Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jari Gantung Kepala II Cerpen Emerensiana Uru Ana Hida

Emerensiana Uru Ana Hida

Aku tak paham bahwa aku yang sekarang ini sebegitu hilangnya dari ingatan semua orang. Seperti kenangan pada orang mati yang telah dicabut darinya. 

Aku mengaminkan kata  kitab jika kemarahan ditekan maka pertengkaranlah yang timbul, begitu juga dengan benci yang lama dipendam maka kematianlah yang muncul, itulah mengapa aku ini sudah lama mati dalam tubuh yang hidup.

Aku Virjinia, gadis yang Tuhan percayakan untuk hidup dalam dua dunia yang berbeda yang pada akhirnya tak mampu memiliki dua-duanya. Aku dulunya seorang gadis serupa malaikat dengan keperawanan yang abadi, keanggunan yang melangit, serta keramahan yang menggula. 

Aku sebegitu terpesona dengan segala kecantikanku tanpa kusadari bahwa kecantikan adalah satu-satunya racun yang paling mematikan. Aku lupa kata mama bahwa tak baik meminum banyak madu yakni pujian. Maka aku dengan sombongnya percaya bahwa aku bisa menjadi seorang biarawati seumur hidup.

Aku memutuskan untuk tak menikah dan menjaga keperawananku secara total demi menaati aturan Gereja dan para pemimpin biara, serta bersedia untuk hidup miskin dengan melepaskan semua yang aku miliki. Namun, aku tahu bahwa setiap orang memiliki masa kejatuhannya sendiri.

Hari itu, pada pagi yang berkabut suster pemimpin biara membawa dua orang pria ke biara ini. Mereka adalah Pak Rupe seorang donatur tetap biara ini. Pak Rupe sudah sedikit berumur, bahkan terpaut duapuluh tahun denganku tapi nampak awet muda. Satunya lagi bernama Migel ponakannya Pak Rupe.

“Anda baru yah di komunitas ini ?’’
“Iya Pak, aku suster Virjinia.”
“Aku punya beberapa perjalanan bisnis di kota ini, dan sering menginap di sini. Aku dan Migel akan tinggal di sini selama dua bulan. Semoga kau tak terganggu dengan kehadiran 
kami.’’

“Ohh tentu tidak Pak. Hai Migel kamu sudah pernah ke sini?” Seruhku sekadar mengajaknya berbicara tapi dia malah melototiku.

“Maaf, dia memiliki masalah dengan otakknya” jawab Pak Rupe dengan setengah tertawa.

Suatu pagi, kala memandikan bunga mawar di taman, aku sangat terkejut dengan Pak Rupe yang tiba-tiba muncul dari balik tirai jendela kapela.

“Wah segar sekali bunga mawarnya, ini aku tambahkan satu lagi’’ Ia menyodorkanku mawar hidup dalam pot yang mungil, aku begitu senang. 

Sejak saat itu kami mulai akrab. Setiap kali hendak berangkat ke hotel-hotel untuk rapat dengan kliennya ia selalu meminta doaku, menyalamiku, memeluk pundakku layaknya seorang ayah terhadap anaknya. 

Tak lupa pula beberapa senyuman khas yang ia lemparkan. Aku menganggap semuanya itu sebagai bentuk keramahan. Bila sore tiba ia tak lekas istirahat, ia menyusulku ke ruang terapi, membantuku memandikan anak-anak cacat, menyuapi mereka makanan, mendorong kursi roda anak-anak untuk ke kapela dan turut doa bersama. 

Di sela-sela kerja sama itu, ia seringkali mengatakan bahwa ia mencintaiku dan aku hanya menjawabnya dengan beberapa tawa kecil. Aku merasa itu hal yang wajar bila ia mencintaiku sebagai anaknya dan ia juga ikut tertawa.

Aku pernah mengadu padanya perihal cara Migel menatapku yang membuatku tak nyaman. Aku amat terganggu. Dari Pak Rupe baru kutahu tahu bahwa Migel adalah mantan narapidana atas kasus penggunaan narkoba. Pantas saja ia terlihat aneh. 

***

Pada suatu akhir pekan suster pemimpin memutuskan untuk liburan di sebuah pulau, agar para anak panti bisa bertamasya ria. Semuanya pergi, kecuali aku.

