Ketimpangan, Pandemi dan Ekonomi Pancasila
|
Tidak ada tanda-tanda pandemi covid-19 berakhir. Tiap
hari jumlah kasus semakin meningkat. Semakin meningkat jumlah manusia terpapar
pandemi, semakin menjulang tinggi tingkat ketimpangan dan kematian. Bayang-bayang
kematian semakin mendekat, sementara kebutuhan akan pembebasan dan keadilan
semakin menjauh.
Menurut studi berjudul 'The Inequality Virus' yang
diterbitkan Oxfam bersamaan dengan dimulainya WEF hari ini, Senin (25/1/2021),
dunia mengalami peningkatan ketimpangan terbesar dalam sejarah. Kemungkinan
hampir setiap negara akan mengalami peningkatan ketimpangan.[1]
Menurut mereka, pandemi telah memukul orang yang hidup dalam kemiskinan jauh
lebih keras daripada kaum kaya, dan memiliki dampak yang sangat parah pada
wanita, orang kulit hitam, keturunan Afro, masyarakat adat, dan komunitas yang
secara historis terpinggirkan dan tertindas di seluruh dunia.
Berdasarkan
laporan Bapan Pusat Statistik (BPS), produksi padi pada 2020 diperkirakan
sebesar 55,16 juta ton gabah kering giling (GKG), mengalami kenaikan sebanyak
556,51 ribu ton atau 1,02 persen dibandingkan produksi di tahun 2019 yang
sebesar 54,60 juta ton GKG. Jika potensi produksi padi pada 2020 dikonversikan
menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi beras pada 2020
diperkirakan sebesar 31,63 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 314,10 ribu
ton atau 1,00 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 31,31 juta ton.[2]
Capaian ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak perlu impor dari beras pada tahun
2020.
Akan
tetapi akhir-akhir ini makin banyak yang khawatir dengan ketimpangan ekonomi
tingkat nasional akibat pandemi covid-19 ini. Sejak April hingga September 2020
harga gabah terus naik, sementara harga beras turun.[3]
Kekhawatiran ini semakin dipertajam ketika terjadinya polemik di kalangan
masyarakat perihal efektivitas kebijakan mulai dari Lockdown, social distancing/physical distancing, Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro sampai Program Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB). Apakah kebijakan-kebijakan itu menjamin ekonomi
nasional akan pulih?
Pasar Bebas: Candu Kaum Kapitalis
Di
tengah kondisi pandemi covid-19 ini, kaum kapitalis neoliberal mengatakan bahwa
selalu ada kemungkinan baru akan pembebasan dan kesejahteraan hidup. Mereka
menyatakan diri sebagai pemberi layanan bagi warga negara miskin, keutuhan
ekologis, dan keluhuran kemanusiaan. Kuncinya ialah rakyat miskin di
negara-negara berkembang tidak mencurigai dan stop menuduh kebijakan ekonomi
neoliberal memperparah kondisi kesenjangan ekonomi, kerusakan ekologis, dan
ketimpangan sosial. Segala kritikan, saran dan gerakan-gerakan anti-neoliberalisme
harus dihentikan!
Kebijakan
neoliberal yang begitu masif diterapkan sejak tahun 1980 itu memicu peningkatan
kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial di Indonesia. Mula-mula sistem
ekonomi kapitalisme neoliberal menjanjikan surga bagi negara-negara berkembang
dan warga negaranya, ternyata menawarkan neraka. Sistem ekonomi kapitalisme
neoliberal seolah-olah independen di luar kesadaran manusia. Manusia
mempropagandakan agenda sistem ekonomi neoliberal, dan kemudian menyembahnya.
Kaum
neoliberal membangun gerakan-gerakan destruktif demi mengecam dan menyumbat
sistem demokrasi ekonomi Indonesia. Pasar bebas adalah sensasi makhluk
kapitalis, tempat manusia-manusia tidak punya hati nurani, seperti pasar bebas
tanpa kendali merupakan kredo para kapitalis yang tidak punya kredo keluhuran kemanusiaan,
keutuhan ekologis, demokrasi dan kedaulatan negara. Pasar bebas itu menjadi
candu bagi kaum kapitalis.
Kaum
kapitalis mengklaim diri sebagai pembebas yang emansipatoris di tengah
kesusutan ekonomi, akan tetapi upaya pembebasan itu terbalik. Kaum kapitalis
berkeyakinan bahwa penderitaan, kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi
dihasilkan oleh hukum alam dan/ atau ketidakmampuan bersaing dalam perdagangan
pasar bebas tanpa kendali, bukan oleh kebijakan-kebijakan perdaganan monopoli
mereka. Mereka menciptakan ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi, dan kemudian
menyodorkan pinjaman dengan suku bunga tinggi sebagai antisipasi kehancuran.
Mereka seolah-olah datang dari masa depan sebagai penyelamat, ternyata datang
dari masa lalu menuju masa depan dengan menciptakan ilusi-ilusi akumulasi
ekonomi kepada rakyat miskin.
