UU Cipta Kerja Mencekik Rakyat Pekerja
|
Tren
pandemi Covid-19 belum berakhir. Di tengah krisis ekononi akibat wabah
Covid-19, rakyat Indonesia juga harus melawan wabah Omnibus Law. Alih-alih menangani penyebaran pandemi Covid-19, pemerintah
dan DPR—kecuali fraksi PKS dan Partai Demokrat yang menolak disahkannya UU
Cipta Kerja—mempercepat paripurna, dan aparat negara menyetopkan izin
demonstrasi massa. Tak ayal, 5 Oktober 2020 RUU Omnibus Law jadi UU Cipta Kerja!
Omnibus
Law
Versus Kepentingan?
Tahun
1977 Asia diterkam oleh krisis ekonomi dan keuangan.[1] Negara-negara
industri maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Inggris sudah di
tubir resesi ekonomi. Pada decade yang sama, negeara-negara berkembang di
Amerika Latin dilanda krisis ekonomi dan pengisapan. Krisis ekonomi global ini
disebabkan oleh penerapan sistem ekonomi neoliberal di bawah pemerintahan
Perdana Menteri Margareth Thatcher di panggung politik Inggris, dan kemudian
Ronal Reagan dari Partai Republik di Amerika Serikat.
Thatcher
dan Reagan mempropagandakan agenda ekonomi sistem neoliberalisme. Kaum
kapitalisme neoliberal menggalakkan privatisasi ekonomi, peranan negara atas
kekuasaan ekonomi dikendalikan. Pada saat itu, ekonomi Amerika Serikat dan
Inggris bangkit lagi, dan dimulailah gerakan pengglobalan agenda ekonomi sistem
neoliberalisme.
Kaum
kapitalis neoliberalisme global yakin bahwa pertumbuhan ekonomi sangat menentukan
pembangunan politik dalam suatu negara. Produk politik tidak dapat berdiri
pisah dari agenda liberalisasi ekonomi. Agenda
liberalisasi ini sebetelunya dirancang, didikte dan ditunggangi oleh Bank
Dunia, IMF, WTO, dan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral sejak
1997. Pasca reformasi 1998, ada desakan liberalisasi ekonomi, politik, dan
sosial-budaya di tanah air. UU Ciptaker ini dapat dibaca sebagai agenda
liberalisasi pasar—neoliberalisme kapitalistik.
Selain
itu, sejak reformasi 1998 proses demokratisasi tidak membebaskan masyarakat
warga sebagai subjek tunggal demokrasi dari cengkeraman oligarki, elite dan
segelintir predatoris. Masyarakat warga belum berpartisipasi secara demokratis
secara dalam agenda ekonomi-politik dan politik pembangunan negara. Keadilan dibeli
oleh segelintir orang super kaya (oligarki).
Tidak
mengherankan oligarki inilah yang mengendalikan sistem politik Indonesia. Oligarki
kapitalis mengendalikan partai politik, dari pendanaan, mesin politik, hingga
tujuan politiknya. Mereka juga yang menguasai politik Indonesia dan segala
regulasi yang dihasilkannya.[2]
Rancangan UU di Indonesia—terutama terkait dengan pengelolaan sumber daya alam,
investasi, perpajakan, perdagangan dan keuangan—tidak dapat bebas dari
kepentingan oligarki kapitalis.
Omnibus Law
dapat dipahami sebagai metode hukum untuk menyederhanakan, merapikan dan
mengoreksi berbagai regulasi, tetapi juga memperhatikan konsistensi, substansi,
dan kerapian pengaturan. Metode ini ditujukan untuk mengintegrasikan,
memperjelas dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan tentang investasi
untuk mendorong investasi domestik dan investasi asing. Omnibus Law bisa menjadi terobosan progresif untuk memperbaiki dan
mengoreksi banyak UU agar sesuai dengan realitas dan tepat sasaran.
Akan
tetapi sebagai metode, Omnibus Law
bisa juga diperalat oleh rezim yang punya agenda deregulasi demi kepentingan
tertentu. Mereka menderegulasi norma-norma dan hukum-hukum agar dapat
melegitimasi, melegislasi dan melanggengkan demi kepentingan persaingan pasar.
RUU Ciptaker ini mengawinkan kepentingan liberalisasi ekonomi dan kepentingan
oligarki.
UU Cipta Kerja: Pasar
Oligarki
Menurut
Anthony Gidens, dunia dewasa ini mesti dilihat sebagai dunia yang dihasilkan
dari empat gugus institusi, yaitu; kapitalisme, industrialisme, surveillance (pengawasan), dan kekuatan
militer.[3]
Kapitalisme didesak oleh peningkatan per kapita, dan untuk itu, kapitalisme
mesti bercokol secara produktif dengan industrialisme.
