Pemberhalaan Komoditas, Rasialisme dan Demokrasi Pancasila
|
Pada 2020 lalu, Afro-Amerika
memimpin pemberontakan massa, yang dipicu oleh pembunuhan George Floyd di
Amerika Serikat. Respons Trump yang sangat militeristik dan terang-terangan
rasis terhadap gerakan Black Lives Matter
(BLM), ditambah kegagalannya menghadapi pandemi, benar-benar menggerus
popularitasnya.
Donald
Trump, semasa menjadi presiden Amerika Serikat, menggunakan masalah pandemi
covid-19 sebagai alat legitimasi penindasan dan pemusnahan atas kulit hitam.
Hal ini ditandai dengan tingkat infeksi dan kematian akibat covid-19 yang lebih
banyak pada orang-orang berkulit hitam. Akibatnya, Trump makin terang-terangan
rasis.[1]
Kasus
berbau rasis juga terjadi di Indonesia sejak lama dengan model yang berbeda.[2] Sebelum
kolonialisme Belanda tiba di Nusantara, kategori asing maupun anti-asing tidak
terlalu mencolok seperti sekarang ini. Namun, hal ini berubah drastis ketika
kolonialisme Belanda mulai memasuki Nusantara. Waktu itu kolonial Belanda tidak
suka dengan masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka menyebut masyarakat
Flores sebagai "Orang Portugis Hitam". Pada tahap ini mulai tampak
sikap membeda-bedakan satu sama lain antar-manusia berdasarkan ras, suku,
golongan dan agama. Semuanya dalam rangka persaingan pasar bebas dan
perdagangan monopoli.
Rezim
ini merupakan luapan dari sentimen primordial ras (agama) tertentu dan atas desakan
imperatif pasar bebas, yang mengobjektifikasikan dan mengapitalisasi segala
sesuatu. Seolah-olah masyarakat kulit
hitam dapat menderita dan bahkan mati selama pandemi ini bukan kaarena
kebijakan ekonomi politik nasional, tetapi karena ketidakmampuan orang kulit
hitam bersaing di pasar modal.
Pemberhalaan Komoditas:
Problem Alienasi
Kaum
kapitalis yang memiliki kapital dan modal yang besar mempekerjakan kelas
pekerja dengan sistem kerja paksa. Kaum kapitalis mengapitalisasi dan
mengkalkulasi tenaga kerja sedemikian rupa melalui kerja. Akibatnya kelas
pekerja tidak dapat mewujudkan potensi dirinya. Para pekerja seolah-olah
teralienasi dari dirinya sendiri.[3]
Para pekerja hanya melayani mesin-mesin produksi dan seluruh algoritmanya yang
ketat.
Di
dalam kapitalisme, menurut Marx, relasi sosial yang nyata di antara para
pekerja diandaikan secara fantastik di dalam benda-benda. Benda-benda,
produk-produk pekerjaan manusia dan nilai-nilainya adalah komoditas. Komoditas
itu seolah-olah independen dan terpisah dari maksud penciptnya. Karena
komoditas itu independen, maka manusia digiring untuk menyembahnya, seperti
yang dipraktikkan oleh pemeluk agama: membuat patung, dan kemudian mereka
sendiri menyembahnya. Marx menyebut proses itu sebagai fetishism of commodity.[4]
Menurut
Marx, modal adalah uang ditanamkan daripada digunakan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan manusia. Marx menjelaskan titik
tolak modal: sirkulasi komoditas. Sirkulasi komoditas sebagai khas kapital
dirumuskan seperti ini: Uang→Komoditas→Uang (M1-C-M2). Sedangkan tipe yang
bukan khas kapital: Komoditas→Uang→Komoditas (C1-M-C2). Tipe bukan khas kapital
ini berlaku pada sistem ekonomi feodal tradisional. Contoh: Iren menjual beras
(C1) untuk mendapatkan uang (M), dan kemudian uang itu digunakan untuk membeli
Tv (C2).
Kaum
kapitalis mengeksplorasi agenda bisnis ekonominya dengan maksud untuk
meningkatkan dan menghasilkan modal dan uang lebih banyak lagi: surplus-value.[5]
Komoditas dibeli oleh uang dan demi menghasilkan uang lebih banyak lagi,[6] maka
yang digunakan ialah rumus sirkulasi komoditas pertama di atas. Contoh: Iren
membeli (M1) printer (C), dan kemudian Iren menggunakan printer ini untuk
memperoleh uang yang lebih banyak (M2).
