Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cinta Tak Semahal Belis

 

(Simona Filippinone)

Lelaki itu duduk di sudut rumah dan menangis. Ia tekun menaklukan fragmen-fragmen kenangan yang utuh. Kenangan begitu mahal dan tidak bisa dibeli. 

Semua orang pandai mengubah roda peradaban zaman, tapi hanya sebagian yang mengambil jarak, merefleksikan dan memaknai pengalaman. Lelaki itu pun yakin bahwa memaknai pengalaman berarti merekonstruksi dan mengekalkan kenangan. Dan Andini pun menjerumuskan diri ke dalam perangkap cinta lelaki itu. Andini! Andini!

***

Sore itu Pascal sibuk membuat kandang ayam di samping dapur. Dan Irene, buah hati mereka bermain dan berbicara dengan boneka kecilnya di raung tamu. Kemarin Irene merayakan ulang tahun. Irene sudah berumur dua tahun. Di beranda rumah Andini merebut kembali fragmen itu, sebelum ditelan usia.

Pintu rumah keluarga kecil itu menghadap ke timur. Sore-sore kami menghabiskan waktu untuk berbagi cerita. Begitulah kebiasaan kami di kampung kecil ini; saling bertamu, dan saling berbagi. Tidak ada yang mampu merebut kembali kenangan, sebab ia telah mengendap dan mengental begitu rapih dalam hati. Kami tidak mampu berdiskusi, berdialektika dan berdepat tentang politik, agama ataupun pendidikan.

Bagaimana kami dapat berbicara tentang bisnis ekonomi dan investasi, sementara kami harus menghabiskan hari-hari bekerja di kebun orang kaya. Kami tidak pernah membaca koran, buku dan menonton berita di TV. Kami hanya berbicara tentang perubahan cuaca, panenan yang tidak mencukupi, anak-anak yang tidak sempat sekolah, belis yang tidak murah dan masa muda yang selalu segar. Tak terkecuali, tentang cinta.

Semuanya bermula dari perkawinan mendadak setelah pesta pernikahan di kampung tetangga itu. Pascal begitu mabuk sampai ia tidak dapat membaca wajah-wajah orang di hadapannya. Teman-temannya membiarkan dia tertidur lemas di balik tumpukkan kursi, dan sesekali berteriak-teriak. 

Seturut desakan ibunya, Andini langsung mendekati Pascal dan mengantarnya ke sebuah rumah dekat tenda pesta. Ia mengompres kepala Pascal dengan daun merunggai. Sebelum tersadar, Andini menjalankan aksinya. Pascal tidak mampu berwaspada, bocor dan tunggu saatnya saja. Andini pulang ke rumah dengan benda kecil di dalam perutnya, yang dia curi dari dalam perut Pascal. Tuhan, biarlah kehendakMu yang terjadi atas hidupku, doa Andini.

Andini benar-benar melakukan permintaan ibunya. Ibunya membaca tanda-tanda kehamilan anaknya itu. Jauh hari sebelumnya, Andini dipaksakan untuk tidak sekolah oleh ibunya demi membantu dia di rumah. Ayahnya meninggal ketika Andini masih berusia lima tahun. Andini mau sekolah seperti teman-temannya. Cita-citanya mau jadi dokter, tapi Andini hanya mampu tunduk dan menipu diri di bawah kekuasaan ibunya. Sesekali Andini mual-mual dan pusing. Demi menjaga kesehatan janin, ibunya melarang dia melakukan pekerjaan-pekerjaan berat. Seketika melihat perut Andini semakin membuncit, wajah putih, betis membesar, dan pinggul melebar, aku bertanya-tanya keberadaannya. Barangkali Andini sedang hamil, tapi siapa suaminya? tanyaku.

***

 Lima bulan kemudian Pascal dijebloskan ke dalam tahanan. Ia diduga sudah menghamili Andini. Pascal menolak secara tegas, tapi Andini mengelus-elus perutnya yang membuncit. Pascal semakin bingung, mata berlinangan dan menangis. Tapi ia benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana ia mengingat kembali. Pascal dikurung dalam tahanan selama sebulan. 

Sesungguhnya keluarga Andini tidak mau Pascal dipenjara, kecuali bertanggung jawab atas kandungan Andini. Tentu saja mereka harus menikah. Selepas dari tahanan, teman-temannya langsung memukul dia tanpa ampun, karena dicurigai telah mencuri uang mereka di tenda pesta. Beberapa hari Pascal harus dirawat di rumah Andini.

Sejak ditahan, Pascal tidak masuk kantor. Ia bekerja sebagai manajer di perusahaan ternama di kota. Orangtunya tinggal di rumah anak sulung di Kalimantan. Mereka pun tidak pernah menanya kabar kepadanya. Melihat bahwa lelaki di rumah Andini, aku pun bertamu. 

Lelaki itu keluar dari kamar Andini, sepertinya mau mandi. Andini sudah mengenakan pakaian ibu-ibu hamil. Sementara ibunya menyulam benang untuk menenun kain di samping rumah. Dari respons Andini, aku tahu bahwa itu suaminya. Menyaksikan itu, aku hanya mengangguk dan menggelengkan kepala.