Bentuk
neokolonialisasi kesadaran seperti itu rawan terhadap eksploitasi dan alienasi
sehingga orang-orang miskin, tertindas, dan marginal susah mencapai pembebasan
dan kemerdekaan. Hal ini dapat kita lihat bahwa gerakan-gerakan kaum kapitalis,
politikus-koruptor dan oligark sering menjadi garda terdepan mengatakan menolak
kejahatan, penindasan, korupsi, eksploitasi, nepotisme, kolusi, dan pembisuan
(misalnya, dalam kampanye, sosialisasi partai dan menjelang pemilihan umum).
Dengan demikian tuntutan demokrasi (aspirasi rakyat, tranparansi, taat hukum,
prinsip mayoritas, dan jaminan akan hak-hak asasi demokrasi rakyat) direkontruksi
untuk meningkatkan dan memperluas penindasan, eksploitasi dan alienasi.
Ekonomi Pancasila: Dekolonialisasi
Kesadaran
Kerja
sama konglomerat non-pribumi dan triumvirat kapitalis multinasional di bawah
lindungan elite penguasa negara yang pribumi inilah yang mendaruratkan ekonomi
Pancasila Indonesia selama ini. Sementara rakyat pribumi yang merupakan ahli
waris sah republik ini tetap saja hidup melarat dalam kemiskinan, kebodohan,
dan keterbelakangan. Kita telah dininabobokan selama beberapa dekade terakhir.
Bertahun-tahun kita diperalat di bawah imperatif pasar bebas yang dieksekusi
oleh perusahaan domestik dan perusahaan transnasional. Inilah saatnya untuk
melupakan propaganda bahwa pasar bebas akan menyelamatkan kita. Kesadaran kita
benar-benar dipalsukan. Marilah kita kembali ke ke pangkal jalan dengan
mempraktikkan UUD 1945, khususnya Pasal 33 dan 34, secara jujur dan konsekuen.
Jika
Indonesia mau memerangi ketimpangan, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia harus
mengoreksi agenda kebijakan ekonomi yang berhaluan neoliberal selama ini. Sudah
semestinya kita menerjemahkan UUD 1945 pasal 33 dalam bentuk kebijakan ekonomi.[4] UUD
1945 menyatakan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); “Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal
33 Ayat 2); “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal
33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4).
Kemudian
dalam Pasal 34 Ayat 1: “Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara
oleh negara”; Ayat 2: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan”; dan Ayat 3: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Di
sini dengan sistem ekonomi Pancasila, pemerintah (Negara) sangat berperan
penting mendistribusikan pemerataan ekonomi dan stabilitas sosial kepada
seluruh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia pun diharapkan tetap bekerja,
berkarya, berbisnis dan beraktivitas sesuai dengan batas-batas dan
syarat-syarat tertentu. Rakyat pun wajib mengemukakan pendapat, penilaian
kirits, kritikan rasional dan tuntutan langsung kepada Negara bila ditemukan penyelewengan-penyelewengan
dalam kebijakan ekonomi politik negara.
Ekonomi
Pancasila mendekolonialisasi kesadaran nasional yang berhaluan neoliberal dan
membangkitkan kembali kesadaran akan kekeluargaan, keadilan ekonomi kerakyatan
yang berdaya transformatif, pemerataan distribusi kekayaan, solidaritas dan
toleransi terhadap penganut agama lain, meluhurkan kemanusiaan, dan menegaskan
status kewarganegaraan. Masalah-masalah struktural dan sistemik seperti
ketimpangan ekonomi, pengisapan, pencaplokan dan eksploitasi terhadap rakyat
miskin sebagai subjek proses produksi dan ekonomi nasional dapat diatasi dengan
kebijakan-kebijakan rasional dalam sistem ekonomi Pancasila.
[1] Reni Lestari, “Dikritik Sebagai
Forum Kaum Kaya Raya, Oxfam Desak WEF Tangani Ketimpangan”, dalam Ekonomi.bisnis.com, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210125/620/1347284/dikritik-sebagai-forum-kaum-kaya-raya-oxfam-desak-wef-tangani-ketimpangan
diakses pada 27 Februari 2021.
[2] Badan
Pusat Statistik “Luas Panen dan Produksi Padi Pada Tahun 2020 Mengalami
Kenaikan Dibandingkan Tahun 2019 Masing-masing Sebesar 1,02 dan 1,02 Persen”
dalam Badan Pusat Statistik, https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/10/15/1757/luas-panen-dan-produksi-padi-pada-tahun-2020-mengalami-kenaikan-dibandingkan-tahun-2019-masing-masing-sebesar-1-02-dan-1-02-persen-.html
diakses pada 27 Februari 2021.
[3] Khudori,
“Anomali Pasar Bebas”, dalam KOMPAS edisi
selasa 23 Februari 2021.
[4] Drs. T.
Gilarso, Ekonomi Indonesia. Sebuah
Pengantar 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), hlm. 164-203.
Post a Comment for "Ketimpangan, Pandemi dan Ekonomi Pancasila"