Apa Sumbangan Etika bagi Hidup Kita?
Melki Deni |
Kita sudah terbiasa hidup di dalam realitas majemuk. Realitas majemuk berarti realitas sosial, realitas alamiah, realitas sebagaimana adanya, realitas yang semestinya, realitas sebagaimana yang ditafsirkan, realitas mirip alam, realitas yang dikehendaki dan seterusnya. Kita dan realitas majemuk itu selalu mengandaikan hubungan timbal balik.
Ketika
kita duduk di auditorium dan mencamkan isi perkuliahan dapat dipahami sebagai
usaha bagaimana kita memahami, mengaitkan dan “menata” realitas majemuk tersebut.
Setiap usaha memahami, mengaitkan dan “menata” sebagai pembentukan realitas
majemuk, di dalamnya mengandung kesadaran. Kesadaran bisa peroleh dari dirinya
sendiri dan bisa terlahir dari luar kesadaran itu sendiri. Akan tetapi memahami
realitas majemuk tidak hanya sampai di situ.
Di dalam realitas majemuk kita mengalami banyak
realitas, dan realitas itu berhubungan langsung dengan tindakan etis manusia. Kita
seringkali mendengar pernyataan-pernyataan pemerintah tidak adil; pembunuhan
itu tindakan kejahatan; tindakan pemerkosaan itu tidak bermoral; praktik
mitokondria tidak etis karena mengancam keselamatan bayi; otolaryngologit itu buruk; plagiat itu tidak baik; kita wajib
menolong orang miskin; jangan mencuri; dan jangan maki.
Pernyataan-pernyataan seperti itu melibatkan orang, tindakan dan akibat tindakan tersebut, berkaitan erat dengan moralitas dan realitas majemuk yang tidak terpisahkan dari hidup manusia setiap hari. Frans Ceunfin[1] menjelaskan bahwa dalam pengalaman moral, ada dua unsur penting yang terungkap, yaitu penilaian dan kewajiban. Penilaian moral adalah evaluasi yang dibuat atas perbuatan, watak, dan bahkan orang tertentu dari sudut pandang baik-buruknya. Selanjutnya Ceunfin menjelaskan kewajiban moral tetap mengandaikan kebebasan, tidak seperti kebebasan-kebebasan lainnya. Antara sesuatu yang dibuat, mau dibuat dan atau yang tidak dibuat tetap berada dalam jangkauan pilihan bebas seseorang. Kewajiban moral bersifat tanpa syarat.[2]
Etika: Apa itu?
Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa
Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu Ethos
dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan
dan perbuatan yang baik.[3]
Istilah moral berasal dari kata latin yaitu mores,
yang merupakan bentuk jamak dari mos,
yang berarti adat istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan cara
hidup.[4]
Menurut K. Bertens ada dua pengertian etika: sebagai
praktis dan sebagai refleksi. Sebagai praktis, etika berarti nilai-nilai dan
norma-norma moral sejauh dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun
seharusnya dipraktikkan. Dapat dikatakan juga, etika sebagai praktis apa yang
harus dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan moral sosial.[5]
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam
etika sebagai refleksi, kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya
tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Etika sebagai
refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis
sebagai obyeknya.[6]
Pada dasarnya kaidah, norma atau aturan ini menyangkut
baik-buruk perilaku manusia. Di sini etika dipahami sebagai ajaran yang
berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia, yaitu
perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.[7]
Etika sering diidentikkan dengan moralitas. Namun
demikian etika dan moralitas tetap memiliki perbedaan pengertian. Pengertian
moralitas cenderung pada nilai baik-buruk dari setiap perbuatan manusia,
sedangkan etika berarti ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk.
Etika berfungsi sebagai teori tentang perbuatan baik dan buruk. K. Bertens menjelaskan, etika membatasi dirinya dari disiplin ilmu lain dengan pertanyaan apa itu moral? Hal ini merupakan bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan seputar etika. Tugas utama etika ialah menyelidiki apa yang harus dilakukan manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat etika membahas yang harus dilakukan.[8]
Hubungan Etika dan Manusia yang Baik
Sudah dijelaskan bahwa moralitas berhubungan erat dengan manusia. Manusia mesti bermoral (beretika), dan tidak ada manusia hidup di luar moralitas. Menurut Frans Ceunfin pada dasarnya etika bersifat normatif (mengatur) dan imperatif (mewajibkan).[9] Etika bersifat normatif, karena di dalamnya mengandung norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan.
