Reproduksi Ruang dan Kemaslahatan Bersama: Kritik atas Kapitalisme Neoliberal sebagai Sebab Pokok Kejahatan Kemanusiaan
|
Walau acapkali kurang
disadari oleh banyak peneliti dan ilmuwan Indonesia, ruang dan kapitalisme
neoliberal telah menjadi sindrom global yang mendaruratkan, menghancurkan dan
terus membayang-bayangi keberadaan masyarakat global. Secara esensial kedua sindrom ini tampak
berbeda jauh, namun saling bertautan dalam kehidupan ekonomi politik ini kini
menjadi tantangan masyarakat global. Menjadi tantangan global, karena habitus
ruang dan kapitalisme neoliberal berpotensi membawa ketimpangan sosial-ekonomi
yang masif dalam kehidupan masyarakat global.
Dalam tulisan ini tesis dasar
saya ialah kejahatan kemanusiaan di dalam ruang, bagaimana pun bentuk dan
motifnya, senantiasa diciptakan dan didukung oleh kapitalisme neoliberal
global. Kapitalisme neoliberal sebagai sistem ekonomi global yang mengangkangi
sistem politik demokrasi dapat menciptakan dan mereproduksi ruang menjadi
tempat rahasia ruang produksi dan terlegitimasinya praktik kejahatan
kemanusiaan. Tesis dasar ini berimplikasi pada tesis berikutnya, konsolidasi
intelektual dan gerakan kontrol
sosial-demokratis menghentikan
kejahatan kemanusiaan mutlak harus dimulai dengan melampaui watak kapitalisme
neoliberal dalam masyarakat dengan menegakkan kembali demokrasi.
Ikhtiar tulisan ini ialah kemaslahatan bersama di dalam ruang yang dikendalikan dan dikalkulasi
oleh kaum kapitalis, dan demokrasi sebagai sistem politik yang ideal. Analisis
saya dalam tulisan ini tidak berfokus pada kasus dalam ruang konteks tertentu,
tetapi lebih merupakan kajian teoretis atas ruang dan kapitalisme neoliberal secara keseluruhan. Tulisan ini tidak bernada risalah, atau semacam
manifesto, tetapi analisis teoretis semata atas fenomena kapitalisasi ruang.
Kapitalisme: Merambah Ruang
Persoalan seputar kapitalisasi
ruang merupakan salah satu masalah hangat yang mesti diselisik, dianalisis dan diperjuangkan demi kemaslahatan bersama. Sejak 1970-an dalam
bukunya The Production of Space, Henri
Lefebvre (1974/1984/1991) menekankan perlunya teori Marxian mengalihkan
fokusnya dari alat-alat produksi ke produksi ruang. Lebih tepatnya Lefebvre
mengatakan teori Marxian perlu memperluas perhatiannya dari produksi
(industrial) ke produksi ruang: dari produksi menuju reproduksi (George Ritzer,
2014: 525).
Menurut Ritzer, “ruang
membantu dalam berbagai cara untuk mereproduksi sistem kapitalis, struktur
kelas di dalam sistem ekonomi itu, dan seterusnya. Setiap tindakan revolusioner
mesti memerhatikan penyusunan kembali ruang.” Hal ini berangkat dari agenda
kaum kapitalis yang menghendaki proses sirkulasi kapital harus terus berjalan
tanpa kendali agar proses penciptaan, reproduksi ruang dan pencapaian nilai
surplus dalam bentuk profit tidak terganggu. Kaum kapitalis melakukan ekspansi
geografis (ruang), mereproduksi dan mereorganisasi ruang agar dapat
berinvestasi tanpa henti oleh kendala apa pun.
Kaum kapitalis selalu
didorong membuka dan mereproduksi ruang untuk ekstraksi komoditas baru, yang disebut
dengan neo-imperialisme dan neo-kolonialisme. Libido ekonomi untuk mencari
ruang yang menguntungkan bagi akumulasi kapital ini membuat kaum kapitalis
selalu menciptakan pasar yang kondusif di seluruh dunia.
Kapitalisme memberi landasan
bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi global bukan hanya dari alat-alat
produksi, tetapi terutama ruang sebagai alat-alat dominasi yang lebih efisien
dan mutakhir. Kaum kapitalis mengendalikan,
menghegemonisasi dan mendominasi ruang demi akumulasi kapital dan penimbunan
kekayaan. Ruang itu kemudian seolah memfasilitasi, memelihara dan melanggengkan
praktik-praktik eksploitasi, pembisuan dan kekerasan pemilik kapital atas
komoditas, alat-alat produksi dan tenaga kerja di dalamnya.
