Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Waspada Murka Mural!

Melki Deni

 

Belakangan ini Kompas, Tempo, Jawa Pos dan beberapa media massa lainnya berturut-turut memberitakan aksi penghapusan mural-mural di kota-kota. Aksi penghapusan mural oleh aparat menuai tanggapan kritis dari tidak sedikit orang di ruang publik. Berita penyebaran covid-19 varian delta dan angka kematian yang disebabkannya hampir pasti tidak diperhatikan lagi. Tak hanya itu fenomena politik baliho secara masif dan kebangkitan kaum oportunis mengaburkan berita kelaparan, korupsi, kemiskinan, pengangguran dan  kematian. Semuanya itu seolah-olah dikarantinakan agar tidak mengganggu kebijakan-kebijakan diskriminatif. Tulisan ini hanya berfokus pada kata-kata kunci: mural, ruang publik, dan kritik sosial.

Mural Bukan Sekadar Seni Rupa

Mural adalah karya seni artistik yang secara ekspresif mengungkapkan gagasan, perasaan atau kesan-kesan sosial yang tampak dalam bentuk gambar, tulisan (angka dan kata), coret-coret, grafik, peta, simbol dan sebagainya pada dinding. Mural tidak hanya menebus kembali apa yang disumbat (karena anti-kritisisme dan/atau anti-intelektualisme) dalam ruang abstrak birokrasi, tetapi juga merekonsiliasi kejahatan dan menyembuhkan penderitaan masa lalu. Dalam masyarakat urban, kritik sosial tidak tersalur jika tidak dijelmakan dalam bentuk seni rupa. Jadi mural identik dengan realitas percaturan hidup di ruang publik urban.

Mural sesungguhnya sudah ada sejak dulu, ketika manusia memahat batu-batu di gua-gua. Manusia purba melukiskan kegiatan-kegiatan kehidupan mereka pada dinding-dinding gua, sebab mereka belum menetapkan huruf secara bersama. Lukisan-lukisan mereka masih ada sampai saat ini, dan tidak sedikit lukisan itu divisualisasikan ke ruang publik virtual. Wicandra  dalam tulisannya berjudul  Berkomunikasi Secara Visual Melalui Mural di Yogyakarta  (2009) menyebut Guernica atau Guernicay Luno karya Pablo Picasso sebagai salah satu mural yang termasyur pasca Perang Dunia II.

Picasso membuat mural ini untuk memperingati pengeboman tentara Jerman saat Perang Dunia II di sebuah desa kecil dengan mayoritas masyarakat Spanyol. Di dalam lukisan itu, para perempuan, sapi, kuda prajurit banyak berserakan di mana-mana, sedangkan Guernica, kota paling berbahagia di dunia, kota yang sangat ideal dan tentram sebelum terjadinya Perang Dunia II. Picasso melukiskan kekecewaannya terhadap kondisi Kota Guernica pasca Perang Dunia II dengan mural agar dapat dilihat, diperhatikan dan direkonstruksi secara kreatif oleh seluruh penduduk kota. Perjuangan akan kebebasan, kesetaraan dan keadilan tidak mengenal batas, meskipun hanya melalui coret-coret pada dinding.

Di Indonesia sendiri mural bukanlah fenomena yang bisa dielak begitu saja karena ia tidak kelahiran kemarin. Mural muncul di ruang publik sering dengan kejanggalan-kejanggalan di ruang publik. Demikian pun bila mural politik bermunculan di ruang publik politik, sesungguhnya mau menyingkapkan sisi paradoks dari poltik. Yusa’ Farchan (2021) mengatakan bahwa periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak absen dari mural politik. Saat terjadi unjuk rasa 100 hari pemerintahan SBY, 28 Januari 2010, muncul mural politik dengan konten kritik terhadap kinerja pemerintah. Dalam aksi tersebut, para pendemo membawa kerbau berkulit hitam dengan ditulisi “Si BuYa”. Bagian bokongnya ditempeli gambar pria berpeci dengan tulisan bernada seruan “Turun!”.

Yusa’ Farchan berpendapat bahwa “sebagai produk budaya massa, seni mural kerap melekat dan menjadi ciri penting komunitas masyarakat urban untuk menyampaikan aspirasinya.” Argumentasi Farchan ini beralasan, sebab kanal-kanal komunikasi politik, ruang demokrasi, kebebasan dan bebas berpendapat dicaplok negara dan pasar. Mural menyampaikan aspirasi-aspirasi demokratis dan partisipasi politik masyarakat warga yang selama ini diabaikan oleh aparat dan parpol. Itulah sebabnya dinding-dinding tembok tinggi, jalan raya, jembatan dll  di kota digunakan sebagai corong aspirasi masyarakat warga.

