Mayarakat Risiko di Indonesia: Siluman Neoliberalisme
|
Kemiskinan di negara-negara
berkembang, seperti Indonesia, tidak disebabkan oleh kekurangan sumber daya
alam dan/atau sumber daya manusia, tetapi sistem ekonomi yang dicekik oleh negara-negara
industri maju dengan sistem ekonomi neoliberalisme. Sementara ideologi politik
demokrasi dibayang-bayangi oleh korporatokrat kapitalis, Indonesia dispionase
oleh para investor baik korporat nasional maupun trans-nasional.
Paradoks Neoliberalisme
Globalisasi seakan-akan
mempercepat eksplorasi dan operasi-ekspansif proyek kebebasan ekonomi dan pasar
bebas ke seluruh dunia. Neoliberalisme memungkinkan usaha untuk mencari
kesuksesan ekonomi yang terdesentralisasi. Ada beberapa proyek paradoksal
neoliberalisme yang kian menggurita ke seluruh dunia.
1.
Para
neolib menciptakan persoalan-persoalan ekonomis dan melanggengkan mekanisme
pemiskinan: dari kolonialisasi menuju neokolonialisasi, pengglobalan
privatisasi pasar; membangun institusi-institusi pasar rahasia; praktik mengutangkan
tanpa henti kepada rakyat miskin; privatisasi kebutuhan-kebutuhan dan propaganda
politik investasi di mana-mana.
2.
Para
neolib berani mengambil risiko-risiko besar dan menciptakan risiko-risiko besar
di tengah rakyat miskin, serta memasang perangkap pemiskinan dalam
negara-negara berkembang.
3.
Para
neolib mengendalikan dan memalsukan kesadaran negara-negara miskin dunia dengan
mengangkangi hukum normatif dan kekuasaan politis negara, melanggar hak-hak asasi
masyarakat sipil, menguras kekayaan hutan, mengerontangkan keutuhan kandungan
bumi, penggusuran secara paksa tanah pertanian, mineral, operasi pertambangan
secara liar lagi penuh rahasia-manipulatif, perdagangan jual-beli artefak dan
ornamen-ornamen indah peradaban kuno.
4.
Para
neolib menyumbat dan mengerdilkan pendapatan per kapita (hak ekonomis) rakyat
miskin dengan meningkatkan produksi barang/jasa, mempercepat peredaran uang,
menaikkan harga barang produksi dari negara-negara industri maju, meninggikan
bunga pinjaman, mengurangi pajak untuk dunia bisnis dan industri dan menurunkan
harga panenan masyarakat miskin.
5.
Menurut
kepercayaan kaum neolib, mekanisme pajak yang rendah dan pengurangan pajak
diyakini akan memberikan stimulan pada perekonomian dengan mendorong orang
untuk menghasilkan pendapatan yang besar dan pada akhirnya untuk berinvestasi
dan membelanjakan uang mereka lebih banyak (George Ritzer, 2014: 1019).
6.
Secara
radikal neoliberalisme menjunjung tinggi individualisme.
7.
Peran
negara diminimalisasikan dan dibatasi dengan mekanisme-mekanisme diskriminatif.
Sejarah membuktikan bahwa negara tidak mampu menyejahterakan kaum miskin,
sebagaimana yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh kaum neoliberal dengan
mekanisme kebebasan ekonomi dan pasar bebas. “Negara harus dibatasi dan
tugasnya adalah bekerja sama dengan pasar global (dengan mekanisme neoliberalisme)
yang terbuka (George Ritzer, 2014: 1020)”.
Negara harus berhenti mengalirkan pelbagai bantuan dana kepada kaum
miskin, karena hal ini dapat meningkatkan angka pengangguran, kemiskinan, buta
huruf, kemalasan dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Tindakan mengalirkan bantuan memupuk kemalasan dan melanggengkan
penderitaan, kelaparan dan patologi sosial dalam masyarakat. Sebaliknya negara
wajib membantu perusahaan neoliberal untuk berinvestasi secara bebas, berdagang
bebas, kepemilikan pribadi dan membuka pasar sebebas-bebasnya. Kebebasan pasar
dan pasar bebas diyakini dapat mengantar masyarakat kepada kemakmuran, kesejahteraan,
keadilan dan kemiskinan dikurangi.
