Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir Pasar Bebas!(Reflesi Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret)


Melki Deni

Setiap tanggal 8 Maret masyarakat dunia memperingati Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD). Sejarah Hari Perempuan Sedunia bermula dari aksi unjuk rasa pada 8 Maret 1909 dan dirintis oleh kaum sosialis di Amerika Serikat.[1] Sejarah perayaan Perempuan Sedunia ini bermula dari protes ribuan perempuan buruh yang bekerja di perusahaan pabrik tekstil di New York pada 8 Maret 1857. Pada waktu itu, perempuan buruh dibayar dengan upah yang sangat rendah, tidak sebanding dengan porduktivitas mereka.

Pada Jumat, 5 Maret 2021, Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan menerangkan bahwa sepanjang 2020 terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka tersebut menurun cukup signifikan dibandingkan laporan tahun 2019, yakni 431.471 kasus.[2] Bentuk kekerasan yang paling menonjol di ranah pribadi ini adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31 persen) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30 persen), psikis 1.792 (28 persen), dan ekonomi 680 kasus (10 persen).

Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, kasus perdagangan orang mengalami kenaikan yang tercatat sejumlah 255 kasus dibandingkan tahun sebelumnya, 212 kasus. Kasus kekerasan terhadap tenaga kerja migran mengalami penurunan dari 398 kasus menjadi 157 kasus. Tentu saja masih begitu banyak yang luput dari catatan ini di luar sana. Mereka semua membutuhkan kita semua.

Perempuan: Komoditas Mutakhir?

Sesungguhnya sejarah perempuan adalah sejarah penindasan. Penindasan terhadap perempuan tampak dalam pembagian kerja yang diskrminatif, peran sosial, status sosial dan partisipasi politis.[3] Hilangnya ekonomi sistem subsistensi (penyambung hidup) yang ada di masyarakat Eropa sebelum masa kapitalisme, kesatuan antara produksi dan reproduksi pun berakhir seiring dengan aktivitas-aktivitas yang terbagi ke dalam perbedaan hubungan sosial dan dibedakan secara seksual.[4]

Di dalam rezim sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, hanya produksi untuk pasarlah yang didefinisikan sebagai aktivitas penciptaan nilai, penimbunan modal dan peningkatan keuntungan yang maksimum. Sementara proses reproduksi tenaga kerja tidak memiliki definisi sebagai penciptaan nilai. Karena itu aktivitas reproduksi seringkali digolongkan sebagai kerja tanpa dibayar, seperti yang dialami oleh perempuan. Risikonya ialah perempuan, baik yang masih muda maupun yang sudah menikah.

Tubuh perempuan adalah komoditas mutakhir. Tubuh perempuan direduksi menjadi komoditas pasar semata-semata. Proses pereduksian akan keluhuran tubuh terempuan telah berlangsung sejak abad ke-18 sampai saat ini. Tubuh perempuan secara spesifik memiliki nilai komoditas konsumsi, dan tubuh itu dijadikan sarana pembentukan peradaban.[5]

Pengendalian tubuh ini menciderai martabat perempuan sebagai manusia dan menyumbat semangat revolusioner perempuan akan pembebasan dan pengakuan. Pengendalian tubuh juga menghancurkan secara perlahan karakter, potensi manusiawi dan moral kaum perempuan. Perempuan bekerja bukan untuk mengekspresikan potensi manusiawinya dan memenuhi kebutuhannya, malah meningkatkan keuntungan bagi kaum kapitalis. Perempuan dapat disebut sebagai produk untuk menghasilkan modal atau uang lebih banyak lagi.

