Tantangan Ekososialisme Rob Wallace di Indonesia
|
Tidak
seperti flu musiman, pandemi covid-19 telah memicu ketidakpastian (Rob Wallace,
2020:5). Ferdi Hasiman, peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia
memberikan komentar tentang akibat pandemi covid-19 ini, “Negara-negara
terkunci, manusia mengurung diri dan menjadi paranoid dengan segala sesuatu,
termasuk dengan sesama…. Operasional perusahaan-perusahaan besar terhenti.
Rantai supply dan produksi makanan
dan obat-obatan antar negara mati. Harga minyak, komoditas tambang dan sawit
jatuh. Konsumsi masyarakat di berbagai lini tumpul. Neraca ekspor-impor antar
negara mengalami penurunan sangat dalam” (2021:99). Pandemi mematikan ini
mungkin tidak berakhir.
Artikel
ini lahir dari pembacaan atas buku Rob Wallace berjudul Matinya Epidemilog: Ekspansi Modal & Asal-Usul Covid-19. Rob
Wallace adalah seorang ahli biologi evolusioner dan filolog kesehatan
masyarakat dari University of Minnesota. Sebagai seorang ahli epidemiologi, ia
telah meneliti beberapa penyakit menular yang mematikan lainnya di zaman kita,
termasuk Ebola, Zika, flu babi (flu H1N1), H5N2 dan H5Nx. Dengan menggunakan
paradigma ekologi politik, Wallace menganalisis secara ekstensif perjanjian
perdagangan bebas, sirkuit pasar modal global, dan deforestasi yang menyebabkan
“Flu Besar” dan pandemi mematikan lainnya muncul (Jipson John dan Jitheesh PM,
2021). Akibat deforestasi ini, virus berevolusi menjadi fenotipe yang
mematikan, dan menular pada hewan-hewan yang berhasil didomestifikasi, dan
akhirnya menyerang tubuh manusia.
Teater Pandemi
Menurut Wallace penyebab covid-19 dan patogen lain
tidak hanya ditemukan pada satu objek infeksi atau perjalanan klinisnya, tetapi
juga di bidang hubungan ekosistem modal, ekspansi dalam industri-industri
peternakan dan agrobisnis, dan penyebab struktur lainnya telah disematkan
kembali ke asalnya (hlm. 11-17). Wallace dan rekan-rekannya mengkritik cara
produksi kapitalis, terutama kepada Simon Reid, professor pengendalian penyakit
menular di University of Queen (hlm.
18-21, 33). Simon Reid, kata Wallace, gagal menganalisis
keseluruhan pengamatan teksnisnya. Reid berusaha menyangkal hasil penelitannya
yang akurat dengan membenarkan pendapat bahwa negara di Bumi Selatan menjadi
penyebab munculnya wabah dan karena itu harus bertanggung jawab penuh atas
pandemi mematikan ini. Hal itu, lanjut Wallace, merupakan kewajiban
kontradiktif dari universitas neoliberal dalam menganalisis penyakit menular.
Reid tunduk di bawah kendali kelas penguasa karena keseluruhan pengamatan
teknisnya didanai oleh kelas penguasa. Reid membuat penelitian dan melaporkan
hasilnya harus sesuai dengan kepentingan kelas penguasa.
Tidak hanya Reid, tetapi sejumlah tokoh di bidang
ekokesehatan juga didanai oleh Colgate-Palmolive dan Johnson & Johnson,
perusahaan-perusahaan yang mendorong deforestasi untuk tujuan agrobisnis,
menghasilkan peta global berdasarkan wabah yang muncul sejak 1940 (hlm. 49).
Dalam gambaran yang membingungkan tentang geografi
absolut itu, tulis Wallace, peta yang mereka buat—menunjukkan warna merah
di wilayah Tiongkok, India, Indonesia, dan sebagian Amerika Latin dan
Afrika—melewatkan titik-titik penting (hlm. 50). Wallace tidak hanya
menganalisis penyebab evolusi pandemi laboratorium, tetapi juga penyebab
struktural lainnya.
Penyebab
struktural yang Wallace maksudkan ialah agenda kapitalisme neoliberal. Struktur
politik neoliberalisme menciptakan kedaruratan, dan kemudian menghibur
masyarakat dunia dengan retorika kontradiktoris. Wallace menolak pandapat
seperti yang dikatakan Hasiman bahwa “mimpi besar globalis dan kapitalis
tentang sebuah dunia tanpa batas (borderless) yang terhubung melalui teknologi
mendadak runtuh”.
