Bungkam!
![]() |
(Simona Filippinone) |
Gadis itu membaca kembali
obituari ibunya di kamar. Seorang karyawati tua menerka-nerka, seketika gadis
itu masuk kamar mandi Pastor, mengambil obituari itu setiap sabtu sore. Gadis
itu tidak patut dicurigakan, sementara obituari masih terpampang di kamar mandi
Pastor. Gadis itu sudah menyalin teks-teks itu. Tapi Pastor itu tidak pernah
mencurigai gadis kecil, anak darahnya, dan obituari kekasih gelapnya itu,
kecuali gunting kecil. Empat tahun kemudian, Pastor itu baru tahu.
***
Gadis itu baru berumur enam
belas tahun. Pastor mengadopsi dia sejak masih kecil dari seorang janda. Pastor
menceritakan bahwa gadis itu merupakan hasil hubungan gelap seorang sopir
angkutan kota dan penjaga toko di kota seberang. Karena prihatin dan kasih
sayangnya, pastor mengadopsi dan membesarkan dia. Belasan tahun gadis itu
tinggal bersama Pastor itu di beberapa paroki. Sejak kecil gadis itu merindukan
sosok sang ayah seperti Pastor. Sekarang gadis itu duduk di bangku SMA.
Semuanya bermulai dari
ketaksanggupan bertahan dalam hidup selibat. Suster muda berumur dua puluh dua
tahun, sedangkan Pastor itu berumur tiga puluh satu tahun. Selama berada dalam
biara, mereka membungkam gairah biologis dan mensublimasinya ke
kegiatan-kegiatan biara, seperti kontemplasi, meditasi, brevir. tanam bunga,
rekreasi bersama, sharing, dan
lain-lain. Meskipun dalam kesendirian di kamar pribadi, mereka tidak
bisa membedakan momen keheningan, kesunyian, kesepian dan kehampaan. Tak ada
yang gejolak yang demikian menggetarkan dan mendaruratkan untuk dinyatakan
kecuali gairah seksual. Dalam hal ini Suster muda belia kurang waspada, dan
hamil. Kemudian melarikan diri ke kota seberang, sambil menantikan buah
tubuhnya lahir ke dunia.
Pastor itu mengumumkan bahwa
Angela, si suster muda itu sudah tarik diri dari biara dan mengikuti kekasihnya
ke kota seberang. Kekasihnya itu, mantan sewaktu suster Angela masih SMA. Semua
umat di Paroki itu percaya, sambil menyebarluaskan berita tentang suster
Angela. Siapa yang tidak percaya, jika pastor menceritakan? Tidak sedikit umat
mulai mengingat kembali fragmen pengalaman suster Angela, dan membangun cerita
buruk. Mereka katakan pantas suster Angela seperti itu, karena mereka pernah
lihat suster Angela berduaan dengan seorang lelaki muda di ruangan tamu susteran.
Di tempat lain, suster Angela diantar-jemput dari susteran ke pastoran dan dari
pastoran ke susteran oleh seorang lelaki. Umat tidak mengenal lelaki itu.
Asumsi-asumsi menjenazahakan kebenaran.
Sebelum ke kota seberang
suster Angela sering dimintai bantuan oleh Pastor untuk menyelesaikan beberapa
pekerjan di pastoran mulai dari urusan dapur, dekorasi gereja, sampai merapikan
tempat tidur Pastor itu. Mereka saling kenal jauh sebelum mereka bertemu
kembali di pastoran itu. Tapi menyadari perhatian dan nasihat-nasihat rohaniah
Pastor itu, suster Angela seolah-olah terjebak dalam perangkap cinta erotis
sang Pastor. Antara perhatian dan cinta sesungguhnya terdapat batas yang jelas,
tetapi gairah seksual seringkali mengaburkannya.
Selama dua bulan suster muda
tidak lagi pergi ke pastoran, dan jarang keluar dari kamar. Ia mulai merasakan
sesuatu yang lain di dalam dirinya; berat badan naik, mudah letih dan
pusing-pusing. Ketika mau mual, ia pura-pura batuk dan menggaruk-garuk leher.
Sesekali ia mual sementara makan bersama dengan suster-suster, tapi ia
beralasan semalaman ia tidak bisa tidur. Barangkali ada masalah di kampung,
katanya. Suster-suster mengiyakan saja. Ia mengurung diri di dalam karanya
selama seminggu dengan alasan sakit, tenggorokan gatal dan pilek, sementara
Pastor tetap memimpin Misa dan mengunjungi umat-umat yang jauh. Ketika suster
Angela hendak mandi, lantai kamar mandinya licin, ia terjatuh, hingga ia harus
mengalami pendarahan di sana. Ia semakin lama mengurung diri.
