Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Stigmatisasi Perempuan “Alat” di Manggarai: Akar Eksploitasi dan Alienasi


Melki Deni
Mengapa manusia melakukan eksploitasi kepada sesamanya? Atau lebih sederhana, mengapa kaum lelaki suka mendominasi dan mengeksploitasi perempuan? Pertanyaan terakhir ini sangat sederhana, memantik keheranan dan sekaligus kompleks dalam sejarah hidup perempuan sepanjang sejarah. Tulisan ini bukan merupakan hasil riset lapangan, melainkan sebatas luapan refleksi sosio-epistemologis atas stigmatisasi, dominasi dan eksploitasi terhadap perempuan di tanah Nuca Lale.

Sekelumit Perempuan “Alat” di Manggarai

Sebagian besar masyarakat di tanah Nuca Lale (Kab. Manggarai, Kab. Manggarai Barat dan Kab. Manggarai Timur) menyebut perempuan tunasusila sebagai “Cabo dan/ atau Alat”. Demi titik fokus tulisan ini, saya lebih memilih sebutan “Alat”. Di Manggarai, “Alat” selalu diidentikkan dengan perempuan, bukan laki-laki, yang masih menempuh pendidikan di bangku sekolah, baik SMP, SMA maupun kuliah, dan yang non-sekolah. Jika kita mendengar kawan menyebut kata “Alat”, maka yang dimaksud ialah perempuan tunasusila ataupun perempuan/wanita pada umumnya. “Alat-alat” ini tinggal di luar lokalisasi. Mereka tidak berdiam di satu tempat, tetapi tinggal sesuai dengan permintaan dan jumlah pelanggan. Untuk mendapatkan pelanggan, mereka mengiklankan diri lewat media sosial.

Sebutan “Alat” adalah stigmatisasi sosial terhadap perempuan yang menjual-belikan dirinya secara bebas kepada kaum hidung belang demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginannya. Stigmatisasi sosial “Alat” terhadap perempuan/ wanita merupakan akar dominasi, eksploitasi tanpa kendali dan melanggengkan praktik degradasi kemanusiaan perempuan/ wanita.

Ada beberapa faktor penyebab perempuan terjebak dalam perangkap perdagangan jual-beli tubuhnya, yaitu ekonomi, pengangguran, kurangnya lapangan pekerjaan, keluarga bermasalah (broken home), kawin-cerai, subordinasi, dan pelampiasan libido seksual tubuhnya (faktor biologis). Selain faktor-faktor tersebut, terdapat faktor-faktor psikologis, yaitu represi, penindasan, pencaplokan, dan pengalaman-pengalaman buruk pada masa lalu.

Mengapa “Alat-alat” itu tidak mau tinggal di lokalisasi? Tentu saja lokalisasi beroperasi di dalam hukum, tagihan administrasi yang ketat dan terikat pada aturan-aturan positif Negara dan perusahaan. Sebaliknya dengan tidak tinggal di lokalisasi, mereka melakukan transaksi secara bebas dan melampaui tatanan hukum positif itu sendiri. Mereka dapat memenuhi segala kebutuhan dan keinginan tanpa dipotong oleh pihak apa pun.

Perempuan yang terlibat dalam prostitusi daring sekonyong-konyong dicerabut dari tatanan sosial sehari-hari ke dalam suatu ruang prostitusi tanpa kendali yang mendehumanisasi dan mendepersonalisasikan ciri personalnya sebagai seorang manusia. Ruang prostitusi diciptakan oleh kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan individual yang tidak pernah habis.

Di dalam ruang prostitusi daring kegiatan-kegiatan yang tidak lazim seolah-olah lazim Menjual tubuh secara ekonomis kepada kaum hidung belang dirasa lazim di tengah-tengah kemendesakan situasi hidup tak lazim. Ketika perempuan dijual-belikan secara tak kendali, maka di sana terjadilah praktik eksploitasi dan alienasi.

Stigmatisasi

Sejak berakhirnya Uni Soviet dan blok sosialis, kapitalisme telah mengintensifkan dominasi kekuasaan ekonominya di seluruh dunia. Kapitalisme memperlancar proses perubahan ekonomi neoliberal melalui intensifikasi dan mempertegas relasi produksi antara rakyat di negara-negara industri maju dan rakyat di di negara-negara berkembang lainnya.

