Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Demokrasi Korupsi, Distribusi Risiko dan Protes Sosial

Melki Deni

 

Pada 13 Februari 2021 Media Indonesia (13/02/2021) menayangkan berita berdasarkan riset The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Transparancy Internasional terkait dengan indeks demokrasi dan penanganan korupsi di Indonesia. Dalam Indeks Demokrasi 2020, Indonesia menempati peringkat ke 64 dari 167 negara dengan skor 6,30. Sementara Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020, Indonesia berada pada posisi 102 dengan skor 37. IPK tahun 2019, Indonesia mendapat skor 40 dan mampu menembus peringkat ke 85 dari 180 negara.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan bahwa ada kaitan erat antara demokrasi dan praktik korupsi. Koruptor begitu masif mencederai demokrasi. Hal ini tampak dalam penyelanggaraan pemilihan umum, penanganan isu pluralisme, partisipasi politik, aspirasi rakyat, dan keterlibatan publik dalam merancang agenda kebijakan politik negara, baik terkait dengan hukum normatif maupun kebijakan anggaran negara. Sementara rakyat menjunjung tinggi dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, koruptor justru mengangkanginya; demi akumulasi ekonomis semata.

Bagaimana kita dapat membayangkan masa depan demokrasi Indonesia, bila praktik korupsi semakin membudaya dan menggurita? Kita tidak sepenuhnya yakin, tetapi kita pun harus mengakui bahwa demokrasi dapat menghentikan praktik korupsi di Indonesia. Namun kita pun tidak pernah tahu bagaimana persisnya model korupsi yang selanjutnya akan terjadi, atau bahaya apa yang akan mendaruratkan rakyat dari praktik korupsi itu. Sementara rakyat mengantisipasi model korupsi sebelumnya, koruptor mempropagandakan model korupsi baru dengan sistem teknologi canggih.

Distribusi Risiko

Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, rakyatlah yang memegang dan mengendalikan kekuasaan. Sementara demi kepentingan rakyat, demokrasi justru dicaplok tanpa kendali oleh koruptor (dan oligarki). Korupsi adalah praktik pencurian, perampasan, penyelewangan dan pemiskinan atas rakyak sebagai subjek demokrasi. Korupsi dapat dikatakan sebagai agenda pendistribusian risiko. Koruptor tidak hanya mendistribusikan risiko kepada negara, tetapi terutama kepada rakyat miskin, subjek sistem politik demokrasi.

Anthony Giddens menjelaskan bahwa “risiko tidak sama dengan ancaman atau bahaya. Risiko mengacu pada bahaya yang secara aktif diperkirakan berkaitan dengan kemungkinan yang akan terjadi”.[1] Risiko, menurut Giddens, tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang probalitas dan ketidakpastian. Risiko mengandaikan adanya kesadaran akan perubahan yang datang dari masa depan. Koruptor melakukan korupsi, bukan hanya karena didesak oleh persaingan ekonomi kompetitif dan imperatif kapitalisme monopoli pada saat ini, tetapi kesadaran akan ketidakpastian ekonomi politik masa depan.

Gagasan tentang korupsi tidak dapat dipisahkan dari gagasan sistem kapitalisme neoliberal. “Kapitalisme modern, tulis Giddens, berbeda dengan semua bentuk sistem ekonomi sebelumnya dalam hal sikapnya terhadap masa depan”.[2] Kapitalisme modern, lanjut Giddens, menempatkan dirinya di masa depan dengan menghitung keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh, dan karena itu, risiko sebagai proses yang berkelanjutan.[3] Mustahil koruptor berani melakukan tindakan korupsi tanpa mempertimbangkan akumulasi ekonomi dan kepentingan-kepentingan lainnya. Akumulasi ekonomi mengandaikan kesadaran akan ketidakpastian ekonomi politik masa depan. Kegiatan jual-beli, kalkulasi dan akumulasi ekonomi seperti di pasar berlaku juga dalam lembaga-lembaga pemerintah.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, Indonesia mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. KPK berpedoman kepada lima asas yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.[4]

KPK merupakan lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang didirikan ketika negara harus menangani tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. KPK dirancang guna melindungi negara dari praktik korupsi dan menindaklanjuti secara hukum terhadap koruptor. Akan tetapi, tak tanggung-tanggung koruptor mengangkangi dan mengendalikan hukum negara dengan negosiasi hukum.

Alih-alih mewaspadai ketidakpastian (risiko) ekonomi politik masa depan dengan melakukan korupsi, koruptor justru menyalurkan risiko baru kepada rakyat miskin. Risiko ini bukan risiko eksternal, seperti ketentuan tradisi dan seleksi alam, akan tetapi hasil dari kejahatan yang terstruktur dan sistemik dari rancangan koruptor sendiri.[5] Koruptor dengan sistem ekonomi neoliberal mencitpakan risiko-risiko dan ketidakpastian baru yang menurutnya tidak perlu diindahkan oleh para warga masyarakat.[6] Koruptor neoliberal juga mencaplok basis hukum normatif negara dan aspek sosialitas-kemanusiaan, karena didesak oleh hukum fundamentalisme pasar; kewirausahaan, kebebasan konsumsi, kompetisi pasa dan hak milik privat.[7]     

Sementara perhatian seluruh rakyat terarah pada masalah korupsi yang sedang aktual itu, koruptor (dan oligark kapitalis) meloloskan investasi dan praktik eksploitasi di tempat lain. Beginilah model kerja distribusi risiko; koruptor mengantisipasi ketidakpastian ekonomi dengan melakukan korupsi di tempat lain, media berita memberitakan kasus korupsi tersebut, dan rakyat miskin melahap berita itu habisan-habisan.