Atau
pernyataan Simon Reid, “Tiongkok telah menjadi sumber dari wabah yang terus berulang,
dan WHO yang sekarang dimiliki oleh filantrokapitalisme memimpin mekanisme
biokontrol yang patut dicontoh” sangat ditentang oleh Wallace. Pernyataan Reid
ini bernada propaganda dan seolah mengajak masyarakat dunia agar semakin takut
terhadap orang atau hal-hal yang berkaitan Tiongkok (sinofobia), dan kemudian
membiarkan kedigdayaan sistem neoliberalisme membiayai segala kejahatan
komodifikasi pangan dan ternak di negara-negara lain. Menurut Wallace, hampir
semua proyek neoliberal diatur untuk mendukung upaya perusahaan yang berbasis
di negara industri yang lebih maju untuk mencuri lahan dan sumber daya dari
negara-negara lemah (hlm. 28). Justru karena kekuasaan neoliberalisme, globalis
dan kapitalis neoliberal semakin mudah memperluas ekspansi kapital (produksi
agrobisnis) dan melancarkan agendanya.
Mengutip
Sam Gindin (2021), Coen Husain Pontoh (2021) menulis, “kegagalan ini bukan
karena kapitalisme tidak bisa mengakumulasi profit sebesar-besarnya bagi para
kapitalis dan para stakeholder-nya,
atau karena kapitalisme tidak mampu berpenetrasi hingga ke sudut-sudut
terpencil di seluruh belahan bumi, tapi kegagalan
dalam menghadapi pandemi ini justru akibat dari kesuksesan kapitalisme itu sendiri.” Dalam nada lain, Wallace
ketika diwawancarai oleh Ashley Smith (2020), seorang penulis dan aktivis sosialis
di Burlington, Vermont berkomentar, “that such outbreaks are not an accident
but the result of a capitalist system that puts profit before the environment, human
beings, and public health. What a radical notion: that our social systems
impact our epidemiologies!”
Selain
itu, kata Wallace, apa yang terjadi di Tiongkok tidak lantas tidak terjadi di
negara lain. Wallace memberi contoh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
lainnya yang telah menjadi tempat bagi bermunculannya jenis flu baru. Selain itu, lanjut Wallace, agen
multinasional dan neokolonial Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya
yang mendorong kemunculan Ebola di Afrika Barat dan Zika di Brasil.
Di
bawah neoliberal, jelas Wallace, ahli epidemologi dan kesehatan masyarakat (dan
seluruh masyarakat dunia) dikendalikan oleh kelas penguasa untuk menghapuskan
dosa dari kebijakan sistem kapitalisme global—termasuk dari Tiongkok—yang telah
menciptakan kedaruratan dan ketidakpastian. Para ahli epidemologi, virologi dan
bidang kesehatan masyarakat lainnya didanai dan diperalat oleh kelas penguasa
untuk merasionalisasi praktik kejahatan komodifikasi pangan dan ternak yang
menjadi penyebab munculnnya tidak sedikit pandemi mematikan. Wallace menyebut
hal ini sebagai “teater pandemi”.
Julukan
Wallace ini benar. Kelas penguasa sebagai sutradara tunggal sedang menyutradarai
kematian masyarakat dunia dengan menciptakan ketidakpastian, kedaruratan,
risiko besar, yang mana masyarakat kelas menengah ke bawah tidak mampu
mengendalikan dan/atau mengatasinya. Masyarakat kelas menengah ke bawah harus
bertekuk lutut dan memohon pertolongan kelas penguasa modal agar mengendalikan
dan menghentikan era ketidakpastian (teater pandemi) ini. Akan tetapi, keluh
Wallace, sampai kapan pun tidak ada
perusahaan yang dapat menanggung biaya kerusakan yang ditumbulkan proyek kapitalisme
neoliberal melalui ekspansi agrobisnis ini (hlm. 29).
Itulah
sebabnya Wallace mengajak masyarakat dunia agar memilih ekososialisme, sebagai
sistem yang mampu memperbaiki keretakan metabolis antara ekologi dan ekonomi,
dan antara kota dan desa dengan alam liar. Menyitir JB Foster, Wallace menegaskan
ekososialisme merupakan sistem yang dapat menjaga agar patogen terburuk tidak
muncul lagi. Untuk mewujudkannya, tandas Wallace, dibutuhkan Solidaritas
Internasional dengan manusia biasa (baca: Masyarakat kelas menengah ke bawah)
di seluruh dunia.