Begitu masyarakat warga menggunakan dinding-dinding tembok, jalan raya, jembatan dan sebagainya di kota sebagai penyalur aspirasi, kritik sosialnya bernilai dan berefek. Efek kritik sosial ini dapat mencapai skala gerakan sosial massa, bila direspons secara demokratis oleh masyarakat warga lainnya untuk merebut kembali ruang publik demokratis terutama dalam merancang agenda kebijakan politis. Di sini mural dapat dipahami sebagai seni kritik sosial- politik.

Akan tetapi mural sebagai seni kritik sosio-politik itu akan kehilangan daya gigitnya, apabila dibungkamkan secara represif dengan kebijakan-kebijakan diskriminatif. Dari sana timbullah kelompok masyarakat warga dengan murka yang tidak terbilang banyaknya terhadap pengambil kebijakan-kebijakan yang sarat diskriminatif. Masyarakat warga yang murka rentan dimanipulasi dan dibungkamkan, maka mural berlaku sebagai alat kontrol sosial. Murka masyarakat warga diadministrasikan dalam mural, yang berfungsi mengungkap, menyimpan dan menyalurkan murka—meski tidak tuntas.

Mural dan Rekontruksi Sosial

Munculnya mural di ruang publik sosio-politik dapat dibaca dalam konteks terjadinya ruang sebagai produk sosial. Dalam bukunya The Production of Space (1991), Henri Lefebvre sudah memberikan dasar teoretis yang komprehensif terkait ruang sebagai produksi sosial.  Ruang tidak hanya merupakan realitas material yang independen pada dirinya sendiri, tetapi juga ia senantiasa diproduksi secara sosial.

Lefebvre berpendapat bahwa sampai saat ini konsep ruang masih banyak dipahami berdasarkan tradisi Cartesian, yang memisahkan antara res cogitans dan res extensa. Tradisi Cartesian hanya menafsir ruang berdasar ukuran luas, keliling, koordinat dan sebagainya (ruang konkret). Sementara itu dalam konsep Kantian, ruang dan waktu tidaklah objektif dan hanya ada pada tataran subjektif (ruang abstrak. Akibatnya sampai saat ini pula para intelektual dan perancang perkotaan lebih banyak bermain di ranah ruang abstrak ketika mengkonseptualisasi kota, sedangkan yang dihadapi oleh masyarakat adalah realitas di ruang konkret. Ruang yang secara fundamental selalu terikat dengan realitas sosial masyarakat. Sebagai filsuf marxis, Lefebvre berargumentasi bahwa produksi sosial atas ruang kota adalah dasar bagi reproduksi masyarakat, yang sengaja diciptakan oleh kapitalisme.

Dengan kekuatan modalnya kaum kapitalis memproduksi, dan menentukan rancangan ruang-ruang sesuai kepentingannya. Ruang tidak lagi hanya dilihat sebagai yang independen pada dirinya sendiriseolah-olah terpisah dari realitas masyarakat,  tetapi juga ruang menyingkapkan praktik-praktik spasial yang dipropagandakan oleh sistem kapitalisme di belakangnya. Pada saat yang sama kaum kapitalis merepresentasi ruang dan memberikan definisi baru bagi masyarakat yang sengaja dikonstruksinya sedemikian rupa.

Masalah sosial yang muncul di era kapitalisme tidak lagi soal eksploitasi dan alienasi tenaga kerja, melainkan bagaimana kekuatan kapitalis dan kekuatan industri budaya memainkan dominasi melalui penjajahan kultural, hegemoni, dan memanipulasi hasrat konsumen. Praktik representasi ruang ini tidak hanya terjadi pada sosio-ekonomi, tetapi juga digalakkan secara masif di ranah politik, seperti politik baliho yang dipajangkan di ruang publik. Kapitalisme dan negara bergandeng tangan merebut ruang publik dan mengkomodifikasikannyatermasuk manusia di dalamnyauntuk tujuan komersial dan penimbunan kapital semata. Ruang publik seolah-olah menyediakan fasilitas bagi pertumbuhan kekuatan bisnis ekonomi dan kekuasan politik predatoris mereka, dan korbannya ialah masyarakat warga.