“Jaga dirimu baik-baik yah” seru Migel yang membuatku heran sekaligus kaget, bagaimana tidak mulut itu sudah sebulan tak menyapaku. 

Ucapan Migel itu pun mengejutkan 
Pak Rupe yang tengah mengenakan sepatu.
“Tidak ikut? Rugi loh. Mau dibawa oleh-oleh apa dari pulau? Tanya Pak Rupe.
“Bawa pasirnya saja.”

Mendengar jawabanku itu Migel melepas kaca mata hitamnya, mengigit gagangnya. Dan menatapku sinis. Ia memutuskan untuk tak ikut ke pulau.

“Kunci gerbangnya!” Perintah Migel ketika semuanya telah berangkat. 
“Tapi kamu punya urusan ke luar kan?”
“Lakukan saja apa yang aku katakan” balasanya dengan nada tinggi. 

Aku pun terpaksa menutup gerbang tapi tak menguncinya. Aku tetap waspada. Aku masuk ke kapela dan menyalakan lampu dan lilin lalu mulai berdoa.

Perlahan hujan turun disusul hempasan angin kencang. Lilin di kapela terus saja padam kendati sudah kunyalakan berulang kali. Suasana hatiku berubah panik, sesekali aku mengintip keluar. 

Aku takut Migel akan melakukan sesuatu yang jahat padaku. Aku mengunci kapela itu dan sesekali mengucapkan doa, tapi aku tersentak karena mendengar bunyi gerbang, dengan cepat kubuka tirai jendela kapela dan mulai mengintip ternyata itu Pak Rupe. Perasaanku berangsur tenang.

“Tidak jadi ikut ke pulau Pak ?”
“Tidak nih, ada yang lebih menarik dari pulau.”

“Mau kubuatkan kopi?”
“Tidak usah, aku hanya butuh berdoa saat ini.”
“Ohh, mari silakan masuk Pak.” Pak Rupe masuk dan aku hendak menyalahkan lampu.

“Biarkan saja lampunya padam, biar lebih khusyuk doanya.”
Aku melanjutkan meditasiku. Kali ini dengan suasana hati yang sedikit tenang karena sudah ada yang menemani. 

Pada pertengahan meditasiku, aku merasa terganggu pada deru nafas Pak Rupe yang sudah tak beraturan lagi sepertinya dia memiliki masalah yang serius.

“Kamu mau tahu mengapa malam ini aku ingin berdoa yang khusyuk?” 
“Cerita saja pak, saya mendengarkan.”
“Karena aku akan menyantap tubuh kudusmu” seruhnya dengan begitu membabi buta menarikku hingga terjatuh.

“Lepaskan, Pak. Bapak mabukkah?” 
“Aku tak mabuk sayang” ia hendak menggigitku. 

Aku berusaha menolak tapi ia membanting kepalaku di bangku serta menarik paksa jubahku hingga sobek. Kucoba merayap tapi kedua kakiku ditariknya hingga wajahku terseret dan terluka oleh pasir di lantai. 

Aku ditampar hingga aku pusing. Pakaianku dilucuti dari tubuhku.
“Apa alasanmu membuatku begini?” bibirku gemetar. 
“Karena aku mencintaimu.”
“Sudah seringkali kau katakan itu padaku.’’

“Iya, karena aku butuh jawaban pasti.” 
“Aku rasa jubahku sudah menjawabnya.” dia menarikku menampar, memukul, menyumpal mulutku, lalu memperkosaku di tempat kudus itu.

Malam gelap setengah basah, terdengar gigil tangis dalam kengerian dan semburan api berdarah pada wajah malam yang kaku berserah, setelah semuanya usai aku menyumpahi diriku sendiri untuk mati. 

Aku jijik pada diriku sendiri. Kini baru aku sadari bahwa pelukan berbuah pukulan, ciuman berbuah tamparan, senyuman berbuah sinisan.

Beberapa bekas jari terekam dalam tubuh. Kepalaku terus memaki diriku sendiri, mendengar itu jari-jariku berusaha menjambak rambut dan hendak mencabut kepala ini dari tubuhku, demi melenyapkan rekaman peristiwa yang barusan terjadi. 

Jari-jariku hendak menggantung kepala. Lamat-lamat, kudengar Migel memanggilku. Ia masuk ke dalam kapela. Sontak ia kaget melihatku. 

