Menari di Ujung Jarak
(Simona Filippinone) |
“Kak
Rian, siapa yang menciptakan waktu? Aku sangat kecewa lihat jarum detik itu.
Kian laju berjalan tiada pun peduli dengan rasa ini. Aku tak mau rayakan ulang
tahun. Sebab hal itu aku perlahan lenyap dari bumi. Aku tak suka dengar
jam berapa sekarang? Karena
hal itu, aku sedang dimakan detik.
Kutahu detik senantiasa menciptakan sejarah, tapi aku tak mau diceritakan di
dalamnya.” Erlin mulai
mengungkapkan kalimat-kalimat abstrak, yang bikin Rian harus berpikir.
Rian melemparkan senyuman khasnya. Di seberang sana
taman itu, anak-anak kecil sibuk bermain patgulipat.
“Kau
mau diceritakan oleh keturunanmu? Yang bila detik semakin cundang akan
melupakan dan melenyapkan dikau. Apa yang kau sisakan agar keturunanmu
menyadari bahwa engkau masih bernafas di dunia ini sekalipun tubuhmu telah
menjadi debu? Dan debumu akan menjadi pupuk bagi tetumbuhan di bumi ini. Aku benci sekali dengar berapa
umurmu sekarang? Sebab itu sebenarnya dia sedang mengantar aku kepada alam
maut, di mana Tuhan pun taat padanya.” Erlin lanjut bermain kata-kata puitis sambil membersihkan
kotoran-kotoran kecil pada tangan Rian sehabis kerja di belakang indekos.
“Dosa
manusia tak terampuni yang abadi ialah berani lahir, hidup dan wafat dalam
waktu. Di dalamnya hanya setengah detik kau bahagia, selebihnya kau merintih
dan menjerit seumur dikau bernafas.” keluh Erlin dengan sedikit kesal sikap dingin Rian.
“Kak
Rian, aku mau hidup di luar sana. Di mana kita takkan menemukan waktu yang
menghalangi kebebasan kita.”
tegas Erlin sejak dua hari yang lalu datang mengunjungi keluarga Rian. Rian dan Erlin baru tamat SMA.
“Apakah
kau mau mati?” Tanya
Rian penuh kebingungan.
“Entahlah,
itu mati atau hidup namanya. Tapi yang pasti aku mau kita akan selalu bersama
sampai melampaui batas waktu. Tidak ada yang meletakkan matahari atau bulan di
tengah-tengah kita.” Sela
Erlin sambil menguteks jari tangan
kirinya.
“Tapi,
dimanakah itu?” Rian mulai
naik pitam. Erlin tidak mau diam dari tadi.
“Sudah kubilang entah mati atau hidup namanya. Tapi segeralah bawa aku ke sana. Aku tak mau lama-lama di sini. Nanti kita akan dikuasai detik. Kak Rian, dimanakah Tuhan yang kita sembah? Masikah kita bertahan teguh dalam kepercayaan bahwa Tuhan itu sungguh-sungguh ada?” Tanya Erlin, yang barangkali sedang dalam menenun cintanya agar semakin mendalam. “Kita terlahir di atas puing-puing karat bekas para pendahulu yang belum mengenal diri.” Erlin berjalan ke depan.
Baca juga: Luka
Pada masa itu tak sedikit pastor datang mengunjungi
kampung-kampung di NTT untuk mewartakan Kabar Gembira dan kemuliaan Allah.
Praktik dinamisme dan animisme masih melekat kuat dalam kepercayaan leluhur. Para
misionaris datang dengan membawa perlengkapan misi sucinya; Rosario, patung dan
peralatan liturgis lainnya. Dalam bidang kesehatan, mereka membagi obat secara
gratis dan menyuntik semua masyarakat yang menderita banyak penyakit akibat kerusakan
alam, air kotor dan zat-zat kimia dari bahan limba para kapitalis.
Para leluhur berbadan kurus, kering, kerdil, kerut dan
kerempeng. Orang-orang Barat menganggap manusia Indon sebagai sampah dunia yang merusak citra manusia berkulit putih, berambut
air, bermata biru, dan berawak tinggi. Oleh karena itu sangat layak dimusnahkan
dari planet ini. Selanjutnya para misionaris membangun gedung-gedung sekolah,
membawa bibit-bibit tanaman dan komoditas lainnya.