Suster Angela mulai
kehilangan semangat hidup di dalam biara, dan tak seorang pun suster datang
mendengarkan dia di kamarnya, kecuali karyawati yang setia memberinya makanan
dan obat-obatan yang tidak sesuai dengan penderitaan yang dialaminya. Ia mengirim
pesan singkat ke Pastor agar mengunjunginya, tetapi Pastor selalu beralasan;
pelayanan umat. Kadang-kadang suster Angela harus keluar di malam hari untuk
melahap pandan muda di dapur, minum alkohol, atau minum rinso di kamar mandi.
Ia mau menggugurkan kandungan itu, tetapi tak ada tanda-tanda. Perut semakin
membuncit.
Di kota seberang, ketika
anak mereka sudah berusia lima tahun, Angela kehabisan uang. Ia tidak bisa
menghubungi Pastor itu, karena nomor Hp sudah ganti. Uang berhenti mengalir.
Kini Angela dan Grace, anaknya itu hidup
dalam ketidakpastian. Sesekali Angela ditawari oleh lelaki hidung belang, dan
ia terpaksa melakukannya demi Grace. Tidak mungkin Angela membuang atau
membunuh Grace, sebab itu melanggar aturan negara dan perintah Gereja—seperti yang dikhotbahkan ayah Grace pada hari Minggu
di mana-mana.
Angela ingat bahwa aku
merantau sudah sejak beberapa tahun lalu. Ia menghubungi aku melalui facebook.
Suatu hari ia ke indekos dan bertanya, bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan.
Ia tidak menceritakan mengapa ia sampai berada di sana, anaknya yang malang dan
kehidupan biara. Aku pun tidak berniat tanya. Aku menawarkan ia bekerja di toko
roti.
“Aku tidak mungkin membunuh
Grace. Aku juga tidak mungkin melaporkan Pastor itu ke pihak Keuskupan atau
lembaga hukum, Silvano.” Siapa itu Grace atau siapa Pastor itu, ia tidak
menceritakannya. Aku yakin ia sedang berada dalam masalah yang besar. Wajahnya
sedang membahasakan batinnya. Ia tampak kurus, lebam dan kusut.
Pastor itu nyaris jatuh
cinta dengan seorang janda di paroki itu, dan ia melakukan itu karena ketagihan
biologis. Tapi kesibukan pastoral membatasinya. Janda itu sudah punya satu
anak, dan mengadopsi anak mantan suster, sahabatnya sewaktu SMA. Janda itu
masih segar. Pastor itu sesekali menjebakknya, tapi janda itu tidak terjebak
dan tidak pula merespons jebakan-jebakan Pastor itu. Janda itu justru meminta
doa dan berkat dari Pastor itu agar terhindar dari jebakan-jebakan seperti itu.
Sesekali Pastor itu mengirimkan foto kelaminnya, tapi si janda langsung
menghapus dan mengirimkan gambar-gambar kudus. Janda tahu Pastor itu terlalu
lama memenjarakan hasrat biologis di dalam biara, maka ia memintanya sesekali
piknik di pantai.
Anaknya, Lany dan Grace,
anak sahabatnya diminta oleh janda itu untuk berpiknik bersama Pastor di
pantai. Janda itu tidak ikut. Grace merasakan daya tarik menarik dengan Pastor
itu. Tak bosan-bosannya Grace melihat dan membayangkan Pastor itu menjadi
ayahnya. Grace membayangkan dirinya, ibu dan ayahnya duduk di tepi pantai sore
hari, menyaksikan kapal-kapal mewarnai laut, langit berdiri di atas laut,
desiran ombak, dan bayang-bayang orang-orang yang jauh di sana. Seketika itu
Grace menggenggam erat tangan Pastor itu, air mata mengalir pelan. Pastor itu
melihat senyuman Angela di balik keceriaan Grace. Pastor itu jatuh hati
kepadanya, dan meminta dia menjadi anak angkat. Grace mengangguk berkali-kali.
Grace pun tinggal di pastoran. Suatu hari pastor pergi melayani umat di stasi
yang jauh, Grace membersihkan kamar mandi Pastor itu. Ia menemukan surat-surat
yang disimpan di dalam kantong plastik di pintu kamar mandi, tapi ia belum bisa
mengerti betul isinya. Setelah melihat surat-surat itu, ia ingin membacanya berkali-kali
dalam sehari. Aku ingin tahu ada apa di balik surat-surat itu, katanya.
