Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hutan Bowosie, Pembajakan Ruang, dan Upaya Perebutan Kembali Ruang Demokrasi

Melki Deni

 

Hari-hari ini hutan Bowosie-Labuan Bajo-Flores-NTT yang diwacanakan oleh pemerintahan Joko Widodo melalui Badan Pelaksana Otorita-Labuan Bajo Flores (BPO-LB) mendapat sorotan publik. Agenda kebijakan pengalihfungsian hutan lindung menjadi bisnis ekonomi pariwisata tentu saja menghancurkan kelestarian hutan dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Hutan Bowosie dicatat sebagai sumber mata air bagi masyarakat di Labuan Bajo. Jika hutan lindung ini diprivatisasi dan dieksploitasi, maka kota Labuan Bajo akan mengalami kekrisisan air. Selain itu peluang banjir begitu besar, karena hutan Bowosie juga tercatat sebagai wilayah resapan hujan (Venansius Haryanto, “Hutan Bowosie dalam Ancaman Proyek Wisata”, dalam Mongabay.co.id., https://www.mongabay.co.id/2021/05/04/hutan-bowosie-dalam-ancaman-proyek-wisata/ diakses pada 8 Mei 2021). Inilah model kapitalisasi ruang, yang darinya timbul segala kekerasan, penindasan, pembisuan, reitifikasi, dan eksploitasi secara membabi buta terhadap manusia.

Kapitalisasi Ruang: Sebuah Paradoks

Prinsip liberalisasi basar barangkali merupakan gagasan ekonomi yang paling mengkhawatirkan sejak 1970-an sampai hari ini. Hanya beberapa negara yang mengatakan dirinya anti-liberalisasi pasar, seperti China, negara bekas Uni Soviet dan sekutunya, negara-negara Eropa Timur, dan Indonesia salah satunya, ternyata penganut rahasia, seperti “pembunuh berdarah dingin”. “Prinsip pembebasan pasar mendorong ekspansi pasar ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak tersentuh komersialisasi, seperti seni, agama, pendidikan, pelayanan kesehatan, dst.” (F. Budi Hardiman, 2018: 126).

Prinsip liberalisasi pasar tidak terikat pada wilayah geografis dan demografis tertentu, tetapi melampauinya, dan kemudian menjinakkan dan merombak seluruh tatanan sosial ekonomi, politik, tradisi, agama dan kebudayaan. Liberalisasi pasar mengandaikan adanya wilayah atau ruang dan waktu yang dikuasai, diatur dan dikendalikan oleh kaum kapitalis. Pembebasan pasar menimbulkan dan mereproduksi risiko dalam kelompok masyarakat yang tidak bermodal dan tidak punya akses terhadap alat-alat produksi.

Risiko-risiko lama—bencana, kelaparan, kemiskinan, pengangguran, kesepian masa tua, dan kematian—tidak tersembuhkan, malah diperhadapkan dengan risiko-risiko baru yang melampaui kesanggupan dan kewaspadaan. Kaum miskin dan kelompok rentan sangat rawan diperdagangkan di dunia pasar—sebab pasar cenderung mengakumulasi segalanya sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan—terutama ketika tanah-tanah sudah dijual ke kaum kapitalis. Hal ini terbukti bila kita menyaksikan bangunan-bangunan di kota dengan tembok tinggi-tinggi, penjagaan yang ketat, CCTV lengkap, dst.

Ketika kaum kapitalis merampas tempat/ruang, membangun tembok tinggi-tinggi, mempekerjakan saptam, menetapkan aturan kerja dan bersekongkol dengan aparatur negara, siapa lagi yang dapat mengakses ruang itu? Kalau kita sebagai orang asing/baru mau memasuki ruang privat itu, kita wajib membayar dan mengikuti aturan permainannya. Di dalam ruang privat itu, atau dalam istilah Henri Lefebvre “Ruang Abstrak”, kita atau siapa pun yang berjalan mengitari ruang abstrak itu tidak akan tahu apa yang terjadi di dalamnya. Ruang privat seolah-olah menyediakan, memfasilitasi, menjustifikasi dan meningkatkan derajat eksploitasi itu. aksi-aksi kekerasan di dalamnya. Bukankah justifikasi adalah sebuah kekerasan juga? (F. Budi Hardiman, 2018: 130).