Ekonomi berkelanjutan ala
neoliberalisme mendesak negara untuk menyediakan iklim yang kondusif untuk meingkatkan
kepemilikan pribadi secara bebas dan berdagang secara bebas pula. Hukum negara,
sistem politik, agama dan teknologi harus mendukung dan turut memperjuangkan
mekanisme pasar bebas dan kebebasan ekonomi. Segala berurusan dengan ekonomi
diserahkan kepada pribadi/swasta dan membatasi regulasi dan peranan negara.
Menurut keyakinan para
neoliberal, Produksi Nasional Bruto (PDB) dan jual-beli dalam masyarakat
menjadi tolok ukur tingkatan kemakmuran dan kesejahtaraan masyarakat.
Perusahaan memproduksi barang/jasa sebanyak-banyaknya, masyarakat pun wajib
belanja terus-menerus dan mengonsumsi sebanyak-banyaknya. Semakin meningkat daya
komsumtif masyarakat, maka semakin tingkat pula tingakatan produksi
barang/jasa. Semakin meningkat dan meluas wilayah produksi, maka semakin
masyarakat diperas, dipalsukan, diperalat, diobjektivikasikan, dan sumber daya
alam dikeruk tanpa kendali. Tumbal rezim ekonomi neoliberal ini ialah
masyarakat miskin di negara-negara berkembang seperti Asia Selatan, Afrika, dan
Amerika Latin dan Flores, NTT. Privatisasi Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo,
Manggarai Barat, Flores NTT, pembangunan pelabuhan, dermaga, jembatan, dll, (bdk.
Dr. Alexander Jebadu, Drakula Abad 21
(2020); Dr. Alexander Jebadu, Neoliberalisme:
Merampok &
Merampas! (2021) adalah
proyek paradoksal neoliberalisme.
Masyarakat Risiko
Modernisasi mendaruratkan
struktur masyarakat tradisional dan mempercepat proyek agenda neoliberal masyarakat
industri maju. Beberapa dekade terakhir modernisasi justru mendaruratkan
masyarakat industri maju dan menciptakan model masyarakat yang penuh risiko.
Ulrich Bech (dan juga Anthony Giddens) menyebut masyarakat modern sebagai
masyarakat risiko. Masyarakat risiko dapat dipandang sebagai suatu
karakteristik masyarakat industri maju. Risiko-risiko besar ini diciptakan oleh
segelintir orang superkaya dengan sistem ekonomi neoliberalisme. Neoliberalisme
menciptakan masyarakat risiko tinggi.
Kaum neoliberal tidak mau
dikekang oleh negara, dan masyarakat warga. Kaum neoliberal harus bebas dari cengkeraman
dan paksaan-paksaan struktural. Kaum neoliberal membangun hubungan dan
jaringan-jaringan sosial baru yang individualistik. Akibatnya hubungan sosial tradisional
menjadi cacat, putus dan tidak stabil.
Kaum neoliberal mampu
mereduksi keberisikioan wilayah-wilayah tertentu dan kebiasaan-kebiasaan
kehidupan secara keseluruhan, namun pada saat yang sama memperkenalkan
parameter-parameter risiko baru yang sebagian besar, atau sama sekali tidak
dikenal pada era-era sebelumnya (Anthony Giddens, 1991: 3-4).
Di tempat lain kaum neoliberal
mengurangi, meminimalkan dan mencegah risiko-risiko berbahaya bagi keseluruhan
kehidupan, tetapi di tempat lain ia justru memperparah patologi sosial dan
melanggengkan penindasan terhadap kaum miskin. Sesungguhnya risiko besar yang
diciptakan oleh kaum neoliberal ini melampaui batas demografis, geografis,
politik dan megapolitik. Misalnya, operasi pertambangan mangan di Sirise, Desa
Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Timur dapat membawa dampak buruk/ risiko besar di beberapa kampung di
sekitar. Selain melampaui batas geografis, usaha pertambangan mangan di Sirise
juga memengaruhi generasi-generasi yang akan datang.