Dunia
kapitalisme dan industrialisme, masyarakat miskin, pemerintahan, dan perusahaan
berada dalam cangkang pengawasan. Negara kemudian memaksa model pengawasan di
perusahaan untuk mengawas dan mengontrol rakyat lewat pelbagai mekanisme yang
diskriminatif. Kekuatan militer mengukuhkan kekuatannya untuk mengawas,
melindungi dan mengamankan negara dari ancaman baik dari dalam negara maupun
dari luar negara.
Pasar
mengendalikan arah kebangsaan bukan hukum dan pemerintahan demokratis. Kelompok
predatoris dengan modal yang besar mempenetrasi ke ranah birokrasi negara.
Birokrasi negara menyambut baik dan kemudian bercokol pada kaum kapitalis.
Birokrasi negara (pemerintah) berselingkuh dengan kaum kapitalis, membentuk
oligark kapitalis.
UU
Ciptaker itu sendiri adalah gugusan kepentingan universal negara dan seluruh
warga negara. Sebagai bagian dari proyek kepentingan, UU Ciptaker tidak bebas
dari kepentingan: kepentingan liberalisasi pasar dan oligarki.
UU
Ciptaker membuka gerbang selebar-lebarnya bagi negara industri maju untuk melakukan
investasi di In donesia. Apalagi sekarang, Amerika Serikat dan Cina sedang
perang dagang. Di tengah krisis ekonomi akibat pandemi ini, bukan tidak mungkin
Indonesia membangun relasi kerja sama ekonomi dengan kedua negara industri maju
tersebut.
Dalam
agenda politik-oligark kapitalis, hukum dapat dijualbelikan. Tidak heran, UU
Ciptaker Kerja tidak dirumus berdasarkan perencanaan yang matang dan
demokratis. Agenda di balik pengesahan UU Cipta Kerja ini ialah investasi asing
membanjir masuk ke tanah air, dengan demikian lapangan kerja meluas. UU Cipta
Kerja ini memuat 11 klaster, di antaranya: ketenagakerjaan,
pertanahan/perkebunan, pertambangan minerba, lingkungan hidup, perizinan
berusaha, pendidikan tinggi, perdagangan, dan lain-lain.
Akan
tetapi tak mungkin ekonomi terus bertumbuh tak terbatas di tengah lingkungan
yang terbatas. Perluasan agenda kapitalisme neoliberal dan eksploitasi tetap
terjadi bahkan berjalan dengan masif di negeri ini. Motif ekonomi berdasarkan
pengejaran laba dan persaingan mendorong aktivitas untuk meningkatkan kuantitas
penjualan dan melebarkan jangkar pasar.
Motif
ini dilakukan oleh negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat,
Inggris, Jepang, dan Cina. Negara-negara industri maju tidak hanya melakukan
investasi ekonomi di negara-negara berkembang, tetapi juga turut memengaruhi
agenda politik dan geopolitik. Indonesia bukan tidak mungkin akan mengalami
pengaruh penetrasi tersebut, jika UU Ciptaker tetap dijalankan.
UU
Ciptaker bukan solusi yang tepat untuk mengatasi krisis ekonomi di Indonesia
saat ini. Belum lagi pandemi Covid-19 belum berakhir, ekonomi nasional sedang
berada di ambang resesi total. Alih-alih memancing investasi asing, Indonesia
justru melanggengkan oligark-kapitalis baik kepentingan ekonomi MNC (multinational corporation) maupun TNC (trans-national corporation), dan elite
pragmatis dalam memuluskan agendanya. UU Ciptaker menjadi pasar baru bagi
oligark kapitalis.
Di
tengah keresahan akibat pandemi Covid-19 dan wabah UU Cipta Kerja ini, kita
bertanya: Masihkah sanggupkah “negara” menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat warga? Ketika pemerintahan dan media massa dikendalikan oleh
oligark kapitalis dan kalkulasi pasar bebas, aspirasi rakyat jadi sampah di
dapur media massa.
[1] Manfred B. Steger and Ravi K.
Roy, Neoliberalism. A Very Short
Introduction (New York: Oxford, 2010), hlm. 123. Baca juga Anthony Gidens, The Third Way. The Renewal of Social
Democray (USA: Blackwell Publisher Ltd., 1999)
[2] Jeffrey A. Winters Oligarki, diterj. Oleh Zia Anshor,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011)
[3] Anthony Gidens, Nation-State and Violent (Bekely, CA:
University of California Press, 1987). Itu hasil penelitan Gidens pada masa itu,
tetapi sekarang ini pengaruh persaingan pasar dengan sistem ekonomi
neoliberlisme sangat berisiko. Saat ini tidak bisa tidak manusia harus
mempertimbangkan dan memutuskan banyak pilihan yang sarat akan risiko. Itulah mengapa
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mau tidak mau mengizinkan agenda
ekonomi neoliberisme digalakkan di tanah air. Alih-alih mendorong masyarakat
lebih berkompetitif, inovatif, dan bangun dari kemalasan, neoliberalisme justru
bermusuhan dengan pemerintahan yang nasionalistik dan menyengsarakan rakyat
miskin.
*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 2 Oktober 2020. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "UU Cipta Kerja Mencekik Rakyat Pekerja"