Para pemodal meyakini diri bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan sebagai tindakan penyelamatan agar para pekerja dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para pemodal juga yakin bahwa dengan tindakan-tindakan seperti itu, selain membuat mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mereka pun telah berhasil “menyelamatkan” para pekerja dari kemiskinan, kelaparan dan ancaman kematian. Kita sepakat dengan Karl Marx dalam bukunya berjudul Capital A: Critique of Political Economy Volume I  (1867, 1887, 1992: 519) bahwa “Taking the exchange of commodities as our basis, our first assumption was that capitalist and labourer met as free persons, as independent owners of commodities; the one possessing money and means of production, the other labour-power”. Kekerasan di dalam ruang privat seolah-olah tidak hanya aspek justifikasi berperan, tetapi juga aspek motivasi liberalisasi pasar. Keduanya berkelindan: motivasi liberalisasi pasar menimbulkan justifikasi atas tindakan kekerasan, dan justfikasi atas tindakan kekerasan melanggengkan motivasi liberalisasi pasar.

Dalam ruang privat para pekerja tidak hanya menjadi korban kekerasan kaum kapitalis, tetapi juga oleh sesamanya. Seolah-olah kekerasan itu wajib dipraktikkan dan diwariskan. Kekerasan oleh para pekerja atas para pekerja yang lain memiliki motif yang jelas, dan masih mempertimbangkan dimensi kemanusiaan. Akan tetapi kekerasan oleh kaum kapitalis atas para pekerja tidak dimaksudkan untuk “mematikan” para pekerja, tetapi untuk mendaruratkan kemanusiaan para pekerja dengan mereduksi para pekerja entah menjadi komoditas, entah menjadi alat produksi, entah menjadi pengendali atas teknologi canggih dalam perusahaan. Kekerasan-kekerasan terorganisasi, struktural dan tersistem yang terjadi ruang privat itu hanya bisa diselesaikan di dalam ruang privat itu juga.

Karena bisnis ekonomi merupakan bisnis justifikasi tindakan kekerasan atas nama kepentingan akumulasi modal kaum kapitalis yang anonim, maka kekerasan-kekerasan yang dialami korban di ruang privat itu sulit diselesaikan di ranah hukum. Supremasi hukum normatif dan kekuasaan negara tidak dapat bertindak secara hukum atas pelaku kekerasan yang anonim. Di ruang privat kekerasan-kekerasan yang sulit dikontrol itu seolah-olah mendapat legitimasi dan bebas dari pengontrolan supremasi hukum negara. Jelas bahwa untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih, kaum kapitalis harus “merusakkan” dan mereduksi kemanusiaan manusia. Dalam arti ini, liberalisasi pasar adalah sebuah gerakan anti-kemanusiaan dan anti-sistem politik yang memperjuangkan kemanusiaan universal, seperti demokrasi yang ditunggangi oleh kepentingan kebebasan, kesetaraan, kemanusiaan, solidaritas dan toleransi.

 Wendy Brown dalam bukunya Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution (2015:17) menjelaskan “neoliberalism, a peculiar form of reason that configures all aspects of existence in economic terms, is quietly undoing basic elements of democracy. These elements include vocabularies, principles of justice, political cultures, habits of citizenship, practices of rule, and above all, democratic imaginaries… Markets and money are corrupting or degrading democracy, that political institutions and outcomes are increasingly dominated by finance and corporate capital, or that democracy is being replaced by plutocracy—rule by and for the rich.” Di ruang privat kaum kapitalis neoliberal, supremasi hukum negara dan demokrasi kehilangan daya gigitnya. Aset-aset manusiawi para pekerja tidak dapat teraktualisasi jika tidak diubah menjadi komoditas. Selama ini sampai kapan pun liberalisasi pasar tidak mengurangi penderitaan dan mengatasi kemiskinan para pekerja, tetapi justru memperbanyak ancaman kematian, penderitaan, risiko, dan bahaya.

