Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengapa Upaya Rekonsiliasi Politik di Indonesia Gagal?

Melki Deni

Rekonsiliasi adalah tindakan memulihkan kembali hubungan di antara dua kelompok atau lebih yang dirusakkan oleh hubungan yang tak adil di masa lalu. Pemulihan ini dibangun atas dasar penghormatan pada prinsip kemanusiaan. Rekonsiliasi menjadi tema kompleks sejak rezim transisi sampai saat ini. 

Secara konseptual, rekonsiliasi merupakan sebuah diskursus politik yang lahir atas kepercayaan bahwa masa depan negara yang lebih beradab akan sulit dicapai tanpa didahului oleh usaha kolektif untuk menyelesaikan (memulihkan) kejahatan politik masa lalu. Beberapa dekade terakhir telah diupayakan rekonsiliasi politik sebagai sarana sebuah negara untuk berdamai dengan kejahatan politik masa lalu. Di Indonesia sendiri diwacanakan perlunya rekonsiliasi politik terhadap tragedi 1965. Namun demikian rekonsiliasi politik terhadap tragedi 1965 belum menunjukkan titik terang.

Saya berpendapat bahwa Indonesia sendiri belum menentukan pilihan finalnya secara kolektif terhadap upaya rekonsiliasi politik atas tragedi 1965. Sebagian proses rekonsiliasi memang sedang berlangsung terutama dalam ikhwal kejahatan terhadap HAM. Pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ala Indonesia mungkin akan menghasilkan model yang telah amat berbeda dari sumber asalnya, baik karena kesadaran tentang sifat keunikan masalah yang sedang dihadapi maupun karena proses-proses politik lainnya. 

Indonesia mempunyai niat untuk mengadaptasikan model yang diambil dari pengalaman Afrika Selatan. Memang terdapat sejumlah keadaan yang membedakan pengalaman Afrika Selatan dan Indonesia. Di Afrika Selatan, KKR lahir dari proses politik yang amat panjang, yang didahului oleh diskursus awal di antara rezim Apharteid pimpinan de Klerk dan Nelson Mandela. Dengan kata lain, terdapat negosiasi yang amat panjang, sekurang-kurangnya tiga tahun (1989-1991), di antara mereka hingga menghasilkan formula bersama tentang masa peralihan di Afrika selatan.

Jauh sebelum itu, setelah Jerman runtuh, pemerintahan fasis di bawah Hitler dengan bantuan negara-negara sekutu menerapkan pola “never to forget, never to forgive”, (tidak melupakan dan tidak memaafkan). Hal ini berarti mengadili dan memberi hukuman. Sebaliknya, Spanyol memilih pola  “to forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan). Hal ini berarti tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja. Tindakan itu terjadi segera setelah jatuhnya diktaktor Franco di era 70-an. Sementara  itu Korea Selatan menerapkan pola “never to forget but to forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan). Hal ini berarti mengadili dan memberi pengampunan. Rekonsiliasi ini  terjadi  pada kasus kedua mantan presidennya.

Afrika Selatan memilih pola “never to forget but to forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan) dengan penekanan lebih pada pendekatan disclosure atau penyingkapan melalui KKR daripada pengadilan. Sedangkan pola “to forget but never to forgive” pada dasarnya dapat ditemukan pada cara masyarakat Eropa melihat tindakan penyelidikan atau inquisition yang dilakukan pada penganut ajaran Protestan di Eropa selama Abad Pertengahan. 

Sesungguhnya lahirnya KKR di Afrika Selatan merupakan hasil kompromi politik yang menghasilkan sejumlah konsensus mendasar tentang bagaimana di satu pihak mereka menyelesaikan masa lalu dan di pihak lain menyelamatkan masa depan Afrika Selatan. Di Indonesia dapat dikatakan prakarsa itu lebih banyak datang dari kalangan masyarakat, khususnya LSM,  menyusul keputusan Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri di tahun 1998.

