Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Quo Vadis, Domine?


Sdri Marni- Pantai Kita, Maumere-Sikka

“Kita sedang berada di Labuan Bajo, tempat Komodo tinggal, ‘kan?” tanya Silvano di tengah gemuruh ombak menampar dermaga dan punggung kapal-kapal di pelabuhan Labuan Bajo. 

Dulu aku dan Patris jemput ayah pulang dari tanah rantau di sini. Deru mesin kapal-kapal kecil dan rintihan bayi-bayi imut yang tak mau merantau berkecamuk. Di sini kita akan berjumpa dengan tamu yang tak diundang dan masyarakat akar rumput yang disingkir tanpa pamit. 

Para buruh kasar kasar sibuk mengangkut keluar masuk barang-barang berat para penumpang. Tak terhitung jumlah penjual pisang, kacang tanah, nasi bungkus dan jamu-jamu berkeliling di dalam kapal-kapal. 

Dengan amat kasar pembeli membeli dan sengaja mengabaikan mereka seakan di depan mereka bukan manusia. Bahkan jika ada yang menjual es dipanggil es saja, atau penjual pisang diteriak dengan nama pisang saja. Ah, aku sudah terlampau jauh ke masa lampau.

“Oh iya. Ini Labuan Bajo, tapi Komodo tinggal di pulaunya sendiri. Pulau Komodo. Mungkin saja mereka sudah berpikir bahwa suatu saat nanti manusia akan berperang merebut mereka. Mungkin mereka takut manusia jual murah mereka secara ilegal ke tangan tamu asing. Atau mungkin mereka sudah tahu mereka tidak memperoleh makanan karena manusia hanya sibuk membuncitkan perut-perutnya. Entahlah mereka sudah kerasan dengan tempat tinggalnya di sana.”

Selepas pantai kapal mengarungi pulau-pulau wilayah kekuasaan Manggarai Barat. Gunung-gemunung perlahan menghilang dan gambar bangunan-bangunan kota Labuan Bajo mulai kabur. Yang tersisa hanyalah aku dan pikiranku. Kecemasan, ketakutan dan pengarapan akan segera sampai meliliti pikiranku. 

Muslim dan muslimat berbicara dengan bahasa daerahnya sendiri, sedangkan aku dan Silvano berbincang dalam bahasa Indonesia. Kami berdua kaku dan segan berkenalan atau berceritera dengan mereka. Aurah mereka mengatakan mereka baik dan terbuka. 

Lemparan senyuman dibalas dengan senyuman. Senyuman cukup kering namun mengikat. Komunikasi praverbal berlaku dan mengundang kami saling mengenal. Tentu sentimen keagamaan dimiliki setiap penganut agama. Itulah alasan kuat mengapa umat beragama cukup sukar mengenal dan berbagi cerita.

Seringkali kulit, rambut, hidung dan raut muka mempertegas identitas kita. Mereka bercerita dan sedikit-sedikit memandang ke arah kami. Mungkin itu bisa dikatakan gosip. Digosip sangat penting agar manusia sanggup mandiri, otonom, dewasa dan independen. Tentu itu tidak berlaku saat ini. 

Aku masuk ruang toilet untuk mengeluarkan Rosario dari leher dan simpan dalam saku celana. Aku berdoa kepada Tuhan bahwa aku tak mau mati dalam perjalanan. Aku rela mati di medan misi. Sentimen iman ditindis oleh ketakutan dan kecemasan. Itu wajar dan perlu agar kita tahu bahwa kita semua merupakan makhluk Tuhan yang dikurung dalam ajaran agama. 

Ajaran agama yang ekslusif-fanatik menutup pintu keleluasaan kita berelasi, dialog kehidupan, berbagi dan menerima. Tambahan lagi kesukaan makhluk Tuhan menciptkan Tuhan dalam banyak rupa dan mengurung kemahakuasaan-Nya dalam rupa-rupa yang fana itu. 

Kemudian bermunculan makhluk Tuhan yang mengklaim kebenaran ajaran agamanya dan meragukan Tuhan yang dianut umat lain. Tidak sedikit makhluk Tuhan berdemontstrasi, gerakan aksi massa dan berperang membela Tuhannya.

Sewaktu hidup moyang kakekku pernah bilang jangan membela Tuhan dengan pelbagi bentuk pembelaanmu. Tuhan tidak perlu dibela atau dipuji dengan pujian yang munafik dari kita. Hanya kita yang perlu Tuhan bela setiap saat agar kita sanggup membunuh sentimen keagamaan dalam diri kita yang sudah dipupuk sejak dalam rahim.

“Mas berdua dari Flores ya?

“Iya om.”

