Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perkawinan Anak dan Potret Perjuangan Perempuan di Indonesia

Melki Deni

Akhir-akhir ini Kompas berturut-turut melaporkan kasus perkawinan anak yang semakin marak terjadi di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan, pada masa pandemi ini sejumlah anak dari keluarga miskin dan kelompok rentan yang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan atas putus sekolah, karena menikah. Hal ini terutama disebabkan oleh faktor ekonomi, meskipun juga dipengaruhi oleh faktor lain, seperti budaya, agama, pergaulan bebas dan politik. Akan tetapi, kasus perkawinan anak tentu saja mengancam dan memperburuk masa depan perempuan dan anak.

BPS, Bappenas, Unicef, serta Pusat Kajian dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia melaporkan, pada 2018 Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia (Kompas, 19/04/2021). Pada 2018 jumlah perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun diprediksi 1,22 juta orang.

Di tengah kondisi pandemi covid-19 perkawinan anak semakin meningkat, karena persoalan ekonomi dan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Retno Listyarti, anggota KPAI Bidang Pendidikan menyatakan, pada 2020 terdapat 119 kasus anak putus sekolah karena menikah. Hampir separuh 2021 terdapat 33 kasus anak putus sekolah, karena menikah. Penyebab utama anak putus sekolah ialah kesulitan ekonomi (Kompas, 19/04/2021). Perkawinan anak seolah-olah menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi masalah kesulitan ekonomi dan ketimpangan sosial.

Laporan kasus perkawinan anak tersebut di atas tentu saja tidak mewakili sejumlah kasus perkawinan anak di berbagai daerah yang luput dari perhatian publik, media massa dan penelitian. Anak dinikahkan tidak hanya disebakan oleh faktor ekonomi, tetapi juga alasan-alasan lain. Dalam tulisan ini, perkawinan anak identik dengan perjuangan perempuan. Perjuangan untuk menghentikan perkawinan anak perempuan di bawah umur dan mengakhiri penindasan terhadap perempuan merupakan perjuangan kita semua.

Potret Perjuangan Perempuan

Pada 1948 PBB melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menentang dan mengutuk segala kejahatan atas kemanusiaan. Akan tetapi bukan berarti dengan mendeklarasi HAM secara internasional, pelanggaran atas HAM tidak ada lagi. Pelanggaran atas HAM masih terus dilakukan terutama di tengah kondisi pandemi ini. Hal ini tampak dalam kasus perkawinan anak usia dini, kekerasan, diskriminasi dan perdagangan manusia.

Jauh sebelum itu, Kongres Perempuan Pertama berlangsung di Yogyakarta Pada 22 Desember 1928. Kongres ini diilhami oleh Soejatin (yang berusia 21 tahun pada waktu itu), yang bekerja sama dengan Nyi Hadjar Dewantara dan Nyonya RA Soekanto. Kongres Perempuan Pertama ini dihadiri oleh 600 peserta sebagai perwakilan dari berbagai organisasi perempuan di Indonesia (Saparinah Sadli, 2018). Para aktivis perempuan menghendaki semua perempuan bisa bebas untuk mendapatkan hak-hak politis, ekonomi, identitas kewarganegaraan, pendidikan dan pengakuan. Akan tetapi perjuangan ini mendapat perlawanan lebih sengit dan kejam, dan bahkan mematikan, tatkala perempuan berusaha melawan, dan memprotes patologi sosial saat itu.

Hilangnya ekonomi sistem subsistensi yang ada di masyarakat Eropa sebelum masa kapitalisme, kesatuan antara produksi dan reproduksi pun berakhir seiring dengan aktivitas-aktivitas yang terbagi ke dalam perbedaan hubungan sosial dan dibedakan secara seksual (Fathimah Fildzah Izzati, 2020). Perempuan dipandang sebagai pengganggu dalam setiap pengambilan kebijakan politis-ekonomi. Perempuan acap kali tidak dihargai, disubordinasi dan ditolak dari konstelasi politik. Di tempat industri periklanan atau perfilman, perempuan diseleksi dengan kriteria-kriteria tertentu oleh produser untuk menjadi bintang iklan, dan menolak yang tidak sesuai dengan kriteria-kriteria, dan kemudian mereka dipandang sebagai produk gagal.