Ia membuka jaketnya lalu menutupi tubuhku. Ia menatap Pak Rupe yang masih lemas. Migel menangis memaki dirinya sendiri mencoba menghapus air mataku yang menganak sungai.

Aku berlari ke kolam dan hendak menenggelamkan diri di sana, tapi Migel 
menyelamatkanku. Aku menangis, aku malu padanya aku hanya pandai menilai wajahnya yang menakutkan, tapi ternyata ia baik. Aku gagal mencium bangkai dalam tubuh Pak Rupe.

Malam itu kuminta Migel menemaniku menulis surat pengunduran diri. Aku memutuskan untuk tak menjadi biarawati lagi. Aku meminta Migel untuk bungkam atas banyak pertanyaan perihal aku dari para biarawati lainnya.

Semua biarawati tak mengizinkanku  keluar, mereka terus bertanya dan aku hanya mengatakan bahwa aku bosan di dalam biara, sedangkan Pak Rupe kembali ditangkap karena ketahuan menyembunyikan sabu-sabu. Ternyata bukan Migel yang narapidana, tapi Pak Rupe. 

Dua minggu kemudian, aku diizinkan untuk keluar. Hari-hariku menjadi aneh. Aku gampang emosional. Aku bisa menjadi begitu senang, lalu bisa menjadi 
begitu larut dalam kesedihan. Selalu gelisah dan takut pada orang-orang baru dan selalu ingin bunuh diri saja.

Sudah dua tahun berlalu aku tak bisa tidur dengan baik. Sesekali mataku bertengkar 
dengan kesunyian yang selalu benci kurangkul tapi yang selalu kalah kuusir, selalu saja ia duduk di sampingku sambil menunggu mata ini menangis entah untuk yang kesekian kalinya. 

Kujual puisiku kepada air mata dan ia membayarnya dengan kelegaan yang hanya sebatas kerongkongan, selalu saja tak masuk belum kutelan sudah ingin saja ia kumuntahkan.

Kini semuanya mengering dalam tulang sudah tak bisa terlepas sudah kebal oleh sakit yang ada hanya sumpah serapah hatiku mengandung benci dan melahirkan kematian. 

Aku benci dan tak pernah ke gereja lagi. Bahkan aku tak ingin mendengar khotbah atau lagu-lagu rohani. Aku membenci Tuhan. Ia pasti menjebakku dan membiarkanku begini. Bebaskah Ia melukai siapa saja hanya karena Ia adalah Tuhan?


Cepat sekali waktu berputar dan pada akhirnya aku sadar bahwa semua yang aku lakukan itu hanyalah untuk ragaku padahal jiwaku yang sakit dan obatnya hanyalah kepada Sang Ilahi. Mendengar azan sore itu aku menangis. Aku mengaku kalah. 

Aku meminta ibu membawaku ke gereja tapi pintunya terkunci, lalu aku menuju ke Masjid meminta izin pada Pak Ustad untuk berdoa di sana bersamanya. Kebetulan rumahku dekat Masjid. Ia menitih tasbih dan aku menitih rosario, bagiku dimana pun tempatku berdoa entah di kapela, mushola, pura dan wihara semuanya selalu memberiku kedamaian yang sejati.

Aku merasa lega, ternyata hanya pada Tuhanlah hatiku tenang jari-jariku sudah memafkan ingatan di kepalaku. Tentunya dalam suasana itu aku mengistirahatkan luka dalam rimbunan doa pada rasaku yang piatu yang memangku duka.

Sembari berupaya dengan doa, aku juga berusaha menjalankan beberapa terapi dan mulai mengonsumsi obat tidur untuk tidurku yang selalu terjaga. Namun aku pun tak dapat memungkiri bahwa sesekali ingatanku akan peristiwa itu kembali, tapi dalam amukan pilu dan sepi yang selalu mengajakku menepi.

Kutahu dan kusadari aku tidak akan berhenti berlari dan tidak akan pernah mengalah mengejar kesejatian hidup walaupun lampu jiwaku redup hingga waktu mengaku kalah.


*Emerensiana Uru Ana Hida barasal dari Sumba Timur. Penyair merupakan mahasiswi pada salah satu kampus di Bali.

Post a Comment for "Jari Gantung Kepala II Cerpen Emerensiana Uru Ana Hida"