Mereka selalu berpastoral keliling dan melayani umat dengan pelbagai kegiatan untuk membangun kesadaran dan keimanan umat melalui sosialisasi, katekese, ibadat, syering, bakti sosial dan pendekatan lainnya. Mereka membaptis tidak sedikit warga kafir menurut pengertian mereka. Mereka semua lahir dari rahim yang telah dibaptis dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Mereka semua tidak hanya memakan nasi jagung dan lauknya setiap hari tetapi mereka juga dikenyangkan oleh Tubuh dan Darah Putra Allah sendiri sebagai Kurban persembahan abadi demi penebusan dosa umat manusia, kata mereka.
Baca juga: Stigmatisasi Perempuan Alat di Manggarai
“Erlin, apakah
kita masih berani melarikan diri dari rahim suci ibu? Masikah kita menciptakan
jarak dengan Leluhur kita?”
Rian balik bertanya kepada Erlin. Rambut Erlin terbang mengikuti arah angin.
Melihat itu, Rian senyum sendiri dan berkata dalam diri tidak salah pilih
wanita.
“Kak
Rian, apakah engkau sedang menderita epilepsi atau ilusi?” Erlin menantang Rian.
“Aku
telah mempelajari banyak pengetahuan dan pengalaman bahwa tidak ada yang lebih
berkuasa di dunia ini selain seluas kelopak mata melihat. Kita hanya dapat
memahami dan menjelaskan segala objek sejauh mana kita melihat bukan sejauh
mana kita mengkhayal atau berutopia.” Erlin menjeda sedikit sambil minum es teh.
“Sesungguhnya
para pengkhayal sedang mengkhianti realitas dan menolak peradaban masyarakat
dunia. Tugas para pengkhayal hanya menghadirkan dan menciptakan sebuah ungkapan
yang seakan-akan benar bahwa di luar sana ada kekuatan adikodrati yang
melampaui batas horizon manusia. Di alam khayalan terdapat tempat yang paling
indah, kudus, suci, dan selalu menyenangkan di luar tapal batas kesadaran dan
proyek intelektualitas manusia menutut mereka. Mereka menjelaskan dan
menggambarkan khayalan liarnya dengan ungkapan-ungkapan yang persuasif dan
hipnotik agar diakui bahwa mereka sangat benar dan brilian. Kak Rian, para
pengkhayal suka tinggal di luar kesadarannya sebagai manusia yang realistis.
Kau mau tinggal di sana?
Kak Rian akan hidup, berakarya liar dan merasuki akal
manusia realistis yang lainnya. Engkau senantiasa berbahagia dalam di alam
khayalan dan menjerit di dunia nyata. Para leluhur kita telah wafat dalam
kemalangannya karena mengimani yang tak kelihatan. Praktik iman telah
mengarahkan mereka kedalam lingkup penderitaan itu.”
Jelas Erlin sangat panjang cukup membuat Rian sedikit kesal dan malu, karena tidak
sedikit orang mendengarkan penjelasan Erlin itu.
Sesekali Rian berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi Erlin tidak peduli sama
sekali.
Rian tahu bahwa selangkah kaki keluar dari bibir pintu rumah sesungguhnya ia sedang menciptakan ruang rindu. Yang dusta bukanlah hati yang mengolaborasi perasaan atau rasionalisasi realitas, tapi jarak. Jarak sedekat apapun telah berhasil menggoncangkan konsistensi dan peradaban miliaran perantau di bawah kolong langit.
