Aku Mau Sekolah!
Di beranda rumah, di depan ayah ibu Nining membaca larik-larik puisi yang pernah ditulis sahabatnya di sekolah.
Ayahya sedang asyik mengopi dan ibu mengupas
kulit nangka, “Sesekali engkau mesti pergi dari kemapanan diri ke tempat yang
asing sekali. Di sini engkau berdiri di atas kepalamu sendiri di tengah-tengah
orang-orang yang sedari dulu berdikari dan mandiri. Di sini engkau temukan
aneka dinamika kehidupan melarut dalam satu kebudayaan dan tradisi yang luhur,
tapi terkadang dijalankan menurut pola perorangan dan atau kelompok kecil. Di
sini engkau susah menemukan jalan pulang; kembali. Sejak itu engkau mesti latih
berterima dengan keadaan yang ada, dan yang akan terjadi. Saat ini dan di sini
yang ada hanyalah dirimu sendiri dan lingkungan yang asing sekali. Hidupmu;
membaca, menulis dan melakukan. Hindarkan kelalaian. Jika kau melarut, jangan
sampai terhanyut.”
“Jika
kau mau sekolah, kau harus sekolah di SMAK Pelayaran di Maumere. Kalau kau mau
sekolah di tempat lain, kau sendiri yang biaya semua uang sekolah dan kos.
Lagian ada kenalan saya di Maumere dan dia juga mengajar di sekolah itu. Di
sana kau tinggal dengan mereka. Kau hanya bantu masak, bersihkan rumah, cuci,
dan sekolah. Saya tidak mau kau sekolah di tempat lain.” tegas ayahnya saat duduk di plaza. Aroma kopi
seakan mengiyakan perkataan ayahnya. Mulut mendadak terkunci setelah mendengar
perpaduan antara penegasan dan aroma kopi bubuk. Seakan kopi itu beraroma senja,
sehingga ayah langsung berbicara perihal sekolah.
Nining
akui bahwa ia memang barusan tamat dari SMP, tapi seharusnya ayahnya tidak
bicarakan hal itu di depan orang banyak yang baru pulang dari kebunnya. Seakan belati
dongson menikam cita-citanya menjadi polwan yang selalu tampil elegan. Nining
berbunyi pedih dalam artikulasi terkunci situasi. Senja terpecah.
Mengapa epigram mesti dibacakan pada senja hari? Malam tak menghiburnya. Epigram itu menyuntik virus yang menjangkitkan kembali penderitaan yang tak pernah tuntas disembuhkan. Air mata memang bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk membebaskan elemen kepeluhan yang dahsyat dalam hati, tapi karena hanya dia terlalu akrab dengan bantal makanya menggelontor sebebas-bebasnya.
Air mata tidak pernah menyembuhkan penderitaan dan keadaan
peluh. Namun hanya dialah corong pertama menampik tumpukan pengalaman yang tak
sempat tuntas disembuhkan. Malam itu, Nining seakan terkenyangkan perkataan sang
ayah. Dia tidak makan, meskipun lauknya ayam hutan yang dipanggang. Nining
mengabulkan permohonan air mata; lebih baik ia mengering di bantal daripada
membengkakan kelopak mata indah, lalu timbuk penyakit katarak.
Semuanya
bermula dari keadaan ekonomi, kurang berpengetahuan tentang pertanian dan lahan
tak subur akibat pupuk yang mengandung zat kimia. Sawah-sawah tidak membawa
hasil; lumayan untuk dikonsumsi tiga bulan. Tanaman-tanaman berbunga dan tidak
lama mengeriput-mengerut, lalu pingsan. Dari tahun ke tahun, pakaian selalu sama,
dan perabot rumah tangga berkarat dan lapuk, tak pernah bisa beli-ganti.
Nining
tidak suka belanja; pakaian, hiasan dan lain-lain. Bukan karena keadaan
ekonomi, tapi karena dia bertipikal sederhana yang penting aman dipakai. Ia selalu
mengaku diri sudah cantik dan manis. Baginya yang terpenting ialah sekolah,
bukan pakaian, kosmetik, hiasan, Hp mahal, laptop, dll. Buktinya di sekolah
sejak SD sampai SMA sekarang, dia selalu mendapat juara pertama, baru diikuti
teman-temannya. Namun ia tak pernah mendapat beasiswa atas prestasinya atau
setidaknya dapat bantuan karena latar belakan ekonomi keluarga.
Setiap liburan Nining pulang ke kampung halamannya, Mbawar. Itulah saat yang tepat meluapkan kerinduan, merehat kejenuhan di sekolah dan membantu orangtuanya. Selama liburan ia tidak hanya bantu ibunya bekerja di rumah, tapi juga di sawah dan kebun. Tak jarang dia juga bekerja sebagai tenaga upahan. Ia tidak pernah pesiar ke pantai laiknya teman-teman/ menghadiri sebuah pesta. Di rumah ia sudah biasa makan tanpa lauk.