Dalam kehidupan rumah tangga, tidak sedikit perempuan disubordinasi, diperalat, ditindas dan dikalkulasi secara bisnis-ekonomi oleh suami. Di tempat lain, para perempuan bekerja demi subsistensi dan bertahan hidup, sementara pemodal yang mempekerjakan perempuan beroperasi demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi. Perempuan direkrut dan/ atau dibeli, dijual ke pemilik modal besar. Kemudian mereka dijadikan sebagai pekerja rumah tangga, pekerja di industri seks (eksploitasi seksual) atau diambil organ tubuhnya seperti jantung dan ginjal, dan dijual kepada orang-orang yang butuh. Perempuan tidak lebih bernilai daripada benda-benda dan komoditas-komoditas (Ruth Indiah Rahayu, 2019: 46).

Diskriminasi semacam ini menciderai martabat perempuan sebagai manusia, dan menyumbat semangat revolusioner perempuan akan pembebasan dan pengakuan. Perdagangan dan penindasan terhadap perempuan juga menghancurkan secara perlahan karakter, potensi manusiawi dan moral kaum perempuan. Perempuan tidak hanya dipandang sebagai makhluk pekerja, tetapi juga sebagai alat kerja dan pekerjaan.

Di dalam organisasi-organisasi industri modern, pengendalian sederhana cenderung digantikan dengan pengendalian teknis yang impersonal dan lebih canggih dan birokratis (Georg Ritzer, 2014:510). Perempuan tidak dibiarkan oleh pemilik modal untuk mengembangkan potensi manusiawi, cara-cara pengenalan baru, ide-ide baru, keahlian, kreativitas, bahasa baru dan pengetahuan perempuan. Seolah-olah perempuan hidup dan bekerja bukan untuk mengekspresikan potensi manusiawinya dan memenuhi kebutuhannya, melainkan demi meningkatkan keuntungan bagi sang suami, politisi dan/ atau pemilik modal.

Memperjuangkan HAM: Meluhurkan Perempuan

Di balik sekelumit potret perjuangan perempuan Indonesia semacam di atas, masih ada perempuan yang terus menerus berjuang sepanjang hidupnya—mencoba mengubah sejarah penindasan menjadi revolusi pembebasan yang emansipatoris, dan kesadaran palsu menjadi kesadaran otonom manusiawi yang memerdekakan. Penindasan terhadap perempuan merupakan penindasan terhadap kemanusiaan universal. Perempuan dan anak mesti mendapatkan hak-hak sipil, sosial, pendidikan, agama dan politiknya.

Perkawinan anak bukan solusi yang tepat atau solusi satu-satunya untuk mengatasi masalah kesulitan ekonomi. Perkawinan anak dapat menghancurkan masa depan anak. Perkawinan anak juga berarti membiarkan anak diperalat dan dikendalikan tanpa kendali oleh pelaku (sang suami). Perkawinan anak merupakan tindak kejahatan kemanusiaan, sebab telah melanggar hak-hak asasi anak. Akhirnya menikahkan anak memproduksi risiko-risiko besar baik bagi anak itu sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, agama, pendidikan, politik, maupun ekonomi negara.

Penderitaan perempuan dan anak merupakan penderitaan kita semua. Penderitaan perempuan dan anak hanya bisa sembuh bila kita semua berani membongkar akar-akar kejahatan (perkawinan usia dini) dan dengan cekat memerangi dan menghentikannya. Pembebasan dan kemerdekaan masa depan perempuan dan anak dibangun bukan hanya dengan menolak penderitaan masa lalu yang penuh dengan borok, tetapi juga dengan penyelesaian yang adil. Adil berarti kita semua, seluruh masyarakat, kepala daerah, penegak hukum dan negara harus mengakui dan menerima perempuan dan anak sebagai sesama manusia dalam keberlainan, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam UU NO 35/2018 tentang Perlindungan Anak.

Kita bersama memperjuangkan hak-hak asasi perempuan dan anak dalam segala lini kehidupan. Perjuangan hak-hak asasi perempuan dan anak merupakan upaya kita bersama untuk meluhurkan kemanusiaan perempuan dan anak. Melalui perjuangan hak-hak asasi perempuan dan anak, kita disadarkan kembali akan kemanusiaan kita. Membiarkan praktik kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak sama saja kita merontokkan kemanusiaan kita.

*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 8 Mei 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.

Post a Comment for "Perkawinan Anak dan Potret Perjuangan Perempuan di Indonesia"