Kecepatan perubahan sistem ekonomi kapitalis menimbulkan kemiskinan, penindasan, eksploitasi, dislokasi dan alienasi yang sangat nyata di dalam masyarakat. Kapitalisme bukan hanya soal sistem ekonomi, akan tetapi “ia juga suatu sistem politis, suatu cara melaksanakan kekuasaan, dan suatu proses untuk mengeksploitasi para pekerja.”[1] Kaum kapitalis membayar perempuan lebih sedikit dari nilai yang dihasilkan perempuan itu dan mengkalkulasi sisanya demi kepentingan dirinya sendiri. Inilah yang disebut Marx sebagai niali surplus.

Kaum kapitalis menggunakan sisa keuntungannya untuk memperluas wilayah produksi, relasi produksi dan meningkatkan kualitas tenaga kerja, perempuan. Nilai surplus ini dikelola sedemikian mungkin agar dapat mendominasi tenaga kerja dan menghasilkan nilai surplus yang lebih banyak lagi.

Perempuan tampak sebagai “alat pasar bebas”, yang sedang menjual diri dengan bebas dan dikalkulasi dengan hukum ekonomis oleh kaum pebisnis kapitalis. Pebisnis kapitalis menawarkan syarat-syarat manipulatif-eksploitatif kepada perempuan, karena perempuan tidak menghasilkan sesuatu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri.

Jika perempuan tidak menerima tawaran dengan syarat-syaratnya itu, pebisnis kapitalis tetap menyediakan cadangan “alat pasar bebas” yang lain. Inilah yang sering terjadi di lokalisasi. Di sana perempuan teralienasi dari potensi-potensi manusiawinya sendiri, karena mereka diperalatkan dalam pekerjaannya, yakni hanya berfungsi sebagai alat, dan/atau mesin produksi. Aktivitas kesadaran perempuan dikendalikan, dan ditancapkan imperatif-imperatif pasar secara tak kendali. Akibatnya perempuan yang tidak mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya, akan teralienasi dari dirinya sendiri.

Ketika perempuan menderita alienasi akut, kaum kapitalis terus memperlancar penindasan, kalkulasi, dan eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan itu akan mengalami krisis respek tehadap diri, mati rasa dan tidak menerima diri. Perempuan merasa tidak berguna sama sekali bagi dirinya sendiri dan masyarakat di sekitar. Selanjutnya perempuan distigma secara terus-menerus sampai perempuan itu kehilangan respek terhadap diri dan pengenalan tehadap diri sendiri.

Perempuan atau siapapun yang berhadapan dengan negativitas tidak lagi menyadari bahwa dia adalah penguasa/ tuan atas dirinya sendiri. Sebab perempuan itu dipaksakan untuk hidup di dalam situasi yang tidak dikehendakinya. Akibatnya seluruh cita-cita dan pengharapan akan hidup yang lebih baik menjadi tidak jelas.

Stigmatisasi adalah produk patologi sosial yang lebih kejam daripada pembunuhan. Aktor-aktor stigma menancapkan label negatif terhadap perempuan, dan membiarkan perempuan bergiat dalam putaran label stigma itu. Perempuan yang distigma disulap menjadi alat produksi. Sebab perempuan yang distigma tidak memperoleh tempat yang aman baginya dalam tatanan sosial. Perempuan diasingkan, dan dibuat sedemikian mungkin agar perempuan itu berkeliaran tanpa arah hidup. Daripada “menyembuhkan dan menyelamatkan” perempuan, kelompok sosial masyarakat justru memperalat, mendepersonalisasikan dan mendehumanisasikan perempuan itu.

Dalam tulisan ini, saya akan mengantar Anda pada akar patologi sosial (stigma “Alat” terhadap perempuan) yang menyebabkan rawan terjadinya praktik dominasi, dan subordinasi terhadap perempuan, yang terkait dengan conditio humana, yaitu epistemologis.[2] Memahami conditio humana berarti menyembuhkan proses pengenalan kita terhadap sesama, terutama kepada perempuan.

Refleksi Sosio-Epistemologis

Sesungguhnya masyarakat yang tidak mempersoalkan patologi sosial: stigmatisasi, dominasi, eksploitasi dan subordinasi terhadap perempuan, sedang kehilangan ciri substansi epistemologisnya, yakni pengenalan terhadap sesama manusia. Manusia mesti mengenal sesama manusia sebagai yang sama. Jika ada manusia yang menstigmatisasi, mendominasi, mengeksploitasi dan mensubordinasi manusia lain, manusia itu tidak mengenal manusia lain sebagai yang sama.