***

Orangtua Pascal tiba dari Kalimantan, dan tidak menemukan Pascal di rumah. Mereka mendapat kabar bahwa Pascal sudah tinggal di rumah istrinya. Orangtuanya syok; Bagaimana mungkin Pascal mempunyai istri tanpa meminta persetujuan dari kami? Orangtua Pascal tidak mau menjadi buah bibir masyarakat dan karenanya mereka langsung melunaskan maskawin (belis) sebelum Pascal dan Andini menikah secara resmi. Keluarga Pascal harus menyerahkan sebatang gading utuh, babi, kuda, pinang, pisang dan sejumlah uang kepada keluarga perempuan.

***

Andini tidak pernah merencanakan hal itu. Namun peristiwa yang tidak dikehendakinya itu tengah menimpa hidupnya. Tahun-tahun sebelumnya ia mengharapkan seorang kekasih yang sederhana datang melamar dia. Mereka akan membangun istana surga mereka di pinggir pantai; dua orang anak sibuk dengan mainannya, ia menyelesaikan urusan-urusan di dapur dan sang suami menyeruput kopi buatan tangannya sambil mengeringkan keringat sehabis kerja seharian. 

Andini merindukan suasana pantai sore hari; lampu-lampu kapal, teriakan anak-anak kecil di pinggir jalan, burung-burung yang tak pernah absen singgah di pohon depan rumah dan kupu-kupu yang mewarnai bunga-bunga di taman. Itulah sebabnya hari-hari Andini berusaha menggugurkan kandungan dan kemudian bunuh diri. Akan tetapi ia selalu gagal. Ia pun tidak dapat menaklukkan hari-hari menjelang partus. Demi kakak lelakinya yang tidak mampu membeli gading dan sejumlah barang maskawin lainnya, ia terpaksa melakukan semuanya itu diam-diam.

Tiap kali sendirian di kamar ia menangis, meratapi dan ingin merebut kembali masa mudanya yang penuh cita-cita. Ia telah mengkhianati dirinya, kandungan dan terutama Pascal. Kadang-kadang ia mau mengungkapkan semuanya kepada Pascal, tapi selalu saja ada halangan. Andini menyimpan rapat-rapat perkara-perkara itu di dalam hatinya, meskipun perlahan-lahan hatinya terkikis oleh api kejujurannya. Ia terlalu tegah membungkamkan kejujuran hatinya demi kebahagiaan orang lain.

Andini selalu mengurung diri di dalam kamar. Ia menyalahkan diri sendiri dan merasa tidak pantas memperjuangkan istana cinta di balik kebohongan. Ia melampiaskan amarahnya kepada anaknya. Terus-terus ia marah, sampai suatu hari Pascal membentak dan memukul dia. Sejenak kemudian Andini menceritakan permulaan mengapa mereka bisa menjadi suami istri.

“Demi mendapatkan gading untuk melunaskan belis kakakku itu, aku telah menipu diri dan mengkhianatimu, Pak Pascal. Aku menjual diriku sendiri demi gading itu. Sebegitu murah diriku ini. Aku merasa tidak layak menjadi istrimu, ibu dari Irene, menantu dari orangtuamu, dan aku ingin kita cerai, Pak Pascal. Aku akan pergi ke mana saja, sampai maut menjemputku pulang ke surga.” Andini mengatakan semuanya itu dengan napas terputus-putus. Pascal membisu. Sementara Irene dibiarkan bermain di raung tamu.

***

Pascal tidak akan menceraikan Andini apapun alasannya. Ia telanjur mencintai Andini, meskipun yang dilakukan Andini benar-benar menyakitkan dan menyayat hatinya. Pascal pun teringat kembali buku rohani yang dibacanya selama masih menjadi seorang calon imam, fraterYesus sendiri menerima dan duduk makan bersama dengan orang-orang berdosa di biara. Ia tahu bukan Andini yang menghendaki semuanya itu, tapi orangtuanya. Pascal pun yakin bahwa Tuhan sedang melakukan rencanaNya atas hidupnya. Sebab, batinnya, kalau ia tidak menikahkan Andini, pastilah ia ditimpah banyak kemalangan dan pengalaman buruk atas hidupnya. Dari Pascal dan Andini, aku belajar bahwa cinta selalu berjalan di luar cita-cita dan pengharapan. Cinta sejati ialah cinta menumbuhkan diri dan mempersatukan dua insan yang asing sama sekali.

Di dalam kamar Pascal berkata kepada Andini, “Tuhan sudah menulis dan mengirimkan surat cintaNya untuk kita. Bukan aku, bukan juga kamu sendiri tapi kitalah yang membaca dan membalas surat cinta Tuhan itu. Cintaku padamu dan Irene melampaui belis itu. Andini, istriku, tulislah surat balasan untuk surat cinta Tuhan untuk kita mulai sekarang.”

Andini memeluk Pascal. Lampu listrik menyala lagi.

*Belis: mahar.

Cerpen Melki Deni

Cerpen ini pernah terbit di Letang Media.com. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.

 

 

 

 

Post a Comment for "Cinta Tak Semahal Belis"