Mula-mula
Iren sendiri yang bekerja dan mengendalikan printer itu. Selanjutnya, karena
Iren sudah punya uang (M1) cukup banyak, Iren memperkerjakan karyawan baru
(komoditas baru) dengan jumlah printer yang banyak (C) untuk mendapatkan uang
lebih banyak lagi (M2). Dan seterusnya, rumus sirkulasi komoditas berlaku
sampai tak terhingga. Pemberhalaan komoditas adalah akar alienasi. Hal ini
tampak dalam praksis hidup; para pekerja kelihatannya bebas dan merdeka, akan
tetapi sesungguhnya kesadaran palsu para kerja itulah yang bebas.
Kebebasan
yang lebih total dan tanpa kendali tampak dalam modal. Modal itu potensial dan
karena itu ia bebas, sementara para pekerja diperbudak melalui kesadaran palsu
tadi. Sehingga benar yang dikatakan Marx, modal adalah tenaga kerja yang mati,
yang seperti vampir, hidup hanya dengan mengisap tenaga kerja yang hidup, dan
semakin hidup bila semakin banyak tenaga kerja yang diisapnya.[7]
Modal tidak pernah mati, karena ia hidup dan berpotensi pada tubuh kapitalisme.
Rasialisme: Proyek Kapitalisme
Sejak
awal kapitalisme bercirikan dan/atau memuat rasis, yang menimbulkan konsekuensi
ketimpangan yang besar bagi perkembangan kelas pekerja di dunia. Hal ini tampak
dalam praktik kapitalisme yang melanggengkan pengusaha dan pemilik modal besar
untuk menghalangi dan mengangkangi solidaritas dan toleransi antar-ras. Orang
kulit putih adalah eskekutor lapangan, dan yang membiayai semua gerakan orang
kulit putih ialah kaum kapitalis, birokrat negara dan oligark bisnis-politis.
Di
tempat kerja, seharusnya orang kulit hitam mendapat upah yang lebih besar
daripada orang kulit putih karena potensi dan keahliannya. Namun pemilik
perusahaan atau kaum kapitalis-rasialis membayar upah lebih rendah kepada orang
kulit hitam dan menaikkan upah orang kulit putih. Hal ini juga dipraktikkan
dalam ranah pendidikan, upacara keagamaan dan ritus-ritus kebudayaand di tanah
air secara diam-diam.
Di
tengah kondisi pandemi covid-19 ini, tidak sedikit orang bertanya: sistem
ekonomi apakah yang cocok untuk memulihkan ekonomi tanpa menindas masyarakat
kulit hitam dan para pekerja. Serentak tidak sedikit pemikir menyimpulkan bahwa
kapitalisme berada di ambang kehancuran dalam menangani pardoks isu rasis di
tengah pandemi covid-19.
Seperti
Karl Marx, Slavoj Žižek mengatakan bahwa kapitalisme sudah berada di ambang
kehancuran dan kita mesti bersiap menghadapi bencana global.[8]
Apakah kapitalisme benar-benar berada di ambang kehancuran? Saya tidak yakin
sama sekali. Kapitalisme selalu memperbarui dan mentranformasi diri sesuai
perkembangan zaman.
Demokrasi Pancasila
Berbeda
dengan demokrasi Barat yang hanya terbatas pada dimensi politik, sedangkan
ekonomi dikendalikan oleh kapitalisme, demokrasi Indonesia mengandung dimensi
politik, sosial dan ekonomi. Dengan berlandaskan UUD 1945 Pasal 33, warga
negara Indonesia diberi kesempatan untuk berusaha, berbisnis, dan berkarya
dalam batas-batas dan dengan syarat-syarat tertentu, yaitu Demokrasi Pancasila.
Cita-cita keadilan ekonomi a la demokrasi Pancasila bersandar dan sekaligus
melampaui model ekonomi liberalisme/ kapitalisme, kapitalisme neoliberalisme,
sosialisme/ kolektivisme, sosialisme partisipatoris, federalisme sosial dan
sosialisme demokrasi.