Catatan penting yang membedakan latar belakang kelahiran KKR di Afrika Selatan dan di Indonesia. Afrika Selatan memiliki Nelson Mandela yang secara aktif bersama-sama dengan Desmon Tutu menggagaskan rekonsiliasi dengan jargon “No Future without Forgiveness”. Namun sampai saat ini, Indonesia belum berhasil menemukan figur yang secara simbolik dipandang sebagai mewakili korban tragedy 1965. Gagasan tentang KKR di Indonesia belum menjadi milik bersama, apalagi dipercaya sebagai solusi bersama. Diskursus rekonsiliasi politik atas tragedy 1965 sebatas strategi politik golongan tertentu.

Mengapa upaya rekonsiliasi politik di Indonesia gagal? Selain menghadapi warisan masa lalu itu dan kebutuhan untuk melakukan konsolidasi kelembagaan di tingkat negara, Indonesia masih dilanda krisis ekonomi yang hebat. Sampai saat ini Indonesia sedang diancam oleh fenomena pemisahan teritorial. Tambahan pula langkanya leadership dan common platform di tingkat Negara; dua hal yang biasanya dapat menyelamatkan negara dari kegagalan. Kenyataan lain ialah sering menyingkirkan tema-tema relevan demokrasi dari perdebatan publik. Jelas hal ikhwal ini kian menempatkan usaha-usaha penyelesaian masa lalu menjadi gagal, karena tema-tema itu bercampur dengan kepentingan politik, bahkan ideologis tertentu.

Dalam penyelesaian terhadap kejahatan politk masa lalu terdapat empat pola yang lazimnya dipilih oleh beberapa negara. Sebagai sebuah spektrum umum empat pola itu bergerak dari pertama, “never to forget, never to forgive” (tidak melupakan dan tidak memafkan; yang berarti “adili dan hukum”). Kedua, “never to forget but to forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan; yang berarti “adili dan kemudian ampuni”). Ketiga, “to forget but never to forgive” (melupakan tetapi tidak pernah memaafkan; yang artinya tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya). Dan keempat, “to forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan; yang artinya tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja).

Untuk konteks Indonesia kita mesti belajar pengalaman KKR di Afrika Selatan. KKR bekerja dengan dua pintu utama: pengaduan dan pengakuan. Dua duanya beroperasi dengan prinsip sukarela. Walaupun tidak mudah, pengampunan pada dasarnya dapat diberikan asal terdapat empat syarat berikut ini: pertama pengakuan oleh pelaku kejahatan diberikan sejujur-jujur dan selengkap-lengkapnya; kedua tindakan kejahatan di masa lalu di mana ia terlibat, sepenuhnya merupakan tindakan yang ditunggangi oleh alasan politik, bukan dan tidak pernah dimotivasi oleh alasan pribadi; ketiga tidak ada keuntungan pribadi dalam tindakan itu; dan keempat tindakan itu tidak berlebihan. Di luar itu, kesediaan untuk memaafkan pelaku oleh korban kerap menjadi pertimbangan lain untuk memberikan amnesti.

KKR hanya mengurusi kejahatan terhadap HAM yang bersifat dasar seperti pembantaian, penyiksaan, perkosaan, penculikan dan penghilangan nyawa. Walaupun pada kebanyakan kasus terdapat semacam ganti rugi yang diberikan oleh negara melalui sub-komisi reparasi dan rehabilitasi, pada dasarnya ganti rugi itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan apa yang dialami korban atau keluarganya. Kemampuan keuangan negara menjadi sebab utama akan masalah itu.  Jadi, rekonsiliasi yang saya tawarkan ialah Indonesia memilih pola “never to forget but to forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan) dengan penekanan lebih pada pendekatan disclosure atau penyingkapan melalui KKR daripada pengadilan.



Post a Comment for "Mengapa Upaya Rekonsiliasi Politik di Indonesia Gagal?"