Luka
Luka, bila dihadapi dengan
tegar dan penuh makna, akan menjadi kunci menuju pengenalan, pemahaman dan
pembebasan diri. Barangsiapa berhadapan dan/ atau mengalami luka tidak akan
yakin bahwa ia adalah tuan atas dirinya sendiri. Ia seolah-olah ditempatkan di
dalam conditio humana yang tidak
dikehendakinya. Proyek hidup berjalan pelan, macet dan cacat (MΓ€ngelwesen a la Arnold Geflen). Ia
harus mengambil jarak (pen-jarak-an) dengan dirinya sendiri, dan bergiat di
antara apa yang sedang terjadi dan apa yang harus terjadi atas dirinya. Di sana
ia tidak mampu menjadi pribadinya sendiri, namun terperangkap dalam luka, yang
bukan ia sendiri ciptakan. Lalu, jika bukan ia yang ciptakan luka, apakah ia
harus menolaknya? Bila ia menolak luka, bukankah jejak-jejak luka itu tetap
aktif bergiat dan berbicara atas sejarah hidupnya? Karena itu, manusia adalah
subjek yang dapat ter-luka.
Luka cepat berubah dan tidak
pernah salah. Manusialah tetap dan salah memaknai luka. Semua jalan yang
ditempuh manusia senantiasa mengarahkannya kembali ke dalam perangkap luka.
Siapa yang tidak pernah luka, terluka dan melukai? Manusia bukan saja sebagai
subjek dan objek atas luka, tetapi juga predikat. Luka seumpama cinta, seketika
ia muncul dan menyentuh hidup kita, kita hanya menangkap gejala-gejalanya.
Cinta sejati ada di mana luka ada. Cinta sejati dan luka itu selalu seiring
sejalan, tapi kitalah yang dapat menjelaskan perbedaan dan batas wilayah
kekuasaanya. Seperti api yang memurnikan emas dan meningkatkan nilainya, kita
meruncing dan mempertajam cinta dengan memaknai luka.
Baca juga:Perempuan Bukan Komoditas Mutakhir Pasar Bebas!
Kita tahu bahwa ada banyak
hal dalam hidup tidak bisa diselesaikan dengan motivasi, nasihat dan
permenungan, namun kita harus turut merasakan dan mengalaminya. Orang yang
terluka mau dipahami, bukan dikhotbakan, dinasihati, dan apalagi dimarahi.
Orang yang terluka membutuhkan mata yang mendengarkan, mulut yang bisu, dan
telinga yang peka. Orang yang terluka sangat mengharapkan compassion dari sesama di sekitarnya. Itulah manusia: ia makhluk rasional
yang dapat menyutradarai dan mengendalikan sejarah hidupnya, tetapi juga ia
harus dapat mengalami luka. Mengalami luka berarti memakani luka. Sementara
memaknai luka berarti membiarkan luka berbicara apa adanya atas dirinya, dan
tugas kita menyembuhkannya. Sebab luka in se luka. Atau luka adalah luka: ia bisa
menderita atas penderitaanya dan/ atau mampu memanipulasi pengalaman negatifnya
itu. Karena luka merasakan lukanya, maka tugas kita ialah menyembuhkannya.
Luka menyentuh misteri
kehidupan kita, yang tidak terjangkau oleh akal budi dan perasaan kita. Misteri
luka tidak dapat diinderai oleh pancaindera kita. Misteri luka bersentuhan
dengan batin, unsur dasariah kita. Ketika kita atau siapapun terluka, kita
tidak hanya membutuhkan indera orang lain yang terlibat, melainkan kesadaran
akan “aku ada di sini untukmu”. “Aku ada di sini untukmu” mengandaikan
ketiadaan jarak dan batas antara yang terluka dan yang menyembuhkan. Sebab bila
hanya pancaindera yang terlibat, maka di sana yang ada hanyalah penginderaan
yang kosong. Luka tidak pernah disembuhkan, justru memproduksi luka-luka baru.
Baca juga: Mewaspadai Kebangkitan Populisme Pasca-pandemi Covid-19
Ketika kita berjumpa dengan
wajah orang yang terluka, kita tidak boleh memotret dan mencetak gambar-gambar
wajah mereka. Aktus memotret, mengedit, mencetak dan mempublikkan wajah-wajah
yang terluka ke ruang publik adalah kejahatan terbesar, sebab kita melihat
mereka hanya sebagai objek, yang layak dikalkulasi dan diakumulasi secara
ekonomis. Bila kamera canggih kita menangkap wajah terluka mereka, sesungguhnya
kita sedang mereduksi kemisterian hidup mereka. Memotret orang yang terluka
adalah sumber kekejian dan kejahatan, di mana kata-kata, makna luka dan
keluhuran manusia kehilangan dayanya sama sekali. Adakalanya orang terluka
berakata-kata, tapi sebenarnya hampa. Adakalanya mereka tidak berkata-kata,
namun sessungguhnya sedang memeram misteri kehidupan. Orang yang terluka pandai
menyembunyikan misteri kehidupan, dan kita mesti menangkap misteri kehidupan
dengan menyembuhkan mereka.
Penyembuhan adalah tempat
lahirnya kebebasan eksistensial manusia. Akan tetapi di sana rawan terjadi
preversi, justru ketika orang yang terluka menghindar dari penyembuhan itu dan
menjebloskan diri ke dalam perangkap luka. Artinya, ketika manusia benar-benar
sedang terluka, ia tidak boleh menipu diri dan menegaskan baik-baik saja.
Manusia tidak boleh memanipulasi pengalaman luka-nya yang riil. Jika manusia
mau menemukan makna dari pengalaman terlukanya itu, ia harus dapat terluka.
Manusia tidak hanya membutuhkan sandang, pangan dan papan, tetapi juga makna,
yaitu makna hidup, yang mesti ia temukan dan alami dalam hidupnya. Manusia
membutuhkan tantangan, luka, dan tegangan-tegangan, agar ia hidup dan
regeneratif. Terluka adalah duri kehidupan, dan di dalamnya kita menemukan dan
merekontruksi makna kehidupan kita.
Kata Pengantar Sebuah Buku Antologi Cerpen
Melki Deni
Maumere, 05 Februari 2020
Menarik sekali pengantarnya jadi pengen tahu seperti apa Antologinya
ReplyDeleteTerima kasih banyak ya. πππ
DeleteSya penasaran dgn isi cerpennya kk .π
ReplyDeleteπππ
DeleteCerpennya akan terbit di sini pada waktu yang akan datang!πππ
Ternyata luka itu sudah jadi suasana sublim dan ultim. Apakah luka itu asali atau anteseden dari faktisitas? Saya ingat Chairil Anwar yang tegar dan penuh vitalitas, luka yang bisa kubawa berlari, berlari hingga hilang pedih perih.
ReplyDeleteMerawat luka adalah usaha subjektivikasi atau individuasi demi pencapaian makna diri dalam eksistensi terdalamnya.
Lukaku adalah lukaku. Luka itu diferensiasi ekistensial dan lukalah yang memungkinkan hidup jadi autentik.
Aku adalah aku yang "dapat" terluka. Dan aku adalah aku dapat sembuh, mesti tidak tuntas.
DeleteSaya teringat Asrul Sani;
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau
Di sini kita mudah luka dan terluka. Di sana, di dunia luas, entah di mana, entah di perpustakaan, barangkali kadar lukanya tidak seberat dan seborok di sini. Pergi ke laut lepas, anakku sayang.
πππ