Ceunfin menjelaskan tujuannya ialah bukan untuk mengetahui, melainkan memberi perintah (presciptions).[10] Etika melekat dalam kemanusiaan kita dan dalam tindakan-tindakan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kita. Segala usaha kita menolak dan atau mengabaikan moralitas berarti menolak dan atau mengabaikan diri kita sendiri. Oleh karena moralitas itu melekat dalam kemanusiaan kita, moralitas bersifat objektif, berlaku untuk semua orang, dan dapat dinilai secara objektif pula dengan argumentasi yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.[11]
Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup
yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada
kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini kemudian dianut dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kemudian kebiasaan hidup
yang baik ini dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma yang
disebarluaskan, dikenal, dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, dari berbagai nilai
yang mendorong tindakan seseorang, kesadaran menangkap suatu nilai yang khas:
berbeda dari nilai-nilai lain, tidak dapat direduksi pada nilai-nilai lain dan
berada di tingkat lebih tinggi.[12]
Ceunfin menjelaskan nilai ini khas karena “mengukur” manusia sebagai manusia.
Kita dapat mengukur baik-buruknya sejauh nilai moralnya negatif atau positif. Jadi
di sini nilai moral bersifat objektif, karena di dalam pengalaman konkret
terdapat penilaian-penilaian moral.
Setiap pengalaman konkret memperlihatkan penilaian moral. Seperti sudah kita ketahui bahwa setiap tindakan baik, pantas mendapatkan pujian; tindakan buruk, pantas mendatangkan kecaman, hukuman dan keburukan; dan ada tindakan yang bersifat “di antara” tindakan yang baik dan tindakan yang buruk.
Putusan baik-buruk berhubungan erat dengan nilai. Objektivitas nilai moral terlihat dalam reaksi spontan dan pra-reflektif dari orang yang marah bila berhadapan dengan situasi yang tidak adil entah itu diderita sendiri atau diderita oleh orang lain.[13]
Tanpa
harus berpikir lama dan atau refleksi, kita seringkali menilai pelanggaran
seseorang atas aturan umum. Misalnya, seorang mahasiswa kedapatan plagiat,
sontak kita marah tanpa harus berpikir panjang dan atau refleksi panjang lebar
apa itu plagiat. Penilaian semacam itu berhubungan erat dengan hidup manusia,
dan bahkan mengukur kualitas hidup manusia sebagai manusia.[14]
Di sini, penilaian moral berkaitan erat dengan norma moral dengan usaha untuk
mencapai hidup yang baik.
Dalam hidup kita menemukan banyak contoh konkret berkaitan erat dengan penilaian moral baik secara positif maupun negatif tindakan orang lain. Tindakan dan bahasa manusia memperlihatkan adanya penilaian dan kewajiban.
Tindakan etis merupakan tindakan yang dijalankan
berdasarkan kewajiban. Di dalam realitas konkret, tindakan kita diarahkan dan
diatur oleh aturan-aturan tertentu baik berasal dari dalam dirinya sendiri
maupun dari luar dirinya. Jika kita berbicara tentang aturan berarti kita
berbicara tentang kewajiban.
Kewajiban mengandaikan adanya aturan yang mengatur dan mengarahkan manusia untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Di sini, ada dua kewajiban; kewajiban berasal dari dalam diri dan kewajiban berasal dari luar diri.
Pada orang dewasa kewajiban dari dalam ini berasal hati nurani yang berperan sebagai pembimbing dan hakim yang menilai. Kita mendengar ucapan:“Hati nuraniku mendorong, memerintahkan, melarang, dan mengancam.”[15] Kewajiban moral berasal dari dalam diri seseorang, yang diperintah oleh hati nurani. Karena itu, seseorang bebas melakukan atau tidak melakukannya. Jadi dalam pelaksanaannya, kewajiban moral bersifat membebaskan manusia sesuai dengan kewajiban berasal dari luar dirinya.
Kewajiban berasal dari luar diri
dapat disebut etika kewajiban, karena ia selalu mengandaikan pemahaman akan
manusia sebenarnya, bukan seharusnya.
F. Magnis-Suseno menjelaskan bahwa etika kewajiban yang merupakan antithesis terhadap etika kebijaksanaan sebenarnya tidak jatuh begitu saja dari langit.[16] Unsur kunci, paham kewajiban, sudah diangkat dalam etika agama-agama monoteis, dan secara intrinsik tertampung dalam etika hukum kodrat Thomas Aquinas.