Membenahi Demokrasi: Merebut Kembali Ruang

Bagaimana kita melampaui risiko yang ditimbulkan dan direproduksi oleh kaum kapitalis melalui agenda kapitalisasi ruang seperti kebijakan pengalihfungsian hutan lindung Bowosiedan ruang-ruang publik lainnya, menjadi bisnis pariwisata, dan mencapai kebebasan manusiawi, keadilan sosial, kebaikan bersama dan kesetaraan? Satu-satunya harapan kita ialah demokrasi. Dalam negara seperti Indonesia yang menganut sistem demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sebagaimana yang telah digarisbawahi oleh Mohammad Hata sejak awal 1930-an, segala bentuk ketimpangan sosial ekonomi akibat propaganda liberalisasi pasar harus dihadapi dengan demokrasi. Kekuatan demokrasi ekonomi mesti berperang melawan dan mengendalikan propaganda privatisasi ruang.

Demokrasi membuka dan menyediakan peluang-peluang kebebasan, keadilan, perjuangan perikemanusaan, permusyawaratan dan kesetaraan. Negara wajib menjamin dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat dan bertujuan demi keadilan seluruh masyarakat warga Indonesia, bukan malah menunggangi kepentingan plutokrat dan monster kleptokrat-feodal. “Demokrasia akan menguntungkan demos bila terjadi sinergi antara sistem negara hukum dan masyarakat warga, tetapi jika sinergi itu absen, yang diuntungkan oleh demokrasi bukanlah demos, melainkan hanyalah minoritas yang memiliki akses ke dalam kratos”, yakni para oligark-kapitalis dan monster kleptokrat-feodal (Hardiman, 2013: 70).

Membenahi demokrasi tak cukup hanya terejawantahkan melalui supremasi hukum normatif dan penegakan hukum secara elitis-biroktratis. Selain itu, diusahakan pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan yang menegaskan bahwa demokrasi lebih berciri kesetaraan, keadilan dan kebebasan, dan berpihak pada kemanusiaan daripada sekadar kepentingan akumulasi kapital atau kapitalisasi/privatisasi ruang. “Demokrasi, lebih tepatnya demokratisasi, adalah upaya melibatkan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan agar tidak ada lagi yang direnggut hak-haknya” (Anggara Indraswara, 2018).

Masyarakat warga Indonesia dapat “melepaskan diri dari moncong oligark-kapitalis ‘dan monster kleptokrat-feodal’, hendaknya tidak melarikan diri dari demokratisasi, melainkan melanjutkannya, karena kelemahan dan kekurangan demokrasi harus diatasi dengan demokratisasi” (F. Budi Hardiman, 2013: 71). Bila selama ini demokrasi kita dikepung dan dibajak oleh liberalisasi pasardemokrasi seolah-olah membuka ruang liberalisasi pasar melalui propaganda privatisasi ruang publikkita sekarang mesti merebut kembali ruang itu dengan demokratisasi pula.

Demokratisasi tidak boleh dibiarkan dikendalikan oleh kepentingan akumulasi kapital oligark-kapitalis dan monster kleptokrat-feodal semata, tetapi demokratisasi mesti membatasi dan membajak kebijakan liberalisasi pasar dan privatisasi ruang yang sarat akan diskriminatif, ketimpangan dan pereduksian kemanusiaan manusia menjadi komoditas. Upaya merebut kembali ruang demokratis ini dapat dilakukan dengan konsolidasi ilmiah, dan konsolidasi gerakan sosial anti-kapitalisasi ruang. Konsolidasi gerakan dari bawah yang menolak kebijakan kapitalisasi ruang merupakan komunikasi politik yang berciri demokratis, atau lebih tepatnya agenda dasariah dari proses demokratisasi. Apabila kita dapat merebut kembali ruang demokrasi, peluang untuk mengendalikan dan membajak kebijakan privatisasi ruang publik semakin terbuka dan terlegitimasi.

*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi Sabtu, 15 Mei 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.

Post a Comment for "Hutan Bowosie, Pembajakan Ruang, dan Upaya Perebutan Kembali Ruang Demokrasi"