Produk-produk tersebut, tulis Ritzer, mempunyai nilai tukar, yakni daripada digunakan segera, ia dipertukarkan di pasar demi uang atau untuk barang-barang lain.[6] Logika nilai tukar inilah yang dipraktikkan di lokalisasi prostitusi. Selain itu, seringkali terjadi sang suami menjual istri atau anak gadisnya demi mendapatkan uang dan dapat bertahan hidup.[7] Perempuan dikalkulasi sebagai alat pertukaran dan sirkulasi. Perempuan juga dipandang oleh kaum kapitalis sebagai sarana pemantik kekayaan melalui eksploitasi tubuh, perdagangan jual-beli perempuan, kawin kontrak dan lain-lain.   

Ritzer menjelaskan bahwa nilai guna dihubungkan dengan relasi yang intim antara kebutuhan-kebutuhan manusia dan barang-barang aktual yang dapat memenuhi kebutuhan itu.[8] Meskipun bagi Ritzer sulit untuk membandingkan nilai guna benda-benda yang berbeda, tetap bagi kaum kapitalis neoliberal tidak sulit sama sekali.

Perempuan bagi kaum kapitalis, selain dipandang sebagai manusia yang bekerja (tenaga kerja produktif), tetapi juga benda-benda (komoditas). Perempuan dapat disamakan dengan uang. Perempuan dapat dijual-beli dengan sejumlah uang demi mendapatkan uang atau modal lebih banyak lagi. Model bisnis kapitalis ini terangkum dalam rumus Karl Marx: M (Money) – C (Commodity) – M (More Money).

Demi bertahan hidup, mau tidak mau perempuan bekerja, meskipun ditindas dan dialenasi secara brutal oleh kaum kapitalis, karena biasanya kaum kapitalis menyediakan tenaga kerja cadangan. Bila perempuan tidak mau bekerja atau mengundurkan diri karena penindasan atau persoalan apa pun di tempat kerja, maka kaum kapitalis segera menggantikan para pekerja baru. Sekali lagi dalam kaca mata kaum kapitalis, perempuan adalah komoditas mutakhir yang tentu saja mudah didapat. Apakah perempuan Indonesia adalah komoditas pasar?

Perempuan Indonesia Bukan Komoditas!

Di tengah pandemi ini, kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan rawan terjadi, sebagaimana yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan di atas. Laporan catatan tahunan Komnas Perempuan itu belum menjangkau ke sudut-sudut pelosok masyarakat. Masih banyak kasus kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan yang luput dari penelitian. Perempuan Indonesia masih tidak baik-baik saja.

Perempuan Indonesia masih terbelenggu di bawah kendali laki-laki dan dominasi imperatif pasar bebas. Perempuan Indonesia belum benar-benar merasakan kebebasan berpendapat, berpolitik, berpendidikan dan berkedudukan tinggi pada bidang sosial tertentu. Meskipun beberapa perempuan yang bekerja dan mendapat kedudukan politis, namun perempuan Indonesia masih belum cukup terwakili. Suara-suara minor perempuan masih tersumbat oleh kepentingan-kepentingan dominasi hegemoni kaum lelaki dan logika fundamentalisme pasar bebas.

Perempuan menderita, maka negara sakit, menuju kepunahanya. Di sinilah negara berperan untuk mengendalikan kerakusan kaum kapitalis dan merombak sistem ekonomi negara yang berbau neoliberal. Pembangunan ekonomi politik nasional tentu sangat perlu untuk mentransormasi negara, tetapi harus dilakukan sedemikian rupa dengan terutama memperhatikan dan melindungi kaum perempuan sebagai ibu ekonomi negara.

Negara berperan untuk meningkatkan aliansi hukum dan kebijakan dalam konvensi hak-hak perempuan. Negara mesti meningkatkan usaha perlindungan sosial yang mendemonstrasikan sukses dalam nutrisi dan kesehatan perempuan. Negara harus menjamin hak-hak perempuan dan meningkatkan advokasi publik dan menyuarakan hak-hak perempuan akan perlindungan dan pembebasan.