Sistem politik demokratis
mengandaikan perizinan bagi pembebasan bagi kaum neoliberal untuk
memperkenalkan dan memperlancarkan agenda kebebasan ekonomi dan pasar bebas.
Kaum neoliberal melalui sistem politik demokratis mendistribusi risiko bagi rakyat
miskin. Dengan melampaui hukum, struktur sosial dan sistem politik negara, kaum
neoliberal memperbesar jumlah dan tingkatan risiko dalam rakyat miskin demi
tercapainya kebutuhan dan kepentingannya.
Kaum neoliberal dapat
mendengalikan dan membeli keselamatan dari risiko-risko besar tersebut.
Sebaliknya rakyat miskin justru menarik banyak risiko berbahaya bagi negara dan
perusahaan-perusahaan besar. Kaum neoliberal memanfaatkan risiko-risiko besar
yang dialami rakyat dengan memperkenalkan dan menjual mahal pelbagai teknologi
dan temuan baru lainnya kepada rakyat miskin. Kaum neoliberal mempromosikan dan
mendistribusikan teknologi-teknologi canggih lagi mahal guna mengurangi dan
mengatasi risiko-risiko yang kaum neoliberal ciptakan kepada rakyat miskin.
Namun dalam konteks
tersebut, akan muncul apa yang dikatakan oleh Ulrich Beck sebagai efek bumerang
(Ulrich Beck, 1992: 37). Efek bumerang ini merupakan konsekuensi logis dari
risiko yang kaum neoliberal sendiri ciptakan bagi kehancuran masyarakat warga
miskin. Risiko besar itu akan menyerang kembali kaum neoliberal baik dalam
bentuk ideologis maupun dalam bentuk kerugian/ kehancuran pusat-pusat produksi
mereka.
Melampaui Neoliberalisme
Neoliberalisme berupaya
melampaui kebebasan politik (demokrasi) dan megapolitik di negara-negara
berkembang. Di mana-mana neoliberalisme tidak membawa keuntungan apapun, kecuali
menimbulkan rentetan krisis keuangan dan mengekalkan penindasan dan kemiskinan.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat risiko yang sengaja diciptakan oleh kaum
neoliberal global.
Neoliberalisme adalah musuh
kekal demokrasi. Untuk konteks Indonesia, neoliberalisme beroperasi secara
penuh rahasia sejak tahun 1970-an. Sejak itu pulahlah neoliberalisme berusaha
menggulingkan dan menjenazahkan sistem demokrasi Pancasila di Indonesia. Akan
tetapi, sesungguhnya demokrasi Pancasila melampaui neoliberalisme.
Sistem ekonomi neoliberal
sangat bertolak belakang dengan cita-cita universal bangsa Indonesia, terutama
dalam membangun bangsa yang beradab, adi, makmur dan sejahtera. Demokrasi
Pancasila merupakan ideologi politik dan falsafah yang tepat bagi pembangunan
manusia Indonesia, bukan sistem ekonomi-politik neoliberalisme. Oleh karena
itu, pandangan yang mengatakan bahwa pasar bebas dan kebebasan ekonomi dapat
menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah bahaya
besar.
Demokrasi adalah kekuasaan
politis oleh seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi membagi trias politika, yaitu legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Oleh karena itu, seluruh rakyat wajib membantu Negara
(pemerintah, birokrat negara dan aparat negara) untuk melawan dan
mengantisipasi proyek penindasan dan pemiskinan oleh kaum neoliberal global.
Indonesia mesti menghidupkan kembali dan menstimulasi demokrasi Pancasila ke seluruh rakyat. Demokrasi Pancasila melampaui neoliberlisme dan dapat mengatasi bahaya masyarakat risiko. Dengan perkataan lain, sistem demokrasi Pancasila Indonesia harus menghancurkan dan mengerdilkan sistem perekonomian neoliberal global.
*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 23 Januari 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Mayarakat Risiko di Indonesia: Siluman Neoliberalisme"