Ketika korupsi seakan-akan menjadi budaya baru di tengah ketidakpastiah hukum dalam sistem demokrasi, rakyat miskin menganggap kejahatan korupsi seabgai lumrah terjadi di tanah air. Untuk apa rakyat miskin, ormas-ormas, parpol oposisi dan gerakan-gerakan antirasuah mengontrol dan menyampaikan aspirasi demokratis, toh korupsi terus menggurita di tanah air? Korupsi meremuk demokrasi Indonesia, justru ketika lembaga hukum disumbat dengan sejumlah uang, modal atau jasa.  

Kembali ke Demokrasi

  Di tengah prahara korupsi, demokrasi bisa saja kehilangan daya gigitnya. Akan tetapi, sampai saat ini negara-negara masih berpegang teguh pada sistem demokrasi, meskipun dicengkeram secara bertubi-tubi oleh pelbagai ideologi ekonomi, politik dan agama. Dalam sistem demokrasi, korupsi rawan terjadi. Aspirasi rakyat dalam memperjuangkan kesetaraan, transparansi, keadilan, pemerataan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur, dan kesejahteraan umum masih sulit tercapai. Koruptor memiliki pembenarannya sendiri untuk melanggengkan tindakan kejahatannya.

Sesungguhnya pejabat pemerintahan dan semua yang berkerja dalam lembaga pemerintah saati masih produk Orde Baru. Menurut pendapat Hardiman, sistem kuasi-organis Orde Baru belum sungguh diganti oleh sistem semiotis yang menjadi dasar demokrasi, melainkan berkoeksistensi dengannya sebagai sistem bayangan.[8] Hardiman menjelaskan bahwa ambivalensi itu direproduksi suatu sistem hipokrisi di berbagai bidang, yakni suatu eksterior demoktaris-seremonial dan interior kleptokratis-paternalistis.[9] Lalu bagaimana rakyat mewaspadai risiko (ketidakpastain baru) yang direproduksi dan dipromosikan oleh koruptor oligark kapitalis ini?

Koruptor memiliki sistem imun yang tangguh dalam membingkisi kejahatan struktural dan sistemik (hipokrisi) ini. Rakyat tidak bisa memperjuangkan demokrasi dengan sistem imun yang berkadar sementara dalam organisasi kecil. Demokrasi bukan milik segelintir rakyat, melainkan seluruh rakyat Indonesia yang berkomitmen untuk keadilan, dan kesejahteraan umum.

Perjuangan dan penguatan demokrasi tidak hanya melalui argumentasi rasional pada tataran teori, tetapi terutama aksi protes kolektif rakyat. Usaha penguatan demokrasi harus melampaui ikatan-ikatan primordial, seperti suku, agama, ras dan kepentingan kelompok tertentu. Demokrasi adalah kekuatan solidaritas kosmopolitan, bukan primordial.

Demokrasi sebagai sistem politik yang berkpentingan umum tidak boleh mencekik  atau membungkamkan protes sosial, sebab protes sosial adalah sarana komunikasi politis. Protes sosial berkepentingan untuk membongkar kemapanan korupsi (dan hipokrisi) sebagai konsekuensi logis dari risiko yang sengaja diciptakan dan direproduksi oleh koruptor terhadap rakyat miskin. Protes sosial yang bergerak di bawah nilai-nilai demokrasi dapat menjinakkan risiko akibat ketidakpastian ekonomi politik dan mematikan praktik korupsi yang sistemik.

 



[1] Anthony Giddens, Runaway Word. Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S. DAN Yustina Koen S. (Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama, Cet. Ke-4, 2004), hlm. 18.

[2] Ibid., hlm. 20.

[3] Ibid.

[4] Ari Welianto, “KPK: Sejarah dan Tugas Pokoknya”, dalam Kompas.Com. https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/05/080000269/kpk-sejarah-dan-tugas-pokoknya?page=all, diakses pada 16 Februari 2021.

[5] Giddens menyebut risiko yang dirancang atau risiko buatan sebagai manufactured risk atau manufactured uncertainty, yaitu risiko yang sengaja diciptakan oleh manusia dengan teknologi canggih modern untuk menanggapi ketidakpastian dan probabilitas dari masa depan. Contohnya, korupsi adalah pemiskinan struktural dan sistemik, gejala pemanasan global, polusi udara, desertifikasi, tipisnya lapisan ozon, efek rumah kaca, pandemic dan wabah-wabah lainnya.

[6] Anthony Gidens, Jalan Ketiga. Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika ((Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama, Cet. Ke-4, 2002), hlm. 18.

[7] F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki. Skandal Demokrasi di Indonesia (Jakarta: PT Penerbit Kanisisus, 2013), hlm. 15.

[8] Ibid., hlm. 84.

[9] Ibid.


*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 26 Februari 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.

Post a Comment for "Demokrasi Korupsi, Distribusi Risiko dan Protes Sosial"