Selain
itu Wallace menghendaki masyarakat dunia menjalin sistem dunia baru, pembebasan
adat; otonomi petani dan sektor publik yang kuat harus bisa mengekang gangguan
lingkungan dan infeksi yang tidak terkendali; menghubungkan produksi yang adil
dengan sirkulasi yang adil; memberi subsidi dengan program sokongan harga dan
pembelian konsumen yang mendukung produksi agroekologis; membangun kembali
metabolisme ketahanan hayati; memperkenalkan firebeaker imun dari varietas yang sangat beragam pada hewan
ternak, unggas dan tanaman; dan terutama lindungi eksperimen produksi
agroekologis baik dari tekanan ekonomi neoliberal yang dibebankan pada individu
dan komunitas maupun dari ancaman represi negara yang dikendalikan oleh kelas
penguasa modal (hlm. 21, 32-33).
Wallace
mengajak kita untuk, “immediate fights over everything from polluted waterways
to the sources of deadly outbreaks, housing, farm bankruptcy, police brutality,
workplace fights, racism, and war.”
Tantangan Ekososialisme
di Indonesia
Akan
tetapi pandangan sturuktural Wallace agaknya kurang mendapat ruang di
Indonesia. Sila kelima Pancasila dan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 jelas mengandung
makna terdalam ekososialisme. Indonesia menganut sistem demokrasi bukan hanya
dalam sistem politik, melainkan juga sistem ekonomi; Demokrasi Ekonomi/Ekonomi Pancasila.
Indonesia selalu berjalan di luar kendali ekososialismenya sendiri. Indonesia
begitu cair menghadapi kapitalisme neoliberal.
Hardiman
menulis (2013:103), “ketika birokrasi negara hukum dan pasar kapitalis dibiarkan bererkspansi
tanpa kontrol publik ke wilayah-wilayah sosial-kulutural, lambat laun
solidaritas komuniter, (agroekologi, dan ekososialisme ala Indonesia) mengalami
erosi”. Ketika akumulasi kapital dan kepentingan modal menjadi preferensi baru
dalam sistem politik, kematian jutaan tidak lagi dipandang sebagai bencana kemanusiaan.
Kematian
berarti ketidakmampuan manusia menghadapi pandemi mematikan. Ketidakmampuan
manusia menghadapi pandemi berarti juga ketidakanggotaan poilitis. Ketidakanggotan
politis—kecuali
sebagai komoditas yang bisa dikomodifikasi, ditawarkan kematiannya dan
diperdagangkan demi kepentingan—berarti juga manusia
itu kehilangan arti transubtansial-metafisisnya. Manusia menjelma menjadi apa
yang disebut Ulrich Beck sebagai “masyarakat risiko”. Seolah-olah kehadiran dan
dengan keberadaannya sebagai yang terberi, manusia menjadi risiko bagi
sesamanya. Ketika negara sebagai sabuk pengaman kemanusiaan universal makin
kendur menghadapi pandemi ekspansi kapitalisme neoliberal, ke manakah lagi warga
negaranya?
Daftar Pustaka
Rob
Wallace, Matinya Epidemilog: Ekspansi
Modal & Asal-Usul Covid-19 terj. A. Faricha Mantika (Yogyakarta:
Penerbit Independen, 2020).
F.
Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki.
Skandal Demokrasi di Indonesia (Jakarta: PT Kanisius, 2013).
Ferdy
Hasiman, “Solidaritas Sosial di Tengah
Bencana”, dalam Vox Ledalero, Seri 67/02/2021
Jipson
John dan Jitheesh PM, “Rob Wallace on the Political Economy of Pandemics”,
dalam
Frontline. India's National
Magazine. https://frontline.thehindu.com/cover-story/interview-rob-wallace-on-the-political-economy-of-pandemics/article34801273.ece
diakses Sabtu, 21 Agustus 2021
Ashley
Smith, “Competing with Nature: COVID-19 as a Capitalist Virus. Interview with
Rob Wallace”, dalam Spectrejournal.Com,
https://spectrejournal.com/competing-with-nature/
diakses pada Sabtu, 21 Agustus 2021.
Coen
Husain Pontoh, “Covid-19, Fatalisme Intelektual, dan Krisis Ilmu Sosial di
Indonesia”, dalam Indoprogress, https://indoprogress.com/2021/08/covid-19-fatalisme-intelektual-dan-krisis-ilmu-sosial-di-indonesia/,
diakses pada Minggu 22, Agustus 2021.
*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif 1 September 2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Tantangan Ekososialisme Rob Wallace di Indonesia"