Betand, Rahim ini Menangis!
Potret Anak Kecil di Pantai Kita, Maumere-Sikka |
Udara
malam itu tak kedinginan lagi. Awan gelap memayungi kampung Mbawar. Desas-desus
warga sekampung masih kedengaran, dan keributan orang-orang di pasar membunuh
kesunyian rumah. Sang bunda menangis lagi di samping batu tungku di dapur. Dengan amat rapi bunda menyembunyikan semua
perkara keluarga dalam gudang hatinya. Pokoknya tak satu pun masalah diketahui
oleh anak-anak sayang. Setiap sebelum makan atau mau tidur malam, sang bunda
menasihati Betand dan adiknya agar jangan terlalu banyak makan; jangan nakal; jangan
mencuri; jangan menipu; jangan malas; jangan bergaul dengan anak orang kaya;
jangan berantem, jangan lupa Tuhan dan jangan melawan bunda. Rumah pusaka selalu
merekam hal-hal yang baru selesai dan yang belum selesai dalam hidup keluarga
kecil. Setiap malam sebelum terlelap sang bunda memikirkan krisis ekonomi keluarga;
biaya sekolah anak, pakaian seragam, perlengkapan tulis, beras, perlengkapan
mandi, listrik, air, penagihan koperasi kredit bulanan, dan apalagi rumah
tangga yang tanpa kepala. Keluarga pincang, karena sang ayah menghilang dan
meninggalkan mereka dalam kemelaratan dan utang tak sedikit. Malam selalu bisu
menyaksikan isak tangis bunda di balik bantal.
Setiap
pagi buta Betand dan Silvano, sang adik tersayang menjual ikan di sekeliling
kampung. Teriakan mereka pagi-pagi itu membangunkan orang-orang kaya yang
sedang asyik bermimpi sedang berbincang-bincang tentang bisnisnya di kolam
dekat hotel bintang lima; mengunjungi tempat-tempat bersejarah; sewa perempuan
di klab-klab malam; berjudi online;
jual beli tenaga kerja dan perkuliahan anak. Bukan tidak mungkin terikan
ekonomis mereka juga membangunkan orang-orang miskin seperti mereka dari
mimpi-mimpi yang tragis dan sadis; anak tidak bisa sekolah; tak sempat sarapan;
tagihan pajak serta koperasi kredit bertubi-tubi; anggota keluarga sakit; janda yang melarat; anak yatim piatu yang
terabaikan dan yang susah beli barang-barang baru. Silvano selalu tak sempat
buang kecil ketika buru-buru menjual ikan. Dia masih kecil, tidak tahu apa-apa
kecuali ikut saja sang kakak jual ikan. Sehingga dia selalu buang air di
selokan samping jalan umum. Sesekali Betand memarahi perbuatan sang adik, namun
Silvano tetap selalu buat. Silvano bertugas membawa kantong plastik, sedangkan Betand
memikul ikan berjumlah puluhan ikat. Sebelum sarapan dan Betand berangkat ke
sekolah, mereka harus jual ikan sampai
semuanya terjual kecuali sisa satu atau dua ikat.
Tak
berayah membuat Betand harus menerima olokan, cercaan, makian dan hinaan dari
teman-teman di sekolah. Di sekolah Betand harus berpikir bagaimana cara agar
ikan cepat laku terjual dan pembeli tidak membeli ikan yang orang lain jual. Ia
juga harus berpikir ke mana ia harus mencari pakan setelah pulang sekolah. Demikian
pun Silvano diabaikan dan diusir oleh kawan seumurannya. Tak jarang tetangga
gosip, dan mengutuk keluarga mereka. Namun tidak sedikit orang sangat mengasihi
dan prihatin dengan keadaan mereka. Sesekali si bungsu sakit dan selalu
memanggil-manggil ayah. Entah siapa yang dari keduanya sakit, bunda hanya
merebus daun pepaya untuk diminum.
Terkadang
bungsu bangun tengah malam, mengigau dan bermimpi bertemu sang ayah, katanya.
Ia menangis dalam pelukan erat sang bunda. Sang bunda selalu punya cara untuk
mengalihkan semua kerinduan atau pembicaraan bertopik sang ayah. Sang bunda
bukannya benci sang suami, melainkan suami sendiri yang mungkin sudah bosan
atau jijik terhadap mereka. Kriteria sang ayah tak tertampak satu pun dalam
diri sang istri dan dua orang anak. Memang dunia selalu dipermiskin dan
dipersempit menurut kesempitan kriteria perorangan. Di luar kriteria, kehadiran
orang lain hanya dianggap sebagai perusak dan pengganggu. Kehadiran sang istri,
Betand dan Silvano hanya merusak dan merobohkan kriteria sang ayah. Alhasil
mereka harus disingkirkan.
Sebelum
mengenal lingkungan sekolah, Betand bercita-cita menjadi penyanyi terkenal di
seluruh dunia. Cita-cita itu lahir, karena ia pernah menonton konser anak-anak
di rumah temannya. Waktu itu Tv hanya dimiliki oleh kelurga-keluarga tertentu.