“ Dari tampan saja kita sudah tahu. Hehehe. Mau ke mana ni?”

“Kami mau ke Bima, om. Kami ada kegiatan praktik sebulan di sana.”

“Oh. Mas berdua mahasiwa ya? Kegiatan magang atau apa, mas?”

“Bukan om. Kami berdua Frater, bertugas untuk mengalami situasi umat di Bima, om.”

“Oh. Kamu berdua Frater. Saya dan beberapa om sopir mobil vuso di sini dari Kupang. Beberapa tahun lalu ponaan saya sudah tamat di Seminari Mataloko. Sekarang dia juga sudah frater.  Adih, anak-anak bapa ini.”

Rasanya tenang sekali disapa anak oleh seorang bapak yang baru saja kenal di tengah pergumulan ketakutan.

“Kuat sudah. Kita tidak perlu takut dan cemas lagi. Di sini ada orang-orang kita. Hihihih.”

“Maksudanya apa frater? Hehehe.”

“Sedari tadi kami sangat takut dan cemas dengan mereka, om. Untunglah ada om-om di sini.”

Sentimen tersegar kembali. Memang pohon hanya bisa dipotong bagian yang kelihatan. Akar pohon tetap berkembang merajalela dan berpotensi menumbuhkan kembali tunas. Demikian sentimen sudah berurat dan berakar dalam sanubari, berpotensi jika di sana terdapat dua atau lebih orang berkumpul atas nama sentimen. Yang kelihatan tidak sebahaya yang tak kelihatan.

Selat Sape baru saja diarungi. Sape sudah mulai menampakkan diri dari kejauhan. Udara hangat Sape mulai membungkus tubuh kaku dan cemas ini. Pori-pori mencucurkan air kehangatan dan hidung menciumi aroma bawang-bawang. Dari jauh kita dapat lihat orang-orang naik dokar antar ibu-ibu pulang dari pasar, anak sekolah, dan mungkin kerabat baru kembali dari kebun. 

Panorama lembayung senja pelan-pelan pamit. Sape, kota kecil bagian barat dari Bima- NTB sedang memancarkan sinar khasnya. Di samping kiri kana jalan kita saksikan orang berpacaran, penjual jagung rebus dengan sambal pedas, anjing berkeliaran, dan cukup banyak kupu-kupu malam, katanya.

“Frater, umat kita hanya belasan orang di sini. Sape hanya satu kelompok basis.” jelas Pater Frans Seda saat Misa seusai kami tiba di pelabuhan Sape. Umat memang hanya 13 oang terdiri dari 5 orang dewasa dan 8 anak kecil. 

Setiap minggu sore mereka mendapat pelayanan pastoral dari pastor yang berdiam di paroki St. Yusuf, Raba-Bima. Mereka merayakan Perayaan Ekaristi di sebuah kapela kecil, yang dibangun Pater Goris Nitti melalui tahap yang rumit dan penuh tantangan. 

Sekali lagi sentimen tetap aktif, berurat, dan berakar dalam setiap pemeluk agama. Aku bersikeras cukup menangis dalam hati, melihat jumlah umat dengan penghayatan iman yang luar biasa. Katanya, baru kali ini mereka Misa dengan iringan organ mini dan Mazmur dinyanyikan.

Kami tiba pukul 22:17 pm di pastoran paroki St. Yusuf Raba-Bima.

“Di sini orang-orang kejam ‘kah?” tanyaku dengan takut.

“Mereka sebenarnya baik-baik saja. Bergantung cara kita bergaul. Kami sudah bertahun-tahun, tetap aman kok, frater.” sela Mira, karyawati sekaligus mahasiswi di sebuah kampus.

Aku berusaha membunuh prasangka dan praduga terhadap muslim dan muslimat dengan kesibukan-kesibukan yang bernilai. Setiap sebelum tidur malam aku bertanya ke manakah aku, ya Tuhan. 

Aku bermisi dengan selimutan sentimen, prasangka dan ketakutan. Bebaskan aku dari perbudakan sentimen, dan prasangka buruk. Usai berpikir panjang dan mendalam, aku paham bahwa Tuhan telah menceburkan aku di sini, daerah yang paling kutakuti selama ini. 

Aku mulai yakin bahwa kebijaksanaan umat beragama terletak pada kesepahamannya akan kesentimennya yang berlebihan, dan bangun dialog kehidupan. Dengan demikian, aku sanggup membunhnya dan bergandeng tangan dengan yang lain. 

Memang kita tidak lebih dari dua orang yang tidak berpikir tentang hal yang sama, kendati menggunakan bahasa yang sama.

Cerpen Melki Deni

 Cerpen ini pernah terbit di Nalar Politik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Post a Comment for "Quo Vadis, Domine?"