Menurut Magnis-Suseno, orang dapat saja mengikuti aturan-aturan moral bukan
karena ia meyakininya sendiri, melainkan, pertama, karena diharuskan dari luar
oleh suatu pihak berwenang, dan kedua, karena hidup bermoral menjadi syarat
untuk masuk surga: Implikasi dari dua paham ini sama: Orang hidup bermoral
bukan lagi karena hidup bermoral sendiri bermakna.[17]
Namun apabila orang hidup bermoral dimengerti semata-mata sebagai sarana untuk
memperoleh ganjaran di surga, orang dapat saja beranggapan bahwa seandainya
tak ada hidup sesudah kematian, tak usah hidup bermoral.[18]
Akan tetapi menurut Immanuel Kant, melakukan kewajiban moral demi suatu tujuan tertentu, termasuk kebahagiaan sendiri, bukan namanya moralitas, melainkan pertimbangan kebijaksanaan.[19] Manusia bermoral ketika ia menyadari bahwa ia berada di bawah hukum moral dan mau melaksanakan hukum moral demi demi hormat terhadap hukum moral itu sendiri.[20]
Magnis-Suseno berpendapat sikap ini pantas disebut moral sungguh-sungguh karena kewajiban dilakukan demi kewajiban. Sikap itu otonom, karena orang taat pada hukum moral bukan karena ada yang mewajibkan, karena ia sendiri menyadarinya sebagai kewajiban.
Ia bersikap moral, karena ia mau bersikap moral, jadi bukan karena
ada yang mewajibkan, melainkan karena ia sendiri sadar bahwa ia memang
berkewajiban, jadi secara otonom.[21]
Di sini etika keutamaan berasal dari dalam diri, yaitu dari watak dan kepribadian
subjek bermoral.
Kita dapat mengatakan bahwa subjek bermoral melakukan kewajiban moralnya bukan semata-mata demi suatu tujuan umum sebagaimana yang diharapkan, melainkan demi kewajiban itu sendiri. Kita sebagai subjek bermoral melakukan kewajiban demi kewajiban itu sendiri karena kita sendiri sadar bahwa kita subjek yang rasional.
Etika kewajiban ini mesti berdampak dalam tindakan
etis, dan perbuatan kita mesti memperlihatkan kesadaran moral bahwa kewajiban
dilakukan demi kewajiban itu sendiri. Dengan demikian kita memahami etika dan
sumbangannya bagi kita dalam mencapai hidup yang lebih baik.
Titik tolak kesadaran moral ialah realitas majemuk,
yang di dalamnya kita hidup. Realitas majemuk itu berhubungan erat secara penuh
dengan kita, dan tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia pada umumnya. Sumber
kesadaran moral kita justru terletak pada keterikatan ini, yang di dalamnya
kita bertanggung jawab atas kebaikan bersama.
Kesadaran moral mesti dituntun oleh kesadaran dari dalam bahwa saya wajib berbuat baik kepada sesama. Dan kewajiban itu sendiri sudah bernilai pada dirinya sendiri, dan kita bertanggung jawab untuk memperlihatkannya.
Kesadaran moral sebagai keterikatan yang penuh terhadap
kebaikan bersama dari kesadaran dari dalam, yaitu dari hati nurani. Ketika kita
berbuat baik kepada sesama, maka perbuatan baik itu akan terpantul kembali pada
kita. Dengan lain perkataan, kewajiban moral yang bernilai pada dirinya sendiri
ditambah dengan kesadaran moral memampukan kita dalam usaha mencapai hidup yang
baik.
[1] Frans
Ceunfin, Lic., Etika (Ms.), 2019, hlm.
6.
[2] Ibid.,
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2000), hlm. 217.
[4] Ibid., hlm.672.
[5] K. Bertens, Etika Bisnis, (Jakarta: Penerbit Kanisius, Cet. ke-7, 2007), hlm.
33.
[6] Ibid.,
[7] A. Sonny Keraf, Etika
Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 2.
[8] K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 27.
[9] Frans
Ceunfin, Lic., Op.Cit., hlm. 9.
[10] Ibid.,
[11] Ibid., hlm. 6.
[12] Ibid., hlm. 41.
[13] Ibid., hlm. 42.
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hlm. 46.
[16]
F. Magnis-Suseno,
“Perkembangan Baru dalam Etika”, dalam Jurnal
Diskursus, 1: 1 (Jakarta, April 2002), hlm. 18.
[17]
Ibid.,
[18] Ibid.,
[19] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad ke-19 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997), 153.
[20] F.
Magnis-Suseno, Op. Cit., hlm. 19.
[21] Ibid.,
Post a Comment for "Apa Sumbangan Etika bagi Hidup Kita?"