Sampai sekarang pun keluarga Betand belum punya TV meskipun listrik sudah masuk
sejak puluhan tahun lalu sebelum ia lahir. Ia langsung jatuh cinta menjadi
penyanyi. Sejak saat itu Betand bernyanyi kecil dan dibarengi siulan di rumah. Saat
pergi dan pulang sekolah ia hanya menghibur diri dengan nyanyi, lip sing, dan gerakan kepala sesuai
irama musik. Tak jarang ia dimarahi oleh orang-orang di sekitar, karena ia
nyanyi ketika menjual ikan pagi-pagi. Mereka bilang suara sangat buruk, bikin
berisik dan menganggu suasan kesejukan pagi saja. Saat itu ia diam, namun ia
tetap bernyanyi dalam hati sambil menggoyangkan kepala sesuai alunan melodi
lagu yang dinyanyikannya. Tak hanya itu, Betand dan Silvano sering dimarah dan
diusir lantaran potong pakan di sawah orang. Adik kakak ini cukup nakal.
Tentunya mereka nakal mencari benang-benang merah untuk menenun petualangan
hidup mereka.
Sejak
lima bulan lalu, Betand sangat terkenal di bumi Indonesia, bukan tidak mungkin
dikenal juga di bumi lain. Lagu berjudul “Ayah” sudah mengangkat dia dari
penyanyi di pinggiran jalan saat jual ikan menjadi penyanyi di studio-studio
terkenal. Seringkali ia diundang isi acara pada acara-acara tertentu. Dua bulan
lalu Betand meninggalkan kampung Mbawar dan mulai menetap di Jakarta, ibu kota
negara. Mungkin Betand sudah mulai lupa semua nasihat sang bunda, aktivitas jual
ikan sebelum ke sekolah, cari pakan di sawah orang, tangisan si bungsu karena
sering Betand tinggalkan saat jual ikan, tonton TV di rumah tetangga, igauan si
bungsu tengah malam, bunda yang marah karena mereka makan terlalu banyak,
nakal, teriakan mama saatt mereka bermain sampai lupa timba air dan masak,
lonceng gereja setiap jam 06:00 pagi dan sore, jam 12:00 siang dan setiap hari
minggu, senda gurau, teman-teman yang olok, tetangga yang gosip dan suasana
rumah tanpa sang ayah. Sebab di kota metropolitan Betand mempunyai
segala-galanya. Dia hanya kerja potong kuku dan sesekali korek sampai putih
bersih.
Malam
itu kedinginan angin sangat mencekam, seakan-akan membongkar hal-hal yang
disembunyikan sang bunda selama ini. Waktu itu Silvano tidur cepat. Bunda
bangun pelan-pelan dari tempat tidur dan pergi menangis sendirian di dapur. Ia
memeluk karung tempat simpan pakan, dan ember tempat simpan ikan yang Betand
gunakan selama di kampung. Sang bunda sangat menyesal sebab sering kali
memarahi Betand dan adiknya. Sang bunda
berkali-kali menyalahi diri sendiri dan baginya mungkin karena ia sering
marah, makanya Betand lebih memilih tinggal di kota agar jauh dari sang bunda
pemarah. Mungkin Betand sudah malu karena jual ikan pagi-pagi, potong pakan di
sawah orang, dan diolok oles tetangga dan teman-teman di sekolah. Mungkin Betand
sudah bosan menjalani hidup tanpa ayah, dan menderita kekurangan.
Kepada
malam yang sangat bisu, sang bunda mulai mengeluh dengan tangisan yang
sejadi-jadinya, ”Jika rahim ini sudah
gagap, aku tetap melatih dia berkata-kata meskipun hanya sekalimat sehari. Jika
kekayaan pengalaman pusaka sudah mulai hanyut dan kita hampir selesai sebelum
berdiri, aku tetap latih berdiri kukuh. Jika kitab riwayat kita sudah mulai
lapuk, aku tetap menulis lagi dan membaca kembali agar tetap awet sampai abadi.
Sembilan bulan kita berjalan bersama dan mengarungi samudra luas melampaui
lembar bumi. Kita mengunyah dan menelan pengalaman pahit-manis, pedis-hambar
dan asam-asinnya hidup ini di kampung kecil ini. Jika saja anakku sayang tahu
betapa mama sangat dilema. Dilema antara mengizinkan anakku sayang pergi atau
menikmati kesengsaraan yang dahsyat bersama kami di sini. Jika mama larang,
anakku sayang pasti menolak dan sejujurnya mama tak pernah mau anak-anak mama
menangis dan menderita di atas penderitaan hidup mama. Cukup mama saja yang
melarat, kalian harus sekolah dan menjadi orang sukses. Suatu saat nanti
jemputlah mama dan adik di sini, yang siang malam menangis menunggumu, nak.
Dengarlah anakku sayang, rahim mama menangis lagi.”
Di
samping dapur sang bunda terbangun ketika terik fajar menampar punggungnya.
Cerpen Melki Deni
Post a Comment for "Betand, Rahim ini Menangis!"