Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Luka

(Simona Filippinone)

Luka, bila dihadapi dengan tegar dan penuh makna, akan menjadi kunci menuju pengenalan, pemahaman dan pembebasan diri. Barangsiapa berhadapan dan/ atau mengalami luka tidak akan yakin bahwa ia adalah tuan atas dirinya sendiri. Ia seolah-olah ditempatkan di dalam conditio humana yang tidak dikehendakinya. Proyek hidup berjalan pelan, macet dan cacat (MΓ€ngelwesen a la Arnold Geflen). Ia harus mengambil jarak (pen-jarak-an) dengan dirinya sendiri, dan bergiat di antara apa yang sedang terjadi dan apa yang harus terjadi atas dirinya. Di sana ia tidak mampu menjadi pribadinya sendiri, namun terperangkap dalam luka, yang bukan ia sendiri ciptakan. Lalu, jika bukan ia yang ciptakan luka, apakah ia harus menolaknya? Bila ia menolak luka, bukankah jejak-jejak luka itu tetap aktif bergiat dan berbicara atas sejarah hidupnya? Karena itu, manusia adalah subjek yang dapat ter-luka.

Luka cepat berubah dan tidak pernah salah. Manusialah tetap dan salah memaknai luka. Semua jalan yang ditempuh manusia senantiasa mengarahkannya kembali ke dalam perangkap luka. Siapa yang tidak pernah luka, terluka dan melukai? Manusia bukan saja sebagai subjek dan objek atas luka, tetapi juga predikat. Luka seumpama cinta, seketika ia muncul dan menyentuh hidup kita, kita hanya menangkap gejala-gejalanya. Cinta sejati ada di mana luka ada. Cinta sejati dan luka itu selalu seiring sejalan, tapi kitalah yang dapat menjelaskan perbedaan dan batas wilayah kekuasaanya. Seperti api yang memurnikan emas dan meningkatkan nilainya, kita meruncing dan mempertajam cinta dengan memaknai luka.

Baca juga:Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir Pasar Bebas!

Kita tahu bahwa ada banyak hal dalam hidup tidak bisa diselesaikan dengan motivasi, nasihat dan permenungan, namun kita harus turut merasakan dan mengalaminya. Orang yang terluka mau dipahami, bukan dikhotbakan, dinasihati, dan apalagi dimarahi. Orang yang terluka membutuhkan mata yang mendengarkan, mulut yang bisu, dan telinga yang peka. Orang yang terluka sangat mengharapkan compassion dari sesama di sekitarnya. Itulah manusia: ia makhluk rasional yang dapat menyutradarai dan mengendalikan sejarah hidupnya, tetapi juga ia harus dapat mengalami luka. Mengalami luka berarti memakani luka. Sementara memaknai luka berarti membiarkan luka berbicara apa adanya atas dirinya, dan tugas kita menyembuhkannya. Sebab luka  in se luka. Atau luka adalah luka: ia bisa menderita atas penderitaanya dan/ atau mampu memanipulasi pengalaman negatifnya itu. Karena luka merasakan lukanya, maka tugas kita ialah menyembuhkannya.

Luka menyentuh misteri kehidupan kita, yang tidak terjangkau oleh akal budi dan perasaan kita. Misteri luka tidak dapat diinderai oleh pancaindera kita. Misteri luka bersentuhan dengan batin, unsur dasariah kita. Ketika kita atau siapapun terluka, kita tidak hanya membutuhkan indera orang lain yang terlibat, melainkan kesadaran akan “aku ada di sini untukmu”. “Aku ada di sini untukmu” mengandaikan ketiadaan jarak dan batas antara yang terluka dan yang menyembuhkan. Sebab bila hanya pancaindera yang terlibat, maka di sana yang ada hanyalah penginderaan yang kosong. Luka tidak pernah disembuhkan, justru memproduksi luka-luka baru.