Malam pekat tanpa terang pijar listrik menjadi sahabat akrab
desanya sedari dulu. Ia tidak bisa kontak dengan sahabat-sahabatnya di luar
sana. Jaringan tidak ada. Air susah. Meskipun jalan sudah diaspal dan kendaraan
setiap menit lewat, tapi tidak muat apa-apa. Kemiri, coklat, dan mete tidak
berbuah. Terkadang mobil pick up
memuat porang yang harganya sekitar seribu lima per-kilo gram.
Di kampungnya ia tidak lagi menemukan kolonialisme dan imperialisme a la Eropa seperti yang dibacanya dalam buku sejarah, tapi justru sesama warga sekampung yang menjadi kolonial dan imperial bercorak tradisional. Ia sepakat pembagian kelas menurut Karl Marx yang dibacanya yakni; kelas borjuis dan kelas proletariat. Kaum borjuis/pengijon memberikan kredit dengan bunga tinggi kepada kelas proletar.
Jika peminjam tidak mampu bayar dalam tempo waktu yang
ditentukan, maka pengijon tetap menghitung bunga sesuai jumlah persen yang
disepakati. Peminjam tidak berkesempatan menjual dan atau membeli barang di
tempat lain, bermaksud memurahkan hati pemilik modal agar diberi kesempatan
untuk pinjamkan uang, dan bukannya memotong bunga pinjaman. Tak terhitung
jumlah koperasi kredit baik koperasi harian, mingguan, tribulan, maupun per
semester yang menawarkan jasanya, tapi berbunga tinggi. Sebagaian masyarakat bergabung.
Belum lagi tagihan bulanan dari pihak Gereja yang berlabel geser atau gerakan
seribu rupiah perhari. Gelisah tak pernah sudah. Resah pun tak lekas punah
dalam diri masyarakat sederhana.
Nining sangat jijik menyaksikan praktik kapitalisme monopoli tersebut. Nining paham betul soal pinjam-meminjam dan model kapitalisme monopoli di kampungnya. Kalau dia tidak sekolah, tentu dia tidak tahu tentang kepongahan kaum kapitalis dengan rumus muslihatnya. Sementara itu sebagian warga seakan-akan sudah menjadi budak para pemilik modal; mereka bekerja dengan upah sangat murah, bawa nasi sendiri dan kerja mulai pagi jam 6 sampai jam 6 sore tanpa istirahat siang. Mereka anggap hal itu sudah biasa dan bagi mereka susah untuk menghindar lagi dari pemilik modal.
Pemilik modal sangat berjasa bagi kehidupannya,
katanya. Nining tercengang dan pahami saja cara berpikir masyarakat yang
dibisukan itu. Seluruh proses kehidupan hanya bersandar pada pemilik modal.
Biasanya tak hak hanya meminjamkan uang tapi juga pemilik modal mempekerjakan
mereka berlabel kekeluargaan. Nining mengecam dan mengutuk budaya pembisuan
ini. Ia berjanji suatu saat nanti ia menggerakkan masyarakat buta huruf, tak
berdaya, dan miskin itu melawan penindasan tersebut.
Setiap
pulang liburan ia tidak minta banyak uang, cukup biaya kapal dan perlengkapan
mandi.
“Ning, uang hanya itu. Mama harap kau bisa gunakan uang sesuai kebutuhan. Jangan dulu pikir barang-barang mewah. Bapak mama belum bisa beli barang-barang mewah untukmu.“ sela ibunya sambil berkaca-kaca di dapur.
Ibu menampik beras sebagai bekal
yang Nining bawa ke Maumere. Saat itu sang ayahnya sibuk membersihkan pematang
sawah dan si bungsu masih berlibur di kampung tetangga, kampung asal ayahnya.
“Ning,
esok saya saja yang antar ke pelabuhan Kedindi. Saya mau antar pasir di Loce,
sekarang. Sebentar malam saya langsung balik.” kakaknya ambil kunci mobil dan
pergi.
“Iya
kak! Kakak hati-hati ya! Jangan lupa bawa dengan buah-buahan, kak! “
“Okey.
Siap boss.“ Nining memang sangat manja dan dimanja, karena dia sendiri anak perempuan
dari empat orang saudaranya.
Senja kian membuyar. Lampu pelita berpendar-pendar dari kejauhan. Hatinya gemetar, tak mau segera tinggalkan keluarga dan suasana rumah. Namun sekolah tetap menjadi olahan utama demi kebaikan, keadilan dan kemerdekaan masyarakat di kampungnya.
Ia paham bahwa dunia selalu menderita pertempuran peradaban karena banyak orang masih biadab. Banyak orang bisa berkelimpahan dengan cara yang membasikan yang lain. Di dunia ini masih ada banyak hantu yang menjual nama Tuhan, memanfaatkan hutan masyarakat yang setia bertahan. Bahwa banyak orang sudah paham tentang penderitaan dan kemiskinan, namun lekas menjadi hampa di depan pemilik modal.
Bahwa napas selalu berasa panas, dipanas dan memanas.
Bahwa masyarakat beriman mengamini keamanan sebuah keadaan, yang ternyata
sedang dipermainkan oleh pemilik modal. Masyarakat semakin rusak karena
dirasuki oleh hantu-hantu pemilik modal.
Cerpen Melki Deni
*Cerpen ini pernah terbit di Vox NTT.com
Post a Comment for "Aku Mau Sekolah!"