Setelah ruang publik dibajak dan dikomodifikasi, agenda selanjutnya ialah meredefinisi masyarakat warga sesuai dengan tingkatan produk-produk kapitalisme dan negara. Kapitalisme menciptakan masyarakat konsumen dan negara memproduksi masyarakat partisan yang anti-kritisisme (anti-intelektualisme). Masyarakat konsumen pasti akan merasa ketinggalan zaman ketika tidak memiliki dan membeli produk-produk terbaru yang sengaja diciptakan oleh sistem kapitalisme. Demikian pun dalam konteks politik, masyarakat niscaya akan disebut pembangkang atau vandalisme, ketika berusaha menyalurkan aspirasi demokratis dan partisipasi politik yang bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan negara. Ketika ruang publik dikomodifikasi demi kepentingan komersial, sesungguhnya praktik produksi ruang dalam keseharian masyarakat warga menjadikan komersial sebagai penanda relasi antar-ruang yang paling konkret. Hal ini tampak dalam kebijakan penghapusan mural politik. Fatalnya, mural politik kehilangan daya gigitnya.

Lefebvre mempunyai resep teoritis untuk menghancurkan ruang yang diciptakan oleh kapitalisme dan negara. Resep teoritisnya ialah klaim “hak atas kota”. Lefebvre mengatakan bahwa berbicara tentang hak atas kota hendaknya menjadi petunjuk arah bahwa kota sebagai polis, kolektivitas politik, di mana kepentingan publik ditegaskan dan direalisasikan. Dan Farchan mengatakan bahwa “Check and balances sesungguhnya tidak hanya berlangsung di dalam sistem politik antar eksekutif dan legislatif, tetapi juga antara sistem politik dan masyarakat warga dalam bentuk publik use of reason dalam ruang publik.”

Sayangnya klaim hak atas kota dari masyarakat warga sebagaimana yang dianjurkan oleh Lefebvre dan Farchan tersebut tidak mendapat tempat di Indonesia. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora pun sibuk membuat penelitian dan mempublikkan masalah-masalah struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak menyentuh ruang sebagai produksi sosial. Di tengah hiruk-pikuk karena pandemi covid-19 ini masalah korupsi yang terus menggurita, agenda pembentukan partai hijau, urbanisasi, perdagangan manusia, perampasan/ penggusuran tanah rakyat secara ekstraktif, deforestasi besar-besaran, IUP geothermal secara sepihak, ketidakmerataan distribusi vaksin dan logistik, dan kematian manusia kurang mendapat perhatian serius dari negara. Alih-alih memproklamasikan keberpihakan negara terhadap masyarakat warga, ruang publik kita memberi fasilitas bagi pertumbuhan dan ekspansi kapitalisme. Alih-alih menyuarakan dan membela hak-hak kemanusiaan masyarakat warga, ruang publik kita justru membiarkan praktik-praktik ketidakmanusiawiaan. Moga-moga mural politik tidak murka. Sebab kalau ia murka, ia juga tidak mengenal batas-batas ruang publik. Tetaplah waspada!

 

Daftar Pustaka:

Lefebvre, Henry. 1991. The Production of Space, terj. Donald Nicholson-Smith. Basil Blackwel. Oxford.

Wicandra, O. B. 2009. Berkomunikasi Secara Visual Melalui Mural di Yogyakarta. Nirmana,

Robet, Robertus. 2014. Ruang Sebagai Produksi Sosial Dalam Henri Lefebvre, https://caktarno.wordpress.com/2014/09/06/ruang-sebagai-produksi-sosial-dalam-henri-lefebvre/ diakses pada Rabu 1 September 21.

Setiawan, Andi. 2017. Produksi Ruang Sosial Sebagai Konsep Pengembangan Ruang Perkotaan (Kajian Atas Teori Ruang Henri Lefebvre). Haluan Sastra Budaya.

Yusa’ Farchan, “Mural Politik dan Perebutan Ruang Publik”, dalam Jawapos.com, https://www.jawapos.com/opini/29/08/2021/mural-politik-dan-perebutan-ruang-publik/?page=all diakses pada Jumat 3 September 2021

Danang Lukmana, “Henri Lefebvre : Dialektika dan Produksi Ruang”, dalam Logosid, https://logosid.xyz/henri-lefebvre-dialektika-dan-produksi-ruang/ diiakses pada Rabu 1 September 2021.

 

*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif pada 8 September 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.

Post a Comment for "Waspada Murka Mural!"