Aktus mengenal berarti memberikan diri kepada yang sama, dan saling mengandaikan. Saling mengandaikan bermaksud tidak mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang lahiriah, tetapi membangun aktus kesalingan; bahwa manusia yang satu tidak bisa hidup tanpa manusia yang lain, dan sebaliknya. Manusia yang satu ada, diciptakan dan diberi pengertian oleh manusia lain, dan begitu pun sebaliknya.

Jika proses pengenalan manusia dilakukan secara tidak total, maka akan rawan timbul patologi sosial, seperti stigmatisasi, momen dominasi,[3] eksploitasi dan subordinasi. Orang-orang menyaksikan penderitaan dan kesengsaraan korban sebagai bukan manusia, melainkan hanya sebagai objek. Antara pelaku dan korban terbentang jarak yang menganga. Proses pengenalan manusia melibatkan totalitas eksistensi, potensi dan ekstensi.

Dalam proses pengenalan terhadap manusia lain, manusia diharapkan agar, pertama,  tidak mendefinisikan manusia lain. Mendefinisikan berarti mendominasi dan “membatasi” pengenalan terhadap manusia lain. Selain itu, mendefinisikan berarti juga menancapkan pengenalan kita yang terbatas kepada manusia lain yang tidak terbatas. Patologi sosial terjadi dan meningkat justru lahir dari kegagapan dalam proses pengenalan ini; manusia yang satu tunduk pada definisi dan dikte instansi di luar dirinya.[4] Misalnya, perempuan “Alat” mengalami krisis makna dan respek terhadap diri sendiri, disebabkan oleh pengenalan yang cacat dari masyarakat di sekitarnya. Perempuan “Alat” selalu merasa kurang, tidak bermakna, tidak berharga dan seolah-olah tidak berguna sama sekali.   

Kedua, manusia jangan sesekali melakukan pengenalan terhadap manusia lain berdasarkan stereotipifikasi. Jika hal ini dilakukan pada awal proses pengenalan, maka sudah pasti cacat pengenalan. Stereotipifikasi berarti stigmatisasi yang destruktif bagi manusia lain.[5] Dalam proses pengenalan, semua pra-pengertian, pra-kondisi, presuposisi, abstraksi-abstraksi dan stereotipifikasi terhadap manusia lain harus dilenyapkan, supaya dapat memperoleh hasil yang memuaskan (memanusiakan manusia: meluhurkan kemanusiaan), bebas dominasi dan eksploitasi.

Stigmatisasi, eksploitasi dan alienasi adalah kenyataan bahwa kesusutan kehidupan ini tidak lagi menarik dan beradab. Wajah perempuan malang bukanlah milik kaum kapitalis yang hanya memperalat mereka sejauh mereka berpotensi menghasilkan nilai surplus yang lebih banyak lagi.

Perempuan-perempuan itu adalah milik kita, yang melalui pengenalan secara autentik, kita dipanggil oleh nada-nada minor negativitas kehidupan mereka yang memprihatinkan, yang dihempaskan untuk menghadapi tragisnya kemalangan mereka. Dengan demikian mereka ditarik dari negatvitas eksploitasi dan melankolia alienasi untuk ditempatkan dalam conditio humana, bahwa mereka tetap berharga. Mari, hentikan stigmatisasi!

 



[1] George Ritzer, Teori Sosiologi. Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, diterj. Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2014), hlm. 93. Lihat juga dalam bukunya yang berjudul The Origin of the Family, Private Property and the State (In Hottingen-Zurich, October 1884) Frederick Engels menjelaskan materialisme historis erat kaitannya dengan penindasan terhadap perempuan. Engels juga menunjukkan bahwa penindasan terhadap perempuan terkait erat dengan berakhirnya masyarakat komune primitif. Komune primitif ini digantikan dengan masyarakat berkelas (class society). Masyarakat berkelas tersebut dicirikan oleh adanya hak milik pribadi (private property), keluarga (family) dan negara (state). Munculnya masyarakat berkelas turut mempengaruhi cara pandang dan sikap terhadap perempuan.

[2] F. Budi Hardiman, Massa, Teror, dan Trauma. Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita (Penerbit Lamalera dan Penerbit Ledalero, 2011), hlm. 112. Demi tulisan ini, saya hanya menganalisis akar patologi sosial dari perspektif epistemologis.

[3] Ibid., hlm. 114.

[4] Ibid., hlm. 116.

[5] Ibid.,


*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 12 Februari 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.



Post a Comment for "Stigmatisasi Perempuan “Alat” di Manggarai: Akar Eksploitasi dan Alienasi"