Kapitalisme senantiasa
berekspansi melampaui batas geografis tertentu. Globalisasi semakin memudahkan
dan mempercepat penyebarannya. Ekspansi kapitalisme ini bermaksud tidak hanya
memperluas ruang produksi untuk membangun ekonomi kapitalis, tetapi juga
memperlebar ruang konsumsi dan ruang eksploitasi. Dari sanalah ruang mulai
terkategorisasi.
Lefebvre mengategorisasi
ruang menjadi praktik ruang, ruang mutlak, dan ruang diferensial. Praktik ruang bagi Lefebvre meliputi produksi dan reproduksi ruang.
Hal ini tampak dalam fenomena pembaruan perkotaan. Kapitalis bekerja sama
dengan perencana dan arsitek perkotaan guna memburu renten di balik proyek
pembaruan kota itu. Kaum miskin tentu saja tidak mempunyai akses ekonomi dalam
persaingan perebutan ruang perkotaan, karena itu mereka terpaksa berpindah ke
tempat baru. Di tempat baru kaum miskin terpaksa beradaptasi dengan komunitas-komunitas
dan tetangga-tetangga baru, dan membangun perumahan baru. Segala sesuatu mesti
dibangun secara baru akan berdampak juga pada prospek perekonomian masa depan.
Praktik ruang, kata Ritzer (2014:526), kaum miskin diubah secara radikal oleh
representasi ruang oleh orang-orang yang mendukung, menciptakan dan
melaksanakan pembaruan perkotaan.
Ruang Mutlak
atau ruang alamiah yang tidak dihuni dibuat tidak otentik, diakumulasi,
dirambah atau dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik (Ibid., hlm 527). Karena telah ruang
alamiah dibuat tidak otentik oleh kelompok-kelompok dominan dalam ekonomi politik,
maka ruang itu menjelma menjadi ruang abstrak. Bagi Lefebvre, “abstract space
is a tool of power”. Ruang abstrak, demikian Ritzer, adalah suatu ruang yang
didominasi, diduduki, dikendalikan ruang otoriter (bahkan mencakup kebrutalan
dan kekerasan), ruang yang menindas. Menurut Ritzer, bukan hanya kekuasaan yang
dijalankan di dalam ruang abstrak, abstraksi ruang itu sendiri adalah suatu
bentuk kekuasaan.
Sementara ruang abstrak
membantu untuk menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi, kata Ritzer, ia sekaligus
menghasilkannya, termasuk kontradiksi-kontradiksi yang berpotensi
merobek-robeknya. Lefebvre berpandangan bahwa kekuasaan dari dan atas ruang
abstrak benar-benar menghasilkan keuntungan bagi kelompok-kelompok dominan
dalam ekonomi politik.
Ruang Diferensial menekankan perbedaan dan kebebasan
dari pengendalian atas ruang berdasarkan peran ruang di dalam dunia
sosioekonomi. Lefebvre berargumen bahwa ruang dapat berperan sebagai “kekuatan produksi; suatu komoditas; secara politis memfasilitasi
pengendalian sistem; mereproduksi relasi-relasi reproduktif
dan hak milik;
mengambil bentuk suatu superstruktur;
dan penciptaan karya-karya yang benar-benar manusiawi dan kreatif di dalam
ruang, dan kemungkinan mencocokkan ruang bagi kepentingan orang-orang yang
sedang dikendalikan dan dieksploitasi (Ritzer, 2014: 528-529).
Secara
intensif kaum kapitalis mengkapitalisasi ruang publik menjadi ruang privat
untuk memenuhi libido ekonomi dan akumulasi kepentingannya. Dari sinilah ruang
tidak hanya dimengerti sebagai fenomena tempat tinggal manusia-sosial-historis,
tetapi juga mengandung nilai ekonomi, yang menjadi tolok ukur perdagangan
kompetitif pasar bebas, peran minimum negara atas kekuasaan ekonomi liberal,
individualisme dan kebebasan pasar.
Lefebvre
menekankan peran negara guna mengendalikan dan mengembalikan ruang publik dari
praktik kekuasaan atas ruang secara privat demi memenuhi libido ekonomi dan
akumulasi kepentingan bisnis kaum kapitalis. Negara-negara modern menganut
sistem pemerintahan demokrasi, terutama setelah berakhir perang dingin pada
1990. Demokrasi dipandang sebagai sistem politik yang ideal; sistem politik
yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi
menggarisbawahi prinsip pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Demokrasi: Kultus Kemaslahatan Bersama
Akhir-akhir
ini agenda pembaruan dan pembangunan perkotaan disebabkan oleh kepemilikan
privat atas ruang. Ruang publik-demokratis dirambah dan dikalkulasi menjadi
menjadi ruang abstrak, tempat penindasan dan kekerasan atas kemanusiaan seolah
mendapat justifikasinya. Selanjutnya hal
ini berdampak pada terjadinya proses peminggiran pada kelas yang tidak memiliki
alat produksi.
