Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pulang Ke Kampung Tuhan dan Puisi lainnya

Kampung Adat Mbawar

Lama sekali saya merantau di dunia yang luas, di kota megapolis

yang suka bising dan penuh persaingan, dan tak pernah tanya kabar-berita Tuhan di kampung. Saya sempat mudik ke kampungNya kali itu.

Tiba-tiba saja ada anak-anak kecil dan ibu-ibu berdiri di depan pintu dan berseru, “marilah kita berarak ke rumah Tuhan. Di sana kita merayakan kemenangan dengan melahap Tubuh dan DarahNya sampai kenyang.”

Ketika mendengar kalimat seruan itu, suka kuteringat iman masa kecil yang sederhana dan penuh. Tidak pernah bertanya-tanya, “Siapakah Tuhan? Apakah Tuhan ada? Mana yang lebih dulu, Tuhan atau waktu? Tuhan menciptakan otak, atau otak menciptakan Tuhan? Mengapa manusia begitu mudah terkapar dalam keburukan, penderitaan dan kemalangan?” Pertanyaan-pertanyaan ini suka mengiang-ngiang di dalam batok kepala, sehabis belajar filsafat di tanah rantau. Sehabis pergi melarikan diri dari RumahNya; mengapung di laut lepas. Saya terdiam, seketika pertanyaan-pertanyaan itu melabrak dari depan.

Wajahmu gelap gulita ya, bang!

Saya tercemar oleh asap industri dan peluh keletihan karena persaingan tidak sehat di kota. Di kota Tuhan diperdagangkan di pasar, supermarket, jalan-jalan tol, dan panggung sandiwara politik. Sejak itu saya yakin Tuhan tidak ada lagi.

Bukankah di kota-kota ada banyak biara?

Orang-orang biara pun terkapar oleh kemolekan uang, dan kekuasaan teknologi. Orang-orang biara hilir mudik. Biara-biara tidak seperti dulu.”

Dirimu sendiri pernah curhat dengan Tuhan?

Saya tidak pernah tanya kabar-berita Tuhan selama di kota. Saya pikir Tuhan tidak ada lagi. Tuhan mati di balik kata-kata yang diucapkan dan tulisan-tulisan yang dipublikasikan.”

Saya bergegas ke rumah Tuhan di ujung kampung,

Betapa dahsyatnya rumah ini

Sungguh Tuhan ada di sini!

Sementara saya sibuk mengupas tuntas dosa yang sangat menyayangi saya, rumah Tuhan tiba-tiba sunyi. Dan pastor tua itu mulai berkhotbah dengan mengutip Lukas, “Matamu adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu jangan menjadi kegelapan. Jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya. (Luk 11:34-36)

Burung-burung gereja bertengger di ventilasi dan mencicit kecil-kecil. Pastor tua itu pun lanjut dengan mengutip Lukas, “Kita patut bersukacita dan bergembira karena seseorang telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. (Luk 15:32)

Seperti lukisan indah, iman tidak pandai berkata-kata, tapi apa adanya.



Sajak Aku


Ketika aku berdoa, 

Tuhan masuk ke dalam doaku. 

Ketika Tuhan berdoa,

aku pergi melarikan diri ke dunia yang luas.


Ketika aku mencari Tuhan,

Tuhan sibuk sekali mencari aku.

Ketika Tuhan mencari aku,

agar keselamatanNya abadi,

aku tidak selamat seketika terantuk remah-remah roti di meja tuan-tuan.


*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores-NTT.


 

1 comment for "Pulang Ke Kampung Tuhan dan Puisi lainnya"

  1. Teruslah berkarya adik fr. Karena semuanya pasti memiliki hikmah yang tak berkesuhahan,,, lanjutkan Tuhan Memberkati.

    ReplyDelete