Negara harus melawan segala bentuk kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan. Negara meningkatkan upaya analisis, dan membongkar total hal-hal yang menjadi penyebab kekerasan terhadap perempuan secara menyeluruh di Indonesia dan tenaga kerja imigran, serta upaya pencegahannya melalui kerja sama yang dilakukan dengan beberapa lembaga pemberdayaan terhadap perempuan pada tingkat lokal, nasional dan internasional. Negara berperan meningkatkan potensi, kreativitas, imajinasi kreatif dan bakat-bakat perempuan dengan memberikan ruang dan fasilitas-fasilitas bagi kaum perempuan.

Perempuan Indonesia bukanlah komoditas mutakhir yang dapat diperdagangkan atau diakumulasi secara ekonomis di pasar bebas. Perempuan Indonesia adalah ibu negara, sumber segala peradaban negara. Perempuan merdeka, negara pun kuat dan sejahtera! Vivat Perempuan Indonesia!




[1] Iswara N Raditya, "Sejarah Hari Perempuan Sedunia: Dirintis Kaum Sosialis", dalam Tirto.com, https://tirto.id/diR4 diakses pada 05 Maret 2021.

[2] Amirullah, “Komnas Perempuan: Ada 299.911 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Sepanjang 2020”, dalam Tempo.co, https://nasional.tempo.co/read/1439271/komnas-perempuan-ada-299-911-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-sepanjang-2020/full&view=ok, diakses pada 07 Maret 2021.

[3] Silakan baca buku terbaru Dr. Alexander Jebadu SVD (Ed.) Manusia Bukan Kambing. Bongkar dan Hentikan Kejahatan Perdagangan Jual-Beli Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2021). Selain artikel yang ditulis oleh korban kekerasan/kejahatan seksual, analisis teoretis, tetapi juga laporan internasional terkait dengan perdagangan manusia sejak tahun 2006 sampai tahun 2018 kemarin.

[4] Fathimah Fildzah Izzati, “Akumulasi Kapital dan Perampasan Otonomi atas Tubuh Perempuan” dalam  Indoprogress.Com https://indoprogress.com/2020/05/akumulasi-kapital-dan-perampasan-otonomi-atas-tubuh-perempuan/, diakses pada 28 Juli 2020.

[5] Ruth Indiah Rahayu, “Membawa  Tubuh Perempuan  ke Pasar ‘Tuhan’”, dalam Ruth Indiah Rahayu et al., Tuhan, Perempuan,  dan Pasar (tanpa tempat: IndoPROGRESS, 2019), hm. 46.

[6] George Ritzer, Teori Sosiologi. Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, diterj. Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014), hlm. 94.

[7] Baca berita pada link ini: Punya Libido Seks Tinggi, Istri Dijual Suami ke Pria Hidung Belang, https://radarsurabaya.jawapos.com/read/2020/06/19/200019/punya-libido-seks-tinggi-istri-dijual-suami-ke-pria-hidung-belang; Berdalih Butuh Duit, Pria Ini Tega Jual Istrinya Lewat Twitter, https://radarsurabaya.jawapos.com/read/2020/03/14/183776/berdalih-butuh-duit-pria-ini-tega-jual-istrinya-lewat-twitter; Suami Jual Istri Layani Pria Lain Demi Bayar Utang Biaya Lahir Anak, https://radarsurabaya.jawapos.com/read/2019/07/04/144472/suami-jual-istri-layani-pria-lain-demi-bayar-utang-biaya-lahir-anak; Suami Jual Istri Demi Uang, Dipukul Pakai Helm Jika Tak Setoran, Korban Rudapaksa Jadi Alasan Pelaku, https://wartakota.tribunnews.com/2020/11/30/suami-jual-istri-demi-uang-dipukul-pakai-helm-jika-tak-setoran-korban-rudapaksa-jadi-alasan-pelaku. Sekadar menyebut beberapa kasus.

[8] George Ritzer, loc. cit.


*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 10 Maret 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.

Post a Comment for "Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir Pasar Bebas!(Reflesi Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret)"