Perjuangan
hak atas ruang publik-demokratis adalah bagian dari melawan kekuatan ekonomi
kapitalisme neoliberal yang tamak. Kapitalisme neoliberal global merambah ruang
publik-demokratis secara membabi buta tanpa mempertimbangkan ketersediaan
sumber saya, komoditas, dan ruang yang terbatas planet ini. Planet bumi tidak
cukup kuat menghadapi kelobaan manusia akan penimbunan kekayaan dan akumulasi
kapital. Bumi tidak cukup
kaya menjamin dan memenuhi kerakusan manusia.
Dalam pengantar buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme (2018:1),
Fred Magdoff dan John Bellamy Foster menyitir Teorema Ketidakmungkinan Herman
Daly: perekonomian tidak mungkin bisa tumbuh secara tidak terbatas dalam
lingkungan yang terbatas. Teorema Ketidakmungkinan ini dianalisis Herman Daly berdasarkan
tingkat konsumtif ala Amerika Serikat yang sangat tinggi.
Perekonomian yang sangat konsumtif ala Amerika Serikat tidak bisa diekspansi ke
seluruh penduduk dunia yang berjumlah 7 miliar.
Daly mengatakan penduduk
dunia yang berjumlah 7 miliar ini sudah jauh melampaui sumber daya planet yang terbatas. Teorema Ketidakmungkinan Daly tidak hanya berpengaruh pada persediaan
(dan ketersediaan) sumber daya bahan baku dan komoditas di
lingkungan terbatas, tetapi juga bagaimana ruang publik terbatas dijarah secara
membabi buta oleh para kaum kapitalis demi kepentingan monopoli kapital dan ekspansi
geografis produksi. Tentu saja kelas yang tidak bermodal tidak dapat membeli
dan mengkalkulasi ruang publik. Konsekuensinya jelas, bahwa kelas yang
tidak bermodal harus menjual tenaga kerjanya dan bekerja di bawah imperatif-diskriminatif
fundamentalisme pasar kaum kapitalis.
Sejarah dunia adalah sejarah
perang merebut ruang. Sejarah kemerdekaan negara diperjuangkan oleh warga
negara yang tidak punya akses ke dalam jabatan publik negara, kekuasaan atas
ekonomi atau politik, dan penguasaan/pengendalian atas kekuasaan itu.
Para warga negara membela
dan memperjuangkan batas ruang negara, sebab di dalam ruang negara ada banyak
aset yang mesti dilindungi dan diperjuangkan demi keadilan sosial dan kemaslahatan bersama. Meskipun kemudian secara tersembunyi negara
menjual-belikan ruang-ruang tertentu beserta aset-aset di dalamnya kepada kaum
kapitalis lokal dan pebisnis asing.
Demokrasi adalah
terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Di sebelah demokrasi
politik harus pula berlangsung demokrasi ekonomi dan sosial (Suwidi Tono, Kompas, 29/09/2017). Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama atas ruang
negara dan tidak
menggunakan ruang sebagai alat justifikasi penindasan dan kekerasan atas
kemanusiaan demi memuaskan libido ekonomi dan akumulasi kapital. Di sinilah
peran negara dengan kontrol demokratis atas agenda kapitalisasi ruang dalam
rangka produksi dan reproduksi ruang dan pemanfaatan surplus kapital di
dalamnya, sangat dibutuhkan.
Dalam negara demokrasi mestinya tidak memberi ruang bagi privatisasi ruang publik demi kepentingan monopoli kapitalis. Negara demokrasi mesti membongkar dan menghentikan agenda privatisasi ruang publik-demokratis menjadi ruang abstrak. Negara demokrasi mesti mengagungkan aspirasi rakyat, dan kedaulatan rakyat untuk mengkultuskan jargon bonum commune, bukan kelobaan segelintir orang super kaya. Sebaliknya, pasar di bawah kapitalisme merepresentasikan kekuasaan dari kapital, oleh kapital, dan untuk kapital (Fred Magdoff dan John Bellamy Foster, 2018:115).
Ruang publik-demokratis sebagai medium aspiratif-kritis warga negara berdaya guna untuk saling menggerakkan seluruh warga negara tanpa pandang latar belakang status ekonomi. Penegakan dan pemanfaatan ruang publik-demokratis demi kemaslahatan bersama merupakan keharusan yang mesti dijamin dan dilindungi oleh negara. Dengan demikian, inti argumen dari hak atas ruang ialah hak untuk menuntut kepemilikan kolektif atas alat produksi di dalam ruang demokratis, sehingga hasil produksi itu kemudian dapat dinikmati secara kolektif pula oleh seluruh warga negara.
*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif 8 Juni 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Reproduksi Ruang dan Kemaslahatan Bersama: Kritik atas Kapitalisme Neoliberal sebagai Sebab Pokok Kejahatan Kemanusiaan"