Demokrasi
Pancasila ini, yaitu gugusan kesepakatan bersama dari semua pihak yang terlibat
dalam diskursus, tidak hanya beroperasi dalam usaha pengurangan represi,
diskrimanisi, marginalisasi, eksploitasi dan alienasi terhadap kelas pekerja
dan kulit hitam (dan yang tercium bau rasis), tetapi juga usaha penghapusan
kekejaman dalam masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia.
Model
demokrasi Pancasila Indonesia bukanlah model demokrasi absolut (baca: final).
Model demokrasi Pancasila Indonesia adalah sistem demokrasi dinamis dan
kontekstual. Salah satu aspek penting dalam demokrasi ialah komunikasi
(diskursus). Rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dan pemerintah (Negara)
penentu kebijakan dipautkan melalui komunikasi yang terbuka tanpa represif.
Diskursus bertujuan untuk mencapai saling pemahaman dan kesepakatan tanpa
intimidasi/represif.
Diskursus
sistem ekonomi politik bukan hanya mereproduksi dan merevitalisasi nilai-nilai
demokratis ekonomi yang sudah ada, tetapi juga perlu merekontruksi pemikiran
dan mentranformasi butir-butir nilai Pancasila sesuai dengan perkembangan
zaman. Melalui paradigma komunikasi, semua warga negara tanpa dipengaruhi oleh
preferensi primordial seperti suku, agama, dan ras, dapat melampaui
kepentingan-kepentingan diri/ kelompok primordial, dan mengupayakan keadilan ekonomi
dan kepentingan bersama.
Keadilan
ekonomi dan kepentingan bersama dapat tercapai, mengandaikan warga negara bebas
berkomunikasi di ruang publik, di tempat kerja, dan di mana saja demi saling
pemahaman tanpa represi dan intimidasi. Saling pemahaman hanya dapat diusahakan
oleh manusia-manusia yang peduli dan berempati akan kepentingan bersama.[9]
Jadi negara harus memfasilitasi kemungkinan komunikasi ekonomi politik di ruang
publik.
Pemerintah
(Negara), aparat negara, birokrasi negara dan seluruh warga negara Indonesia
berkewajiban untuk memajukan diskursus dalam rancangan agenda kebijakan ekonomi
nasional melalui amanat Pancasila dan UUD 1945 pasal 33. Demi merawat dan
menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, sangat dibutuhkan partisipasi,
keterlibatan dan gerakan-gerakan sosial warga negara berdasar atas asas
kekeluargaan, terutama dalam upaya menangkal dan menjinakkan sistem ekonomi
kapitalisme neoliberal yang menyingkirkan peran negara dan warga negara sebagai
subjek dalam proses produksi dan pembangunan ekonomi politik Negara.
[1]Barry Sheppard, “Pandemi dan Krisis
Kapitalisme AS”, dalam Berdikarionlaine.com,
https://www.berdikarionline.com/pandemi-dan-krisis-kapitalisme-as/
diakses pada 23 Februari 2021.
[2]Abba Gabrillin (ed.) “Kasus
Dugaan Rasialisme, Guru Besar USU Akan Diperiksa Polisi” dalam Kompas.com dengan
https://regional.kompas.com/read/2021/02/15/09501361/kasus-dugaan-rasialisme-guru-besar-usu-akan-diperiksa-polisi
diakses pada 17 Februari 2021.
[3] Karl
Marx, The Class Struggle in France
(New York: International Publishers, 1850/1964), hlm. 72.
[4] Karl
Marx, Capital: A Crtique of Politica
Economy. Volume One (New York: International Publishers,
1867/1967), hlm. 163-177.
[5] Ibid., hlm. 320.
[6] Ibid., hlm. 247-257.
[7] Ibid., hlm. 233.
[8] Mengutip Dr. A. Bagus Laksana,
“Mengarungi Pandemi: Melankolia & Pengharapan”, dalam BASIS edisi khusus No 01-02, tahun ke
70, 2021.
[9] F. Budi
Hardiman, Demokrasi dan Sentimentailis.
Dari “Bangsa Setan-setan”, Radikalisme Agama sampai Post-Sekularisme (Jakarta:Penerbit
PT Kanisius, 2018), hlm. 87.
*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 5 Maret 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Pemberhalaan Komoditas, Rasialisme dan Demokrasi Pancasila"