link
diakses pada Minggu 14 Maret 2021.
*Artikel
ini pernah terbit di VOX Ledalero SERI 67/02/2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Meluhurkan Tubuh Teologis, Melampaui Kegelisahan Perempuan (Yohanes Paulus II Tentang Tubuh Sebagai Teologi dan Sakramen)"