***
Setelah Angela menitipkan
Grace kepada Sofia, ia diam-diam pulang. Beberapa kali Pastor itu pindah ke
paroki-paroki lain, tapi akhirnya ditempatkan kembali di paroki itu. Angela
menemui Pastor itu di pastoran. Ia menceritakan bahwa Grace sudah besar, dan sedang
berlibur bersama satu keluarga, kenalannya di kota seberang. Angela mengancam
Pastor itu akan dilaporkan ke polisi, kalau tidak diberikan sejumlah uang
kepadanya atau mengungkapkan secara jujur tentang semuanya. Kurang lebih
seminggu Angela disekap di dalam kamar pastor itu. Angela menulis tentang
riwayat hikayat balada yang menimpah hidupnya. Suatu malam Pastor menaruh racun
tikus pada makanan yang akan dimakan oleh Angela, tapi Angela tidak juga mati.
Akhirnya Pastor itu mencekik Angela di atas tempat tidur. Angela meninggal di
tempat ia digauli oleh Pastor itu. Pagi-pagi Pastor itu membuang jenazah Angela
di laut. Angela sayang, Angela malang.
***
Ketika kudengar Angela sudah
meninggal, aku segera mencari tahu sebab-sebab kematiannya. Aku begitu kecewa,
ketika tidak mengajak Angela dan Grace pulang kampung bersama beberapa tahun
lalu. Tapi di manakah Grace sekarang? Aku teringat Damian pernah bilang bahwa
Sofia, si janda itu mengadopsi seorang gadis kecil, anak temannya sewaktu SMA.
Yang kutahu Sofia sangat akrab dengan Angela dulu. Aku langsung mendekati
Sofia, seperti biasanya, Sofia bekerja sebagai penjahit. Ia berhenti menjahit
karena terkejut oleh kedatanganku. Aku mulai bercerita dan bertanya tentang
Grace, meskpi sempat ia berusaha sembunyikan keberadaannya, ia pun tetap
menceritakan semuanya. Kini Grace tinggal di pastoran, katanya. Selain karena
Grace diangkat menjadi anak oleh Pastor, Sofia tidak mampu membiayai sekolah
dua anak sekalian. Sampai kini Sofia tidak tahu cerita yang benar tentang
Angela dan Grace.
Aku hampir membongkar
rahasia Angela di depan Sofia, tapi aku tidak tega dengan Grace yang masih
kecil. “Kalau Grace sudah dewasa, kau ceritakan bisa semuanya, Silvano”
permintaan terakhir Angela. Aku langsung pamit pulang. Di rumah, aku memikirkan
nasib Grace ke depannya. Mengapa aku tidak menangkap Angela seketika ia masih puber
pertama? Lama kemudian aku membaca kembali surat-surat cinta Angela, yang tak
sempat kubalas. Aku sering membaca dalam novel perihal cinta sejati yang tak
dibalas dengan variasi alasan, tapi aku tak pernah terpikir itu bisa menimpah
diriku. Prinsip-prinsip hidup terlalu tinggi sering menelantarkan cinta sejati.
***
Ketika masih di kota
seberang Angela mengunjungi aku di indekos, menceritakan semua peristiwa yang
menimpah hidupnya, Pastor yang menggaulinya di pastoran saat sepi. Ia tidak
waspada, tenggelam dan hamil. Ia menyatakan bahwa ia benar-benar dipaksa, di
luar kendali dan tak berdaya. Ia mengutuki dirinya karena telah mengkhianati
biara, orangtua, Tuhan dan keluarga besar di kampungnya. Ia mau menjadi
biarawati, karena ia jatuh cinta kepada Tuhan. “Itu saja, Silvano,” katanya.
“Mengapa kau tidak melaporkan
dia ke polisi. Karena Keuskupan tidak mungkin memproses secara hukum Pastor
itu,” kataku. Ia meminta kepadaku supaya tidak menceritakannya kepada siapa
pun. Angela tidak mau semua anggota biara dan keluarga kecewa karena
dibohonginya. Ketika mau tarik diri, ia beralasan tidak bisa bertahan lagi di
dalam biara dan memanipulasi hasil periksa kesehatan di sebuah rumah sakit.