Baca juga: Mewaspadai Kebangkitan Populisme Pasca-pandemi Covid-19

Ketika kita berjumpa dengan wajah orang yang terluka, kita tidak boleh memotret dan mencetak gambar-gambar wajah mereka. Aktus memotret, mengedit, mencetak dan mempublikkan wajah-wajah yang terluka ke ruang publik adalah kejahatan terbesar, sebab kita melihat mereka hanya sebagai objek, yang layak dikalkulasi dan diakumulasi secara ekonomis. Bila kamera canggih kita menangkap wajah terluka mereka, sesungguhnya kita sedang mereduksi kemisterian hidup mereka. Memotret orang yang terluka adalah sumber kekejian dan kejahatan, di mana kata-kata, makna luka dan keluhuran manusia kehilangan dayanya sama sekali. Adakalanya orang terluka berakata-kata, tapi sebenarnya hampa. Adakalanya mereka tidak berkata-kata, namun sessungguhnya sedang memeram misteri kehidupan. Orang yang terluka pandai menyembunyikan misteri kehidupan, dan kita mesti menangkap misteri kehidupan dengan menyembuhkan mereka.

Penyembuhan adalah tempat lahirnya kebebasan eksistensial manusia. Akan tetapi di sana rawan terjadi preversi, justru ketika orang yang terluka menghindar dari penyembuhan itu dan menjebloskan diri ke dalam perangkap luka. Artinya, ketika manusia benar-benar sedang terluka, ia tidak boleh menipu diri dan menegaskan baik-baik saja. Manusia tidak boleh memanipulasi pengalaman luka-nya yang riil. Jika manusia mau menemukan makna dari pengalaman terlukanya itu, ia harus dapat terluka. Manusia tidak hanya membutuhkan sandang, pangan dan papan, tetapi juga makna, yaitu makna hidup, yang mesti ia temukan dan alami dalam hidupnya. Manusia membutuhkan tantangan, luka, dan tegangan-tegangan, agar ia hidup dan regeneratif. Terluka adalah duri kehidupan, dan di dalamnya kita menemukan dan merekontruksi makna kehidupan kita.

Kata Pengantar Sebuah Buku Antologi Cerpen

Melki Deni

Maumere, 05 Februari 2020

6 comments for "Luka"

  1. Menarik sekali pengantarnya jadi pengen tahu seperti apa Antologinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak ya. πŸ™πŸ˜ƒπŸ™

      Delete
  2. Sya penasaran dgn isi cerpennya kk .πŸ˜€

    ReplyDelete
    Replies
    1. πŸ˜ƒπŸ˜ƒπŸ˜ƒ
      Cerpennya akan terbit di sini pada waktu yang akan datang!πŸ™πŸ˜ƒπŸ™

      Delete
  3. Ternyata luka itu sudah jadi suasana sublim dan ultim. Apakah luka itu asali atau anteseden dari faktisitas? Saya ingat Chairil Anwar yang tegar dan penuh vitalitas, luka yang bisa kubawa berlari, berlari hingga hilang pedih perih.

    Merawat luka adalah usaha subjektivikasi atau individuasi demi pencapaian makna diri dalam eksistensi terdalamnya.

    Lukaku adalah lukaku. Luka itu diferensiasi ekistensial dan lukalah yang memungkinkan hidup jadi autentik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku adalah aku yang "dapat" terluka. Dan aku adalah aku dapat sembuh, mesti tidak tuntas.

      Saya teringat Asrul Sani;
      Pergi ke dunia luas, anakku sayang
      pergi ke dunia bebas!
      Selama angin masih angin buritan
      dan matahari pagi menyinar daun-daunan
      dalam rimba dan padang hijau
      Pergi ke laut lepas, anakku sayang
      pergi ke alam bebas!
      Selama hari belum petang
      dan warna senja belum kemerah-merahan
      menutup pintu waktu lampau


      Di sini kita mudah luka dan terluka. Di sana, di dunia luas, entah di mana, entah di perpustakaan, barangkali kadar lukanya tidak seberat dan seborok di sini. Pergi ke laut lepas, anakku sayang.
      πŸ˜ƒπŸ™πŸ˜ƒ

      Delete