Bukankah jarak yang mengkhinati dan mengantar manusia ke dalam lingkup dusta, dosa dan kutukan pada zaman Adam dan Hawa? Jarak telah menjarakkan Tuhan yang meng-ada-kan dan manusia lemah yang sangat membutuhkan sentuhan-sentuhan Ilahi. Erlin sedang menciptakan jarak dengan Tuhan dan jarak dengan dirinya sendiri. Di sekolah Erlin sangat cerdas dalam ilmu Geografi dan anatomi-biologis. Kawan-kawan Erlin selalu menceritakan kurioritasnya yang berlebihan di kelas. Erlin mengimani Tuhan yang takkan pernah mungkin ia lihat. Itulah yang membuatnya semakin menderita kekurangan konsep untuk membela kebutaanya dalam menjelaaskan Tuhan. Tidak salah bila pengetahuannya mengendalikan dirinya.
“Er,
aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu yang hanya terbang kurang lebih
setengah milimeter mendekati langit ketujuh. Karena realitas imanen dan
transendental Tuhan tidak bisa dijelaskan oleh ungkapan manusia yang sangat
dangkal. Perkataan Tuhan dalam Kitab Suci menyembunyikan lebih banyak maknanya
daripada yang ditulis oleh manusia. Sekali lagi kukatakan, bahwa manusia
menderita sengsara karena dengan sangat brutal menciptakan jarak dengan dirinya
sendiri dan Tuhan yang meng-ada-akannya. Sesungguhnya pengetahuan dan
pengalaman yang senantiasa Er puji dan dewakan selama ini diciptakan oleh manusia yang
jauh dari dirinya sendiri dan pergerakannya tidak lebih dari gravitasi bumi.
Engkau takkan pernah bisa melayang satu milimeter di atas kulit bumi.” jelas Rian.
Jarak selalu menyejarahkan rindu dan merindukan sejarah.
“Er,
semenjak engkau mengabdikan diri pada pengetahuan dan pengalaman manusia sejak
itu pulalah engkau telah menghilangkan diri dari dirimu sendiri dan menciptakan
jarak. Sekarang engkau menderita “menyejarahkan rindu” dan kalau mekar benih
rekonsialiasi maka engkau mau “merindukan sejarah” tinggal dalam kasih Tuhan.
Engkau tidak menyadari bahwa manusia harus bernafas untuk hidup dan selain itu
lusifer namanya.” Tambah Rian.
Rokok di tangan Rian habis diisap angin.
Tiada peziarah rohani dapat hidup di luar waktu yang
telah ditetapkan Tuhan. Tuhan ada dan melibatkan diri dalam waktu. Sesungguhnya
yang paling jauh di dunia ini bukanlah antariksa, matahari, atau langit biru, melainkan
‘Masa Lalu’. Siapapun Anda dan setinggi apapun pengetahuan Anda
takkan memampukan engkau kembali ke detik yang baru saja berlalu. Dan yang
paling dekat bukanlah orangtua, sahabat, pacar, atau kawan tetapi ‘Kematian’.
Sebab kematian ialah pasti dan setiap detik bisa terjadi.
“Er-ku, sayang, masikah engkau mau hidup di luar waktu? Er, kita mesti
mempersiapkan segala sesuatu
yang perlu. Tidak lama lagi
senja akan pulang membawa cerita kita pada malam yang sedari tadi bersiap-siap
menjemput dan begitu terus selanjunya.
Di sana,
entah di mana, Rian
akan mengingatkan semua cerita dan menyelipkannya dalam doa-doanya. Ia
takkan pernah tahu kapan dan di mana ia akan mati. Jika
Tuhan masih memberikan gratisan detik baginya, ia
akan melayani Tuhan.
“Er-ku,
di ujung detik hidup ini aku mau menari
indah di hadapan Tuhan.”
Kata Rian sambil mengenggam tangan Erlin. Erlin menyandarkan kepalanya pada
bahu Rian. Hari pun semakin gelap.
“Kak
Rian, lalu kapan neraka penuh?”
Erlin tanya lagi.
“Sampai Er tidak bertanya seperti lagi?”
“Maksudnya? Kaks Rian, jangan terlalu lama menunggu. Menunggu membuat kita menua sebelum waktunya—atau menjadi sepi, bila saat-saat indah telah lewat."Erlin bingung dan bertanya sambil mengangkat bahu.
“Tidak ada maksud!”
“Kaks Rian…..”
Cerpen Melki Deni
Post a Comment for "Menari di Ujung Jarak"