“Aku sudah bersumpah menjadi biarawati di bumi dan di surga, Silvano”. Angela dibunuh, karena barangkali dunia tidak
mengizinkan dia menjadi biarawati sampai mati. “Barangkali surga mengizinkan
aku menjadi biarawati abadi di surga,
Silvano” katanya.
***
Grace menyalin surat-surat
dari kamar mandi Pastor itu tanpa kehilangan satu kata dan tanda baca. Ia
melakukan itu, ketika Pastor sibuk melayani umat yang jauh di sana. Seketika
menyalin, Grace merasa seolah-olah sedang mendengarkan secara langsung toko
dalam surat-surat itu bercerita. Sesekali ia menangkap wajah ibunya pada
lembaran itu, tapi ia berusaha mengusirnya dengan mengedip-ngedipkan matanya. Sejak
melihat surat-surat itu, ia mimpi mendengarkan ibunya membacakan obituari di mimbar
sebuah Gereja. Grace tidak menghubung-hubungkan isi surat-surat itu dengan
kematian ibunya.
***
Sofia menyuruh Lany supaya
sesekali ajak Grace pesiar ke rumah. Sofia merindukan Angela, teman yang pernah
membantu dia ketika mengerjakan ujian sewaktu SMA. Ia mengenal baik Angela yang
diburuh oleh banyak lelaki, karena cantik, pintar dan dewasa itu. Ia
mengingat-ingat semuanya, matanya berlinangan dan tak lama kemudian menangis.
Pernah sekali, Sofia hampir tertabrak mobil, Angela langsung menarik dia keluar
dari jalan. Sofia ingin membalas kebaikan Angela dengan mengadopsi Grace
sebagai anaknya. Sofia tahu perhabatan sejati menghapus jarak, garis dan batas.
***
Malam itu dalam mimpi, Grace
bertemu ibunya dan mengatakan bahwa dialah yang menulis surat-surat itu.
“Itulah riwayat hikayat balada hidupku, anakku sayang. Akulah seorang suster
yang diperkosa itu, dan anakku sayang adalah buah hubungan serakah itu. Akulah
wanita yang malam-malam berusaha membunuh anakku sayang. Akulah yang membacakan
obituari di mimbar di sebuah Gereja itu. Barangkali ada umat yang buka mata
terhadapa kejahatan pastor itu. Aku dibunuh di tempat aku diperkosa
berkali-kali. Akulah yang malang, aku telah menghkinati biara, Tuhan, orangtua
dan keluarga besar di kampung. Simpanlah surat-surat itu, dan gunakanlah
sebagaimana mestinya. Suatu saat surat-surat itu akan menjelma menjadi aku;
kebenaran yang sesungguhnya. Aku yakin, Tuhan menyembunyikan bagiku surga dari
dunia. Anakku sayang, pergilah ke Gereja. Berdoalah kepada Allah, supaya Tuhan
yang telah memanggil aku menjadi suster sementara di dunia, menghibur dan
melindungi anakku sayang. Tuhan tahu, dosaku padamu tidak akan kubayar tuntas.”
Grace terbangun menangis histeris dan sejenak kemudian berdoa di Gereja.
Di sudut Gereja Grace duduk
dan menjerit-jerit. Keburukan berlalu, namun kejahatan masih tetap tinggal.
Kejahatan adalah potensial, dan keburukan adalah aktual. Dua-duanya seiring
sejalan mengapiti hidup manusia. Grace tidak mungkin mengangkanginya.
Di sudut Gereja Grace
mengutuki diri—mengingat
perjuangannya menjadi manusia di dalam rahim seorang suster—hidup dari hasil pemerkosaan di pastoran. Ia tidak
menemukan cahaya dalam hidup, selain kegelapan sejak dari kandungan sampai mati
nanti. Barangkali para dewa telah menyembunyikan cahaya bagi dunia, bagi
hidupnya.
***
Pastor itu bangun, melihat
surat-surat yang disembunyikan Angela di kamar mandinya menjadi berserakan di
depan kamarnya. Di pintu kamarnya, Grace menulis besar-besar dengan darahnya,
“Pastor terkutuk memperkosa suster Angela, dan melahirkan Grace; anak kutuk.
Kita: Keluarga Kutuk!” Pastor itu melihat gunting kecil yang sempat hilang itu
tergeletak di lantai, dan sejenak kemudian mati.
Cerpen Melki
Deni
Cerpen ini masuk peringkat ketiga terbaik pada Nubar Luka 